VIBRASI SPIRITUAL LAILATUL QODAR

VIBRASI SPIRITUAL LAILATUL QODAR

Oleh: Chabib Musthofa

Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran

 

Sekilas Tentang Vibrasi

Vibrasi atau getaran, secara sederhana bisa diartikan dengan gerak bolak-balik sebuah benda dari posisi normal atau diam. Vibrasi adalah respon sebuah benda atas stimulus yang mempengaruhinya, baik dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal). Vibrasi dapat dilihat dari tiga parameter, yaitu amplitude, frequency, dan phase. Pada konteks teori vibrasi, ampitudo menunjukkan besarnya nilai atau besaran getaran. Frekuensi menunjukkan seberapa sering vibrasi terjadi dalam ukuran waktu, biasanya menggunakan ukutan detik. Sedangkan phase atau fasa adalah ukuran perbedaan waktu antara dua peristiwa getaran pada frekuensi yang sama. Secara umum ada dua jenis vibrasi, yaitu vibrasi bebas dan vibrasi paksa. Vibrasi bebas adalah getaran dari sebuah benda yang disebabkan oleh sesuatu di dalam benda itu sendiri. Sedangkan vibrasi paksa adalah getaran benda yang dipengaruhi oleh stimulus dari di luar diri benda tersebut.

Istilah ini biasa dikenal dalam disiplin ilmu fisika, lalu belakangan juga diadopsi oleh pegiat ilmu-ilmu sosial, termasuk dalam bidang kajian ilmu agama. Nikola Tesla adalah salah satu orang yang memiliki gagasan tentang teori vibrasi ini. Dia beranggapan bahwa energi, frekuensi, dan getaran adalah rahasia dalam memahami semesta. Tentu pendapat ini berada pada perspektif keilmuan fisika dan yang serumpun dengannya. Contoh konsep yang muncul ketika teori vibrasi digunakan mencermati gejala personal maupun sosial adalah vibrasi positif dan vibrasi negatif. Vibrasi positif adalah getaran positif dari dalam diri manusia, seperti senang, bahagia, optimis, dan sebagainya. Sedangkan vibrasi negatif adalah getaran positif yang muncul dari dalam diri seperti sedih, susah, pesimis, dan sebagainya.

Bila manusia diposisikan sebagai bagian dari semesta, maka manusia juga mengalami gejala vibrasi ini. Berangkat dengan pemahaman dasar dari pengertian vibrasi, maka manusia –bisa jadi—mengalami vibrasi bebas dan vibrasi paksa pada berbagai momentum peristiwa kehidupannya. Ketika diri manusia mengalami vibrasi, maka parameter peristiwanya tentu juga dapat dicermati dengan melihat besarnya nilai vibrasi, tempo berlangsungnya vibrasi dalam diri, dan perbedaan waktu antar peristiwa vibrasi yang dialami. Tentunya, manusia juga berpotensi mengalami vibrasi positif maupun vibrasi negatif di sepanjang rekam jejak kehidupannya.

 

Lailatul Qadar

Peristiwa luar biasa yang disebut Lailatul Qodar menjadi sudah kaprah di kalangan umat Islam karena memang telah ditegaskan dalam teks al-Quran dalam surat al-Qodar, dan malam istimewa ini hanya terjadi di dalam bulan Ramadlan. Ada perbedaan pendapat apakah Lailatul Qadar sebenarnya juga merupakan malam Nuzulul Quran, atau merupakan peristiwa yang berbeda momentum. Perbedaan pendapat ini ketika merujukkan dlamirhu” pada ayat pertama surat al-Qodar pada al-Quran. Namun tulisan ini tidak ingin mengulas perbedaan tersebut.

Menurut tradisi ilmu hadits, Lailatul Qodar ini menjadi ma’ruf salah satunya berdasarkan riwayat Sayyidina Ibnu Abbas RA yang mengisahkan kelebihan ibadah seorang lelaki Bani Israil yang diberi kesempatan hidup dan berjuang selama 1000 bulan, lalu Baginda Rasulullah Muhammad shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam “mengadukan” kesempatan ibadah umatnya yang berusia pendek kepada Allah subhanahu wa ta’ala, lalu turunlah surat al-Qodar tersebut. Riwayat bisa dilacak dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim, tanda bahwa hadits ini memiliki derajat kesahihan tertinggi dalam bidang ilmu hadits. Mengenai kapan terjadinya, riwayat dari Sayyidatina Aisyah RA yang termaktub dalam sahih Bukhari dan Muslim cukuplah menjadi referensi utama. Disebutkan pada riwayat tersebut bahwa Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah di sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan.

Apalagi ketika memasuki pembahasan tentang fadlilah Lailatul Qodar, tentu sudah kapar diketahui umat bahwa pada peristiwa itu atas izin Allah subhanahu wa ta’ala para malaikat turun ke bumi dan menebarkan aneka kebajikan pada orang yang beribadah. Bahwa ibadah pada peristiwa itu akan dinilai setara dengan ibadah yang dilaksanakan dalam rentang waktu 1000 bulan. Bahwa segala kesalahan dan dosa mereka yang mau bertaubat akan diampuni pada peristiwa tersebut. Serta sekian banyak dawuh ulama lain terkait keutamaan Lailatul Qodar, cukuplah menjadikan umat Islam tergerak memakmurkan malam tersebut dengan kebajikan.

 

Vibrasi Spiritual

Ketika mencermati suka-cita seorang muslim dalam memakmurkan hidupnya untuk mendapatkan Lailatul Qodar dari perspektif teori vibrasi bebas dan vibrasi paksa, paling tidak dapat ditemukan dua gambaran. Pertama, ada orang yang sudah mendapat anugerah kesalehan ritual-spiritual sebelum momentum peristiwa Lailatul Qodar. Biasanya tipe seperti akan mengalami peningkatan pada bulan Ramadlan. Tapi vibrasi kesalehannya memang sudah ada di dalam diri dan menjadi modal dasar ketika stimulus eksternal yaitu Lailatul Qodar menghampiri. Indikator tipe semacam ini menjadikan Ramadlan sebagai pelatihan menambah kesalehan. Ramadlan menjadi semacan waktu training baginya atas satu –atau beberapa—ibadah tertentu, sehingga ketika keluar Ramadlan ia akan komitmen mengistiqomahkan ibadah yang sudah dilatih ketika Ramadlan. Ada target kenaikan level kesalehan pada vibrasi tipe pertama ini. Kedua, ada orang yang kesalehan ritual-spiritualnya lebih dipengaruhi oleh keistimewaan Lailatul Qodar. Vibrasi kesalehan tipe kedua ini menjadi lebih tampak karena faktor eksternal, yaitu Ramadlan dan Lailatul Qodar. Biasanya, gejala kesalehan ini bersifat insidental hanya selama Ramadlan –atau pada momen tertentu demi mendapat Lailatul Qodar—dan tidak dibarengi dengan komitmen untuk melanjutkannya di luar Ramadlan.

Bila mencermati gempita umat Islam memakmurkan Ramadlan terlebih upaya menggapai Lailatul Qodar dari perspektif parameter teori vibrasi, maka dapat dibuat ilustrasi. Pertama, secara umum dapat dimaklumi bahwa bobot kuantitas peribadatan umat Islam pada bulan Ramadlan semakin meningkat, terutama pada waktu-waktu yang dikhabarkan berpotensi terjadi Lailatul Qodar. Artinya, intensitas tampilnya kesalehan umat baik di ruang personal, ruang komunal, atau ruang privat maupun publik menjadi semakin tinggi. Di kampung, untuk mendapati orang tadarrus al-Quran dengan intensif mungkin hanya ada di bulan Ramadlan. Tentu banyak indikator yang menegaskan ini. Kedua, frekuensi ibadah di dalam Ramadlan lebih banyak dibanding di luar Ramadlan. Bahkan pada momen yang diyakini terjadinya Lailatul Qodar, malah muncul peribadatan yang semakin ekspresif dan massif. Komparasi banyaknya peribadatan di dalam dan di luar Ramadlan, serta ibadah di dalam Ramadlan dan di waktu-waktu yang diyakini terjadinya Lailatul Qodar juga terjadi disparitas. Itu menunjukkan bahwa Ramadlan dan Lailatul Qodar mempengaruhi frekuensi vibrasi kesalehan ini. Ketiga, secara umum juga bisa dilihat bahwa fasa terjadinya rangkaian kesalehan di dalam Ramadlan dan tentunya pada asyrul awakhir Ramadlan memiliki pola perbedaan dan penambahan. Bahkan, persepsi dan pemaknaan seseorang atas keberkahan waktu dan tempat tertentu juga ikut mewarnai parameter ketiga ini.

Ini artinya, Ramadlan dan Lailatul Qodar –diakui atau tidak—memang memiliki stimulus yang secara eksternal ikut membentuk vibrasi kesalehan seorang muslim, di samping memang ada orang-orang tertentu yang–sebelum memasuki Ramadlan—sudah mendapatkan anugerah kesalehan secara internal dan semakin menguat ketika memasuki Ramadlan. Inilah yang dimaksud bahwa Ramadlan dan Lailatul Qodar memberi warna pada vibrasi spiritual yang dijalani seseorang. Tentu vibrasi spiritual itu menjadi sangat subyektif, induktif, dan personal, walau juga bisa dilihat gejala umumnya.

Ketika pada asyrul awakhir Ramadlan yang diyakini terjadi Lailatul Qodar, ada sekelompok orang yang kemungkinan tidak bisa i’tikaf dan qiyamullail semalaman di masjid karena harus menjalankan tugas sosial, padahal opini umum itulah bentuk peribadatan yang sangat jitu menggapai Lailatul Qodar. Bagaimana dengan “nasib” ‘azam kesalehan mereka menggapai Lailatul Qodar? Misalnya, saudara-saudara kita di kepolisian yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban, mereka yang sedang berperang membela kadaulatan negara, mereka yang melayani para pasien di rumah sakit, mereka yang melayani panti-panti sosial, mereka yang bekerja di jasa layanan transportasi, dan mereka yang berjuang naik kelas dari mustahiq zakat menjadi muzakki sehingga pada malam-malam asyrul awakhir Ramadlan  belum bisa mujahadah. Apakah mereka tidak mendapatkan berkah Ramadlan dan Lailatul Qodar ketika sedang melaksanakan tugas-tugas tersebut? Tentu terlalu berlebihan –atau bahkan keliru—bila kita yang tiap malam diberi kesempatan, kemauan, dan kemampuan i’tikaf qiyamullail semalaman di masjid selama Ramadlan mengklaim bahwa kita “merasa lebih berhak” mendapat Lailatul Qodar daripada mereka. Berbekal wadzifah ketarekatan yang kita ikuti lalu optimis mendapat Lailatul Qodar, tapi di sisi lain mencap wadzifah saudara di lain tarekat tidak lebih berhak mendapat Lailatul Qodar, tentu ini sikap yang keliru. Optimis mendapat Lailatul Qodar tentu boleh, tapi tidak patut kemudian merasa satu-satunya yang berhak mendapat sedangkan yang lain tidak berhak mendapat. Bila mereka yang tidak diberi kesempatan dan kemampuan beri’tikaf dan qiyamullail di masjid karena bekerja –dengan niat ibadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala—tentu mereka juga berhak optimis mendapatkan Lailatul Qodar. Sebaliknya, bagi mereka yang belum berkesempatan, bermampuan dan bermauan untuk i’tikaf, qiyamullail, dan mujahadah selama Ramadlan –terutama pada asyrul awakhir dengan dalih bahwa apa yang dikerjakannya juga ibadah dalam bentuk lain—juga sangat tidak pantas merasa apa yang dikerjakannya lebih layak dan pantas sebagai washilah mendapatkan Lailatul Qodar dibanding yang lain.

Vibrasi spiritual Ramadlan dan Lailatul Qodar itu hak seluruh umat Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam, siapapun status sosialnya dan apapun bentuk peribadatannya. Allah subhanahu wa ta’ala yang Maha Tahu dan Maha Menentukan segala sesuatunya. Moga Allah subhanahu wa ta’ala berkenan menyambut serta meridlai berbagai bentuk peribadatan kita semua selama Ramadlan dan Lailatul Qodar tahun ini juga tahun-tahun berikutnya. Aamiin. Wallahu a’lam bis shawab.