TIGA MAQOM SABAR: PENGAJIAN KITAB NASHOIHUL IBAD MAQOLAH KE-25 BAB TSULASTY (LANJUTAN)

 

 

 

 

 

 

 

 

TIGA MAQOM SABAR

PENGAJIAN KITAB NASHOIHUL IBAD MAQOLAH KE-25 BAB TSULASTY (LANJUTAN)

Pengasuh: KH. CHUSNUL WARO, S.Pd. (Rois Syuriyah MWCNU Buduran)

 

Tempat            : Masjid Baiturrohim Desa Banjarkemantren Kecamatan Buduran

Waktu              : Ba’da Shalat Maghrib, Senin Kliwon 09 Dzul Qo’dah 1444 H/29 Mei 2023 M

 

Sebelumnya, mari kita bacakan Surat Al-Fatihah kepada junjungan kita Sayyidina Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam, seluruh muassis, masyayikh, kiai, guru, dan pengurus Nahdlatul Ulama, Penulis kitab Nashoihul Ibad yaitu Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani beserta seluruh yang bersambung dalam sanad ilmu dan amaliyah beliau, Penulis kitab al-Munabbihat ‘ala al-Isti’dad li Yaumi al-Ma’ad yaitu Syaikh Syihabuddin Ibnu Hajar al-Atsqolany beserta seluruh yang bersambung dalam sanad ilmu dan amaliyah beliau, orang tua kita semua, juga seluruh saudara dan sahabat warga Nahdliyyin dan umat Islam di manapun berada. Untuk mera semua, al-Fatihah.

Maqolah ke-25 (Lanjutan).

Berkatalah sebagian Arifin, “sabar ada 3 (tiga) maqom (tingkatan). Meninggalkan (hobi/suka) wadul/sambat/mengeluh (kepada selain Allah), merupakan derajat sabarnya para Tabi’in. Ridla atas apa yang ditaqdirkan (Allah padanya), merupakan derajat sabarnya para Zahidin. Cinta atas bala’ (yang dianugerahkan Allah), merupakan derajatnya para Shiddiqin.” Di dalam sebuah Hadits disabdakan, “sembahlah (beribadahlah) kepada Allah berdasarkan ridla, jika engkau tidak mampu maka (sembahlah /beribadahlah kepada Allah) dalam kesabaran atas apa yang tidak engkau sukai, di dalamnya terdapat banyak kebaikan.

 

Kiai pengasuh memaparkan bahwa Kiai Mushonnif (Syaikh Nawawi) menjelaskan tiga tingkatan sabar. Pertama, sabarnya orang-orang yang disebut Tabi’in, tandanya adalah meninggalkan suka mengeluh/wadul/sambat kepada yang selain Allah. Artinya, kesabaran pada tingkatan ini tidaklah kemudian kelompok yang disebut Tabi’in itu tidak berkeluh-kesah atas urusan mereka. Bisa jadi orang dalam tingkatan kesabaran ini tetap mengeluarkan keluh kesah, hanya saja keluh kesah mereka itu tidak disampaikan pada makhluk. Akan tetapi keluh kesah itu hanya dihaturkan pada Allah semata. Istilah Tabi’in sendiri di dalam keterangan ini tidak hanya dapat dipahami secara historis, yaitu golongan Tabi’in yang menjadi murid dari para Sahabat rodliyallahu ‘anhum. Tapi yang istilah Tabi’in di sini juga bisa dimaksudkan pada mereka yang benar-benar berusaha ittiba’ pada ajaran Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, siapapun dan pada kurun waktu kapanpun mereka hidup.

Kedua, sabarnya kelompok Zahidin, tandanya adalah ridla atas apa yang ditaqdirkan Allah pada mereka, apakah itu ketetapan yang baik atau ketetapan yang buruk. Tingkatan sabar ini merupakan tanda atas suasana batiniyah dari golongan Zahidin atas dunia dan isinya, dimana hati mereka tidak terpaut atau tergantung pada dunia tersebut. Bila seseorang lebih rela atas ketetapan yang menyenangkannya, bisa jadi orang tersebut masih banyak memiliki keterpautan atau kepentingan dengan kesenangannya, dan yang disebut kesenangan itu merupakan hal-hal yang bersifat duniawi. Sebaliknya bila seseorang juga rela atas ketetapan yang tidak menyenangkannya, maka bisa jadi orang itu tidak memiliki/atau minim keterpautan hatinya atas persoalan duniawi. Hal ini senada dengan makna zuhud itu sendiri yang secara umum dapat dipahami sebagai kondisi batin yang tidak terisi/tidak tergantung/tidak tertaut/ atau tidak dikendalikan oleh hal-hal yang bersifat duniawi.

Ketiga, sabarnya kelompok Shiddiqin, tandanya adalah mencintai musibah yang diberikan Allah padanya. Sahabat yang memiliki gelar Al-Shiddiq adalah Sayyidina Abu Bakar rodliyallahu ‘anhu yang ditahbiskan ketika beliau benar-benar meyakini kebenaran isra’ mi’raj yang dialami Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Beberapa kiai mengartikan shiddiq dengan makna “temen” atau sungguh-sungguh. Sayyidina Abu Bakar rodliyallahu ‘anhu disebut alshiddiq atau “temen” karena beliau mempercayai atau beriman secara mutlak kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam tanpa syarat dan bukti apapun. Bisa jadi orang akan mempercayai sesuatu tapi mensyaratkan pembuktian yang mampu diinderanya, maka percaya seperti ini sangat tergantung pada pembuktian dan pemahaman inderawinya. Bisa jadi orang akan mempercayai sesuatu tapi mensyaratkan sisi logis sesuatu itu, maka percaya seperti ini mensyaratkan rasionalitas. Berbeda dengan keduanya, maqom shiddiqin adalah mereka yang iman tanpa syarat pembuktian dan penerimaan rasionalitas akal. Nah, bagi orang-orang yang berada pada derajat shiddiqin, musibah yang jelas pahit rasanya, mereka pahami sebagai kado atau anugerah terindah dari Allah, sehingga mereka mencintai musibah itu. Mencintai musibah dalam hal ini bukan dimaksudkan para shiddiqin lebih memilih hal-hal yang menyiksa diri daripada yang membahagiakan. Tapi sabar dengan mencintai musibah dalam hal ini adalah benar-benar sadar bahwa musibah yang pahit itu Allah yang memberikannya, dan dengan kecintaan mereka kepada Allah, maka tentunya mereka juga mencintai pemberian dari Allah yang mereka cintai. Jadi, titik tekan dari mencintai (pemberian) musibah (yang pahit) bukan pada musibah atau kepahitannya, tapi pada semangat mahabbatullah. Wallahu a’lam bi shawab.