TRAGEDI POLITIK ABU MUSLIM AL-KHURASANY
Oleh: Chabib Musthofa
Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran
Kepemimpinan umat Islam pasca Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam intiqol ila rofiqi al-a’la terbagi pada beberapa periode. Masa Khalifah al-Rasyidin terjadi pada kurun 632 M sampai 661 M, setelahnya yang memegang tampuk kekuasaan umat Islam adalah kesultanan yang dikelola oleh dinasti atau keluarga besar. Ada beberapa dinasti dalam sejarah Islam, di antaranya ada dinasti Umayyah (661-750 M), dinasti Abbasiyah (750-1258 M), dinasti Fathimiyah (909-1171 M), dinasti Bani Seljuk (1081-1307 M), dinasti Mughal (1256-1858 M), dan dinasti Utsmaniyah (1300-1922 M), di samping ada sekian banyak kerajaan Islam di belahan dunia, termasuk di Nusantara. Ada banyak tokoh besar yang namanya tertulis dengan tinta emas oleh satu kelompok, namun oleh kelompok lain nama besar itu dikenang sebagai pribadi yang berbeda.
Perjalanan Politik Abu Muslim al-Khurasany
Salah satu tokoh kunci dalam peralihan kekuasaan dari dinasti Umayyah ke dinasti Abbasiyah adalah Abu Muslim al-Khurasaniy. Sejarah mencatat bahwa tokoh yang lahir di Khurasan ini memiliki dua nama. Versi pertama dia bernama Ibrahim ibn Usman dengan panggilan Abu Ishaq, sedang versi kedua menyebutkan bahwa namanya Abdurrahman ibn Muslim dengan panggilan Abu Muslim. Masa kecilnya dihabiskan sebagai budak atau pelayan dari dua bersaudara tokoh pemimpin gerakan bawah tanah yang melakukan perlawanan pada dinasti Umayyah. Dua tokoh itu bernama Isa ibn Ma’qal al-Ajli dan Idris bin Ma’qal al-Ajli. Gerakan keduanya terendus, Keduanya ditangkap dan diadili oleh gubernur Kufah, Yusuf bin Umar. Lalu Abu Muslim diajak Sulaiman ibn Katir bergabung dengan gerakan yang dipimpin Ibrahim al-Imam. Gerakan ini punya visi sama dengan gerakan yang sebelumnya dia ikuti.
Pada tahun 746 M, Abu Muslim al-Khurasany dikirim Ibrahim al-Imam ke daerah kelahirannya Khurasan untuk melakukan agitasi mencari pengikut dan dukungan politik bagi gerakan Ibrahim al-Imam. Di sini Abu Muslim al-Khurasany mendapat hasil gemilang. Dia berhasil menggaet banyak pengikut, terutama penduduk Khurasan. Ada dua faktor keberhasilan agitasi politiknya. Pertama, dia menjalankan politik ta-assub kesukuan. Bangsa Persia –khususnya penduduk Khurasan—yang dianak-tirikan serta tidak mendapat akses politik-militer-ekonomi dinasti Umayyah, disentuh dan dimanfaatkan sentimen kesukuannya sehingga bergabung pada gerakan Abu Muslim al-Khurasany. Kedua, dia menjalankan politik adu domba dua entitas Arab di Khurasan, yaitu Arab Yaman dan Arab Mudhar. Gubernur Khurasan adalah As’ad ibn Abdullah, keturunan Yaman. Gubernur ini menyisihkan orang-orang Arab keturunan suku Mudhar dari pemerintahan, sehingga timbul kebencian dari suku ini pada suku Arab Yaman. Sentiment ini yang dimainkan Abu Mansur al-Khurasany, sampai ia berhasil membuat gerakan sampai berhasil menggulingkan gubernur Khurasan daulah Umayyah berikutnya, Nasr ibn Sayyar.
Abu Muslim al-Khurasany tidak berhenti pada keberhasilannya menggulingkan gubernur Khurasan, tapi terus melancarkan propaganda politik dengan mengembangkan sentimen Arab dan non Arab untuk mencari dukungan. Tiga kota yaitu Kufah, Khurasan, dan Hamimah merupakan basis perlawanan kelompok gerakan pemberontak yang dipimpin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muttalib. Gerakan ini berhasil menjalin kerjasama dengan kelompok Rafidlah (Syiah) atas nama genetik dari klan Bani Hasyim, dan orang-orang mawali yang dulu menjadi penyokong daulah Umayyah namun belakangan terpinggirkan dari kekuasaan politik dan militer. Berbekal pengaruhnya di Khurasan, dan kemampuannya sebagai operator serta perumus strategi militer gerakan bawah tanah tersebut, Abu Muslim al-Khurasany berhasil menguasai kora Merv. Abu Muslim al-Khurasany –yang dalam catatan sejarah—memimpin Gerakan Pria Berjubah Hitam dan memulai operasi militer revolusi Abbasiyah yang keberhasilannya ditandai dengan tumbangnya kekuasaan daulah Umayyah dan dimulailah kekuasaan dinasti Abbasiyah.
Ada dua jargon propaganda politik Abu Muslim al-Khurasany sehinga ia berhasil menjalankan gerakannya, yaitu al-musawah dan al-ishlah. Al-musawah (kesetaraan) menjadi jargon politiknya untuk mengkritik ketidakadilan yang dijalankan daulah Umayyah, sekaligus menarik simpati kelompok di luar dinasti Umayyah khususnya orang-orang mawali bergabung pada gerakannya. Al-ishlah (perbaikan) menjadi jargon keduanya yang sangat ampuh mengutuk sekulerisme, nepotisme, dan kelemahan dinasti Umayyah sekaligus memberi mimpi indah akan dunia baru yang sedang diperjuangkan. Ketika Abdullah bin Muhammad atau yang lebih dikenal dengan Abu Abbas al-Saffah dilantik menjadi raja daulah Abbasiyah pertama pada tahun 750 M, Abu Muslim al-Khurasany diangkat menjadi gubernur Khurasan.
Pembangkangan Berujung Tragedi
Hubungan politik antara Abu Muslim al-Khurasany dengan penguasa daulah Abbasiyah pada kurun waktu awal sangat baik, apalagi tiada yang memungkiri peran Abu Muslim al-Khurasany sebagai operator politik-militer dengan Khurasan sebagai basisnya. Setelah empat tahun berkuasa, Abu Abbas al-Saffah terkena cacar lalu meninggal dalam usia muda. Sebelum meninggal, ia melantik saudaranya bernama Ja’far al-Mansur sebagai khalifah, bukan pamannya yang bernama Abdullah bin Ali. Padahal pamannya lebih berperan dalam gerakan revolusi atas daulah Umayyah, walau dari sisi hubungan darah tidak lebih dekat dengannya dibanding saudaranya yang bernama Ja’far al-Mansur itu. Akhirnya, Abdullah bin Ali dan saudaranya, Shalih bin Ali yang keduanya ahli militer melakukan pemberontakan. Abu Muslim al-Khurasany diperintahkan sultan kedua dinasti Abbasiyah memadamkan pemberontakan kedua keturunan sayyidina Abbas rodliyallahu ‘anhu itu, dan dia berhasil dan pemerintahan daulah Abbasiyah menjadi aman.
Tapi di sinilah awal terjadinya tragedi. Ketika kekuatan pemberontak yang dipimpin Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali padam, maka praktis kekuatan politik-militer yang tersisa hanya dua, yaitu kekuatan Abu Muslim al-Khurasany dan kekuatan kelompok Rafidlah yang secara definitif menjadi bagian dari imperium baru itu. Akan tetapi, memang tidak boleh ada dua matahari di siang hari, dan tidak boleh ada dua bulan di malam hari. Ja’far al-Mansur memiliki kewaspadaan dan kecurigaan atas kekuatan Abu Muslim al-Khurasany, walaupun kekuatan itu ada di dalam panji kedaulatannya.
Ketika Abu Muslim al-Khurasany diperintahkan memerangi pemberontakan Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali yang notabene keduanya adalah kolega dari Abu Muslim al-Khurasany pada masa awal pendirian daulah Abbasiyah, itu sebenarnya ujian loyalitas dari Ja’far al-Mansur pada Abu Muslim al-Khurasany. Ujian ini berhasil dilalui Abu Muslim al-Khurasany. Ujian berikutnya, Ja’far al-Mansur memindah jabatan Abu Muslim al-Khurasany sebagai gubernur Khurasan menjadi gubernur Syiria dan Mesir. Abu Muslim al-Khurasany menolak keinginan tersebut. Hal inilah yang menjadi catatan dari Ja’far al-Mansur. Penolakan Abu Muslim al-Khurasany ini di mata Ja’far al-Mansur masuk pada kategori perlawanan, –atau lebih sarkasme disebut pemberontakan–.
Untuk menjinakkan Abu Muslim al-Khurasany, Ja’far al-Mansur tidak menggunakan pendekatan militer, tapi dengan cara diplomasi. Ia mengundang Abu Muslim al-Khurasany ke istana untuk diberi jabatan lebih tinggi. Tapi setelah sampai, Abu Muslim dieksekusi dengan dimutilasi dan tubuhnya dibuang di sungai Tigris. Ada dua versi kedatangan Abu Muslim al-Khurasany menghadap Ja’far al-Mansur. Versi pertama mengatakan ia segera pergi menghadap walau sudah dicegah para pengikutnya. Versi kedua mengatakan bahwa ia membangkang, tapi Ja’far al-Mansur menyuruh dua sahabat dekat Abu Muslim al-Khurasany bernama Abu Ishaq dan Abu Hamid untuk membujuknya bersedia menghadap raja. Terlepas kebenaran dua versi ini, yang jelas Abu Muslim ak-Khurasany akhirnya datang menghadap raja di istana daulah Abbasiyah.
Ja’far al-Mansur menyambut dengan kedatangan Abu Muslim al-Khurasany dengan penghormatan terbaik, bahkan ia perintahkan penduduk sekitar istana untuk keluar dan memberi penghormatan. Tapi di saat yang sama, Ja’far al-Mansur menyiapkan empat orang algojo di balik tirai ruang pertemuan untuk mengeksekusi Abu Muslim dengan kode tepukan tangan darinya. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 30 Sya’ban 137 H atau tahun 755 M. begitulah, orang yang sangat berjasa mendirikan dan membangun sebuah dinasti, justru harus mati mengenaskan dengan status pemberontak oleh dinasti yang didirikan dan dibangunnya.
Implikasi Dari Sebuah Tragedi
Memahami apa yang dialami Abu Muslim al-Khurasany menyisakan pemahaman atas tragedi tersebut. Pertama, tujuan dan tarjet politik menghalalkan penggunaan isu dan cara apapun. Lihat apa yang dilakukan Abu Muslim al-Khurasany dengan membakar sentimen kesukuan kaum mawali dan rafidlah lalu memanfaatkan keduanya sebagai “tunggangan” politik menggulingkan kekuasaan dinasti Umayyah. Lihat juga cara Ja’far al-Mansur menjinakkan pemberontakan kedua pamannya dengan tangan Abu Muslim al-Khurasany, sedang tangannya sendiri seolah-olah bersih. Lalu atas dasar naluri politik menjaga stabilitas kekuasaan, ia letakkan Abu Muslim al-Khurasany sebagai pemberontak dan harus dihabisi dengan cara diplomasi.
Kedua, tiap revolusi politik mensyaratkan adanya pertumpahan darah massal. Sekian pembantaian atas nama kebenaran sikap politik telah terjadi mulai periode khalifah Utsman bin Affan, khalifah Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Hasan bin Ali, dan Sayyidina Husein bin Ali radliyallahu ‘anhum. Diteruskan peralihan menuju berkuasanya dinasti Umayyah, lalu digantikan dengan dinasti Abbasiyah. Bahkan Abu Muslim al-Khurasany juga dikenal sebagai pimpinan militer yang tak segan menumpas lawannya.
Ketiga, tiap tokoh besar memiliki mentor yang membesarkannya. Sekaliber Abu Muslim al-Khurasany, dari kecil ia dimentori pemimpin dari sebuah kelompok gerakan perlawanan terhadap dinasti, yaitu Isa ibn Ma’qal al-Ajli dan Idris bin Ma’qal al-Ajli. Selepas itu ia berada dalam didikan Ibrahim al-Imam, tokoh yang juga memimpin gerakan perlawanan pada penguasa. Maka dalam usia 19 tahun Abu Muslim al-Khurasany menjelma menjadi tokoh gerakan perlawanan yang memiliki kecapakan dalam kepemimpinan, propaganda politik, dan tentu kemiliteran. Walau sangat dekat dengan keluarga pendiri Abbasiyah, Abu Muslim al-Khurasany bukanlah keluarga bani Hasyim dan tentu juga bukan pengajut Syiah.
Keempat, naluri kekuasaan mengalahkan ikatan darah dan ikatan perjuangan. Apa yang dilakukan Abu Abbas al-Shaffah dengan menunjuk saudaranya Ja’far al-Mansur sebagai pengganti. Apa yang dilakukan Ja’far al-Mansur dengan memerangi kedua pamannya yang berjasa besar dalam mendirikan dinasti. Kecurigaan dan keputusannya pada Abu Muslim al-Khurasany. Aneka fakta tersebut memperkuat jastifikasi bahwa insting berkuasa memiliki naluri tersendiri untuk menjaga dan memastikannya tetap aman mengendalikan kekuasaan. Insting berkuasa juga memiliki automatic self-defense pada pihak-pihak yang “dianggap” mampu mengancamnya, termasuk pada mereka yang disebut “kawan”.
Kelima, penguasa –hanya—mempertimbangkan kualitas dan loyalitas. Penolakan Abu Muslim al-Khurasany dipindah ke Syiria dan Mesir bagi Ja’far al-Mansur menjadi tanda jika bawahannya itu tidak memiliki loyalitas padanya, walau kualitas dan kemampuannya luar biasa. Apalagi penolakan itu dianggap sebagai tanda bahwa Abu Muslim al-Khurasany sedang membangun kekuatan di basis daerah yang menjadi kota kelahirannya, Khurasan. Maka tragedi tokoh yang dibahas ini mengajarkan bahwa insting kekuasaan –atau lebih tepat penguasa—lebih memilih loyalitas daripada kualitas. Bila raja dihadapkan pada dua pilihan antara prajurit sakti dengan loyalitas rendah dan prajurit tidak sakti tapi loyalitasnya tinggi, maka raja akan memilih prajurit kedua. Atau raja akan memilih prajurit pertama lalu “membeli” loyalitasnya.
Walhasil, tiap tokoh yang tertulis di risalah ini telah terbukti berhasil menempatkan diri pada lembaran sejarah umat Islam dengan prestasi dan kegemilangan. Bahkan Abu Muslim al-Khurasany dikenal dengan status sebagai Panglima Besar daulah Abbasiyah. Terlepas dari apa yang terjadi di antara mereka, yang jelas dari merekalah jejak peradaban umat Islam menopang peradaban hari ini. Terlebih lagi kita bisa membaca mereka layaknya sebuah ornamen yang menyimpan keindahannya tersendiri, sehingga layak bagi kita berterima kasih pada mereka semua. Mari kita wujudkan terimakasih itu dengan menghadiahi mereka bacaan Ummu al-Kitab. Pada tiap nama yang tertulis di risalah ini, al-Fatihah. Wallahu a’lam bishshawab.
A’wan MWC NU Buduran | Tukang Sapu Langgar
Mahabbah gak kenal wayah
Masyaallah, sangat menambah pengetahuan
Aamiin. Mohon bimbingan dan dukungan agar lebih istiqomah.
سبحان الله والحمد لله ولااله الا لله والله اكبر ولاحول ولا قوة الا بالله العلي العظيم