TERMINOLOGI DAKWAH (BAGIAN 4)
Oleh: Chabib Musthofa
Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran
Pada beberapa tulisan sebelumnya telah disinggung tentang sedikit perbedaan dan persamaan antara ceramah dan dakwah. Walaupun mungkin masih banyak di antara kita yang menganggap dua hal itu adalah perkara yang sama secara linier dan mirip dalam berbagai sisi. Anggapan ini boleh jadi benar ketika ceramah berisi pesan-pesan, metode, dan tujuan keagamaan, sehingga ceramah menjadi bagian dari dakwah. Pada fenomena semacam ini, ceramah menjadi salah satu partikel dari pengertian dakwah secara universal.
Bila ingin lebih detail menguliti apakah ceramah memang benar-benar menjadi bagian dari dakwah, maka perlu secara obyektif –terutama bagi para penceramah—untuk mengevaluasi ceramah yang selama ini dilakukannya. Apakah pesan, metode, dan tujuan ceramahnya memang sesuai dengan prinsip dakwah, ataukah malah melenceng dari ketentuan dakwah itu sendiri. Bisa jadi 30 menit ceramah yang disampaikan mungkin hanya 5 menit yang memang benar-benar mengajak orang untuk taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan 25 menit lainnya bukan benar-benar menjadi aktifitas dakwah. Bahkan terkadang dengan alasan demi memenuhi kesenangan audien akan gurauan, sering kali yang 25 menit itu berisi dagelan dengan bumbu per-ghibah-an pada orang lain. Bergurau itu boleh, tapi harus berada pada jalur mengajak orang taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tidak boleh dengan cara bergurau yang dimalah dimurkai Allah subhanahu wa ta’ala.
Tak kalah pentingnya bagi para penceramah adalah sering mengoreksi motif dan tujuan yang mendasari orasinya di hadapan mustami’in. Apakah motif ceramahnya memang berangkat dari hati yang bening, dan –jikapun merasa belum bening—penceramah itu tak henti-hentinya melakukan pembersihan diri. Apakah tujuan ceramahnya memang benar-benar mengajak mustami’in kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, ataukah mengajak pada kebenaran dalam pemahamannya sendiri. Koreksi pada diri sendiri ini menjadi sangat penting bagi para penceramah, walau itu relatif sulit dan berat karena syaratnya harus obyektif menelanjangi diri sendiri. Selain itu, evaluasi motifasi dan tujuan diri sebagai penceramah ini berada pada dimensi kejiwaan diri sendiri yang membutuhkan akal sehat dalam menjalankannya. Bahwa meng-update kemampuan ceramah dengan teknik public speaking yang memukau, mengasah kemampuan bergurau sehingga mampu membuat semua jamaah terpingkal-pingkal, mengasah ilmu-pengetahuan keagamaan, dan mengasah segala skill orasi perlu ditingkatkan. Tapi tak kalah penting adalah mengasah kebersihan jiwa sebagai pribadi yang dipilih Allah subhanahu wa ta’ala menyampaikan kebenaran.
Pembelokan pemahaman yang biasanya dialami para penceramah ini kerap terjadi bisa jadi karena memang tidak adanya pengetahuan tentang makna dakwah itu sendiri. Apalagi berkenan sedikit mengkaji tentang dakwah dari perspektif ilmiah maupun praksis. Atau memang menganggap bahwa dakwah sebatas ceramah. Tentu ini pemahaman yang perlu direvisi. Lalu pengertian dakwah secara terminologis apa?
Terminologi Dakwah
Syaikh Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni dalam al-Madkhal ila ‘ilm al-Da’wah mendefinisikan dakwah adalah “tabligh al-islama linnasi wa ta’liimuhum iyyaahum wa tathbiquhu fi waaqi’ al-hayat” (menyampaikan dan mengajarkan agama Islam kepada seluruh manusia dan mempraktikkannya dalam kehidupan nyata). Definisi dakwah di sini berisi tiga aspek, yaitu: i] adanya penyampaian dan pengajaran agama Islam; ii] sasarannya adalah umat manusia secara umum; iii] dan adanya praktek dari apa yang telah disampaikan serta diajarkan. Pertama, jika dakwah dimaknai dengan definisi ini, maka perlu diperhatikan perbedaan antara penyampaian dan pengajaran. Kedua, bila penyampaian adalah fase awal pemberian informasi, sedangkan pengajaran adalah pendalaman dari informasi dengan prinsip yang lebih terukur. Maka ceramah yang sifatnya insidentil bisa jadi memuat aspek penyampaian, tapi –belum—menjadi pengajaran yang mendalam. Ketiga, sasaran dakwah adalah umat manusia secara umum. Tapi karena keterbatasan diri para pendakwah, maka apa yang dilakukannya terbatas pada segmen tertentu. Terakhir, dakwah menuntut adanya upaya untuk dimanifestasikan dalam perilaku nyata. Artinya, para pendakwah –secara ideal diharapkan—terlibat sampai pada proses implementasi keagamaan ini.
Syaikh Abu Bakar Zakaria dalam al-Da’wah ila al-Islam mendefinisikan dakwah adalah “qiyamu al-‘ulama wa al-mustaniriin fi al-din bita’limi al-jumhuri min al-‘amati ma yubashiruhum bi umuri dinihim wa dunyahum ala qadri al-thaqah” (usaha para ulama dan orang-orang berpengetahuan agama Islam untuk memberikan pengajaran kepada khalayak umum sesuai dengan kemampuan yang dimiliki tentang hal-hal yang mereka butuhkan dalam urusan dunia dan keagamaan). Makna dakwah dalam definisi ini berisi tiga aspek, yaitu: i] pendakwah adalah ulama; ii] dakwah adalah pengajaran; dan iii] dakwah menjawab problem dunia dan keagamaan [akhirat]. Pertama, definisi ini jelas menyaratkan bahwa pelaku dakwah adalah ulama, bukan orang yang tidak berkapasitas sebagai ulama. Kedua, dakwah adalah pengajaran. Artinya, pendakwah memiliki kemampuan mengajar dan ada aspek pertambahan atau penguatan pemahaman dari kegiatan dakwah. Ketiga, dakwah adalah aktifitas mencari solusi atas problem duniawi maupun ukhrawi. Artinya, pendakwah juga menjadi agen atau aktor perubahan yang membimbing umat manusia sampai pada tataran kebaikan hidup dunia maupun akhirat.
Berikutnya Syaikh Ali Mahfudz dalam Hidayah al-Mursyidin mendefinisikan bahwa dakwah adalah “hatstsu al-nasi ala al-khairi wa al-huda wa al-amru bi al-ma’rufi wa al-nahyu ani al-munkari liyafuzu bi sa’adati al-‘ajili wa al-ajili” (menyeru manusia kepada kebaikan dan petunjuk serta menyuruh kepada kebaikan dan melarang kemungkaran agar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat). Memaknai definisi ini mengantarkan pada pemahaman bahwa dakwah mencakup tiga hal, yaitu: i] dakwah adalah seruan kebajikan; ii] dakwah adalah amar ma’ruf nahi mungkar; dan iii] indikator keberhasilan dakwah adalah pencapaian kebahagiaan dunia serta akhirat. Pertama, bila dakwah dimaknai sebagai seruan kebajikan, maka standar kebajikan adalah Allah subhanahu wa ta’ala dan Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, dan pihak yang paling berwenang memahami dan menerangkan –substansi beserta tafsir kebajikan itu adalah—para ulama. Kedua, dakwah adalah amar ma’ruf nahi mungkar. Artinya, dakwah merupakan ajakan pada kebaikan yang ma’ruf (kebaikan yang diketahui dan diakui secara universal oleh siapapun), tentu dengan cara yang ma’ruf. Bahwa jangan sampai upaya menyampaikan hal ma’ruf dengan cara yang mungkar. Selain itu, dakwah merupakan pencegahan atau penyelesaian kemungkaran, tentu dengan cara yang ma’ruf. Tidak boleh pencegahan kemungkaran dengan cara yang mungkar, karena itu menciderai prinsip dakwah. Ketiga, target utama dakwah adalah tercapainya kebahagiaan dunia akhirat. Artinya, dakwah memiliki targetan dengan jangka waktu tertentu. Secara singkat, target pencapaian dakwah adalah kebahagiaan di dunia, sedang target jangka panjangnya adalah kebahagiaan akhirat. Maka pendakwah menjadi pemandu, pembimbing, dan mentor pencapaian target tersebut.
Memahami Dakwah: Refleksi Terminologis
Berdasaran beberapa penelusuran tersebut, dapat dimengerti beberapa hal. Pertama, dakwah adalah ajakan, seruan, dan upaya –dengan segala padanan katanya—mengajak kepada kebaikan dan meninggalkan keburukan. Kebaikan dalam hal ini adalah ketaatan, sedang keburukan adalah kemaksiatan. Bila ajakan tersebut tidak dalam orientasi mendekatkan diri pada kebaikan dan justru mengarahkan diri pada keburukan, maka ajakan itu tidak dapat disebut sebagai dakwah. Bahwa mengajak kebaikan harus dengan cara yang baik, dan mencegah keburukan juga dengan cara yang baik, merupakan pilihan sikap yang menjadi tradisi para pendakwah. Kedua, dakwah adalah sebuah kegiatan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh sebab dakwah merupakan ibadah, maka pelaksanaan dakwah harus memperhatikan prinsip, kaidah, dan ketentuan agama. Sebagai peribadatan, maka sandaran pelaksanaannya adalah kepada Allah subhanahu wa ta’ala itu sendiri, bukan pada yang lain. Artinya, kepentingan utama adalah mengajak orang lain –dan bahkan diri sendiri—untuk semakin dekat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bukan pada yang selain Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagai peribadatan, maka dakwah tidak elok dilaksanakan berdasarkan kesenangan atau kepentingan diri sendiri, dan mengesampingkan ketentuan esensial dari dakwah itu sendiri.
Ketiga, isi dakwah adalah pendidikan dan pengamalan agama Islam. Substansi materi yang menjadi isi dakwah adalah ilmu-ilmu keislaman dan bagaimana pengamalan ilmu tersebut dalam kenyataan. Bila isi atau materi yang disampaikan bukan merupakan tema keislaman atau yang menambah kualitas ketakwaan, maka bisa jadi yang dilakukan bukanlah dakwah. Atau bisa juga dakwah adalah usaha melakukan percontohan bagaimana mengamalkan Islam dalam perilaku hidup nyata. Karena itu, dakwah mensyaratkan adanya kemampuan ilmu pengetahuan bagi para pelakunya, sekaligus kemampuan untuk mengamalkannya sebagai sebuah ketentuan yang ideal. Keempat, dakwah adalah ibadah yang bertujuan dan bertarget. Tujuan utamanya adalah mengajak manusia pada jalan kebenaran yang diridlai Allah subhanahu wa ta’ala. Sedangkan yang menjadi target ada dua, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Pada sisi ini, dakwah bisa terejawantah dalam bentuk berbagai kegiatan sosial. Namun tetap didasari dengan tujuan kebahagiaan di akhirat, bukan semata-mata tujuan akhir itu adalah kebahagiaan di dunia. Maka ketika para penceramah usai berorasi, mendapatkan penghormatan dari jamaah, dan mungkin diberi ganti uang membeli bensin, sebenarnya pada saat itu klaim bahwa aktifitasnya adalah dakwah belum berakhir. Ceramahnya memang berakhir, tapi dakwahnya belum usai. Target dan pencapaian dakwah bukanlah penghormatan dan applaus mustami’in pada penceramah, atau tersampaikannya orasi penceramah pada mustami’in dengan status ceramah yang memukau. Kelima, dakwah merupakan upaya yang memiliki proses dan tahapan. Artinya, bila dakwah dipahami sebagai usaha mengajak orang untuk semakin taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan meraih kebahagiaan dunia-akhirat, maka tentu proses ini tidak bersifat sporadis dan insidental, melainkan terjadi melalui proses tertentu dengan segala dinamikanya. Ironisnya, para penceramah yang mengklaim dirinya adalah pendakwah sering melupakan bahwa ketika klaim itu mereka deklarasikan –baik secara nyata atau diam-diam dalam sistem ego diri mereka—maka konsekwensinya mereka berstatus sebagai pembimbing bagi entitas yang mereka dakwahi. Sebagai pembimbing dari upaya pencapaian kebahagiaan dunia akhirat, tentu fungsi ruhaniah para pendakwah ini tidak terhenti di dunia saja, melainkan juga akan terus terkoneksi dengan umat ila yaumil qiyamah.
Wa akhiron, uraian ini berdoa semoga Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahkan kekuatan pada para penceramah, ulama, dan da’i dalam menjalankan takdir peran dan fungsi mereka membimbing umat manusia dalam upaya mewujudkan ummatan wasathan dengan segala indikatornya yang dalam tradisi Nahdlatul Ulama dikenal dengan istilah mabadi’ khairu ummah, al-Fatihah. Wallahu a’lam bishshawab.
A’wan MWC NU Buduran | Tukang Sapu Langgar
Mahabbah gak kenal wayah