TOLERAN DI JALAN

toleran,jalan raya,tawassuth,tasamuh,tawazun,i'tidal,khittah nahdliyyah,manhaj al-fikr,manhaj al-harakah

TOLERAN DI JALAN

Oleh: Chabib Musthofa

Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran

 

Ketika melintasi ruas-ruas jalan tertentu dan pada waktu-waktu tertentu, terkadang menimbulkan keseruan tersendiri. Keseruan itu bukan karena jalan atau waktu, tapi oleh sebab para pengguna jalan itu sendiri. Pada persimpangan baik yang sudah dilengkapi traffic light maupun belum ada, atau jalan dengan volume pengguna jalan luar biasa padat, apalagi pada waktu dimulainya atau diakhirinya kesibukan seperti pagi antara jam 06.00 sampai 08.00 dan ketika sore pada jam 16.00-18.00, kerap menyuguhkan berbagai pemandangan beraneka warna. Peristiwa beraneka warna itu menarik untuk dilihat dan dibahas pada kesempatan berbeda sambil kongkow dengan kolega, tapi sama sekali tidak menarik untuk dijalani sebagai pelaku, apalagi “korban” dari peristiwa tersebut.

Para pengguna jalan dengan berbagai latar belakang keinginan dan tujuan, aneka jenis kendaraan, dan beragam cara berkendara, kerap bertindak aneh, lucu, dan terkadang menyeramkan. Bahkan ada yang menganggap jalan raya adalah arena pertunjukan sirkus, sehingga mereka melakukan atraksi yang sangat luar biasa, walau tidak ditunjang dengan skill layaknya para profesional. Ironisnya, pertunjukan sirkus di jalan raya itu tidak hanya membahayakan diri mereka, tapi juga membahayakan orang lain.

Pertunjukan sirkus ketangkasan berkendara di jalan raya –yang tentu salah ruang dan waktu ini—kerap menimbulkan percekcokan, pertikaian, adu mulut, baku hantam, bahkan berlanjut sampai ke meja hijau, dan kecelakaan. Na’udzu billahi min dzalik. Bila diasumsikan bahwa tujuan tiap pengguna jalan adalah kebaikan –yang dalam terminologi agama disebut peribadatan—, maka tentunya aktifitas –berkendara di jalan raya—itu menjadi bagian dari kebaikan atau peribadatan itu sendiri. Lalu ketika terjadi pertikaian atau konflik di antara para pengguna jalan yang sama-sama bertujuan baik dalam perjalanannya, sampai menimbulkan madlarat dalam bentuk ancaman pada jiwa. Terjadilah tujuan baik tapi dijalankan dengan “pertunjukan” cara berkendara yang tidak baik mengakibatkan pertikaian dan bahkan ancaman pada keselamatan jiwa. Di sinilah muncul pertanyaan tentang bagaimana menjaga kebaikan bepergian dengan berkendara di jalan dengan sikap toleran.

 

Memaknai Toleransi

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan toleran sebagai sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Bila memakai definisi ini, maka poinnya ada dua. Pertama, letak toleran dalam diri manusia. Apakah ia berada pada akal-budi yang tercerahkan oleh ilmu pengetahuan sehingga menjadi sifat dan watak. Ataukah toleran itu terletak pada kesadaran psiko-motorik reflektif dari akal-budi ketika merespon fenomena luar sehingga terekspresikan sebagai perilaku. Bila berada pada akal-budi, maka toleransi dapat menguat dengan menambah pengetahuan tentang toleransi, pun juga melemah ketika seseorang tak cukup punya referensi ilmiah, alamiah, dan amaliah tentang toleransi. Bila berada pada psiko-motorik reflektif, maka toleransi akan menguat seiring dengan banyak pelatihan, pun juga toleransi bisa melemah jika tidak pernah dilatih secara praktis.

Dalam bahasa latin, toleransi berasal dari kata tolerare yang berarti saling menanggung dan memikul, atau membiarkan sesuatu. Dalam bahasa Arab, toleran disebut juga al-samahah, dari kata kerja samaha yang berarti memberikan, memberi izin, dan membolehkan. Bila kata kerja samuha (huruf mim di-dlammah), artinya murah hati. Bila samhun (huruf mim di-sukun), artinya juga murah hati. Ketiga akar kata ini memiliki kedekatan pengertian dengan kata jawadun (dermawan), karimun (murah hati), dan rahbu al-shadr (lapang dada). Ditemukan padanan kata seperti memberikan izin, membolehkan, legitimasi, lisensi, maaf, murah hati, lapang dada, dan dermawan. Maka toleransi dari perspektif bahasa dalam makna luas bisa diartikan dengan sikap atau perilaku manusia yang tidak menyimpang aturan, di mana seseorang menghargai atau menghormati setiap tindakan yang orang lain lakukan.

Di dalam al-Quran, banyak ayat yang ditafsiri sebagai dasar sikap tasamuh (toleran). Toleran pada agama lain pada QS. Al-Kafirun ayat 1-5; toleransi atas dasar SARA pada QS. Al-Hujurat ayat 13; toleransi berarti penafian paksaan dalam memeluk Islam pada QS. Al-Baqarah ayat 256; toleransi berarti membiarkan pemeluk agama lain menjalankan ibadahnya pada QS. Yunus ayat 40-41; toleransi dalam makna mewujudkan kedamaian antar sesama muslim pada QS. Al-Hujurat ayat 10; toleransi dalam makna mendahulukan kepentingan saudara sesama muslim daripada kepentingan diri sendiri pada QS. Al-Hasyr ayat 9.

Pada hadits Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, ada dawuh beliau tentang al-hanifiyah al-samhah (yang lurus dan toleran). Suatu ketika sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bertanya tentang agama manakah yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala. Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam menjawab singkat bahwa agama yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala adalah al-hanifiyah al-samhah (–agama—yang lurus dan toleran). Hadits ini dapat ditemukan di Shahih Bukhari jilid 1, sedangkan pada kitab Adab al-Mufrad dinyatakan Imam Bukhari bahwa derajat hadits tersebut hasan li-ghairihi. Di Musnad Imam Ahmad ditemukan hadits serupa. Pada kedua kitab itu sumber periwayatannya sama yaitu Abu Hurairah, tapi di Shahih Bukhari beliau menerima hadits ini dari Shadaqah, sedangkan di Musnad Imam Ahmad beliau menerima hadits ini dari Yazid.

Di dalam buku berjudul Khittah dan Khidmah Nahdlatul Ulama: Kumpulan Tulisan Majma’ Buhuts An-Nahdliyyah terbit tahun 2014, pada halaman 44-45 dituliskan tentang tasamuh sebagai ciri sikap kemasyarakat NU. Pada literatur ini tertulis bahwa tasamuh adalah sikap toleran terhadap terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah, serta masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.

 

Sikap Toleran di Jalan

Merujuk definisi toleran di buku berjudul Khittah dan Khidmah Nahdlatul Ulama tersebut, maka aplikasinya di jalan raya –yang mungkin menjadi domain paling kecil dan tersederhana—sebagai lokus sosial-budaya dapat direpresentasikan dengan dua sikap sederhana, yaitu taat aturan dan ngalahan (mudah/cenderung memiliki bersikap mengalah). Sekali lagi ini konteksnya adalah menterjemahkan tasamuh sesuai dengan definisi di dalam buku itu pada medan sosial-budaya yang disebut jalan raya.

Pertama, taat aturan. Sikap yang kali pertama muncul sebagai perilaku toleran di jalan raya adalah taat aturan lalu lintas. Mokhal ketika ada yang mengaku toleran tapi dia tidak taat aturan. Aturan yang disahkan oleh undang-undang dirumuskan dan ditetapkan untuk melindungi hak dan kewajiban penerima aturan tersebut siapapun itu, termasuk melindungi keselamatan jiwa. Tata tertib lalu lintas yang ditetapkan pemerintah yang sah memuat aspek perlindungan ini. Maka wujud praktis dari bermutu atau tidaknya sikap toleransi seseorang di jalan raya dapat dilihat dari seberapa taat orang tersebut pada tata tertib lalu lintas yang sah. Taat aturan ini menjadi parameter perilaku toleran yang pertama, karena ini menunjukkan relasi person to law (orang pada hukum).

Kedua, ngalahan. Parameter sikap toleran berikutnya adalah –dalam diksi Jawa disebut—ngalahan. Ngalah atau mengalah bukan berarti kalah atau berada pada pihak yang salah, sedangkan ngalahan bermakna mudah mengambil atau memilih sikap mengalah walau berada pada posisi benar. Pilihan sikap ngalah dan ngalahan ini bisa jadi diambil sebagai upaya preventif agar tidak terjadi kemadlaratan yang lebih besar. Segaris dengan kaidah dar-u al-mafasid muqoddam ‘ala jalbi al-mashalih (mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengupayakan kebaikan). Pilihan sikap ngalah dan ngalahan ini bisa juga diambil sebagai upaya kuratif atas kemadlaratan, senada dengan kaidah al-dlararu yuzalu (setiap bahaya harus dihilangkan).

Simulasi aktualisasi pengertian dan pemahaman tasamuh dalam konteks sikap sosial-budaya di jalan raya di risalah ini hanya bersifat reflektif-spekulatif. Reflektif karena sporadis dari pemahaman yang terbatas tanpa proses penelitian dengan kaidah akademis yang baku. Spekulatif karena bersifat eksperimentatif dalam pengertian yang sederhana dan tidak melalui proses eksperimentasi akademik. Walau begitu, sebagai warga nahdliyyin (pengurus atau warga) tentunya sikap kemasyarakan Nahdlatul Ulama (NU) yaitu tawassuth, i’tidal, tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf nahi mungkar disamping menjadi kesadaran ideologis juga menjadi sikap praktis dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Apalagi –nyuwun sewu—sebagai nahdliyyin yang a’wamul ‘awam, maka cara terbaik dan termudah dalam meneladani lima ciri sikap kemasyarakatan NU adalah dengan menterjemahkannya pada pemikiran, sikap, dan perilaku yang sederhana. Berperilaku tasamuh di jalan raya salah satu contohnya.

Bahwa bagaimana merefleksikan karakter tawassuth, i’tidal, tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf nahi mungkar sebagai manhaj al-fikr al-nahdliyyah dalam berbagai ranah pemikiran sosial-keagamaan, itu menjadi porsi khidmah para ulama. Bahwa bagaimana merefleksikan karakter tawassuth, i’tidal, tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf nahi mungkar sebagai manhaj al-harakah al-nahdliyyah dalam berbagai ranah organisasi NU, itu menjadi porsi khidmah para muharrik dan pengurus NU. Bagi para nahdliyyin yang muballigh, dai, ta’mir, nadzir, politisi, legislator, pemimpin, aparat, pejabat, dan setiap posisi tentu menyandang porsi pemahaman dan penterjemahan karakter sikap NU tersebut.

Walhasil, kita yang –masih belajar menjadi—santri NU ini marilah dengan penuh syukur dan kebahagiaan pelan-pelan berusaha mempelajari dan mempraktekkan karakter tawassuth, i’tidal, tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf nahi mungkar dalam ruang-ruang sosial-budaya tersederhana dan termudah dalam diri kita masing. Tentu dengan selalu berusaha ittiba’ ma’a al-khidmah pada para ulama panutan NU. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishshawab.