TAKHALLI, TAHALLI, DAN TAJALLI SEBAGAI INKUBATOR KEMANUSIAAN

TAKHALLI, TAHALLI, DAN TAJALLI SEBAGAI INKUBATOR KEMANUSIAAN

Oleh: Chabib Musthofa

Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyyah Buduran

 

Hujjatul Islam al-Imam Abi Hamid Muhammad al-Ghazali dalam kitab al-Munqidz min al-Dlalal penerbit al-Andalus cetakan ke-7 pada bab ke-4 di halaman 100-109 menjelaskan tentang takhalli, tahalli, dan tajalli. Tiga hal itu menurut al-Ghazali merupakan perjuangan yang kaprahnya diupayakan oleh seseorang dalam rangka melakukan penghambaan dan pengabdian kepada Allah SWT. Secara sederhana, makna takhalli adalah upaya mengosongkan, menghilangkan, atau mengurangi sifat dan perangai tercela dalam diri sendiri. Tahalli adalah mengisi, menghiasi, atau menambah sifat dan perangai terpuji ke dalam diri sendiri. Sedangkan tajalli adalah memberangkatkan, menampakkan, atau mengkoneksikan diri hanya kepada Allah SWT. Tentu pemaknaan tersebut bukanlah yang terabsah karena ada berbagai versi pemaknaan atas tiga terminologi sufistik ini.

Ketika seseorang ber-takhalli, maka fokus perjuangannya terletak pada upayanya untuk mengosongkan, menghilangkan, atau dalam tataran minimal mengurangi adanya sifat-sifat tercela yang ada dalam dirinya. Ketika sifat –tercela ini—ketika tereplikasikan dalam perilaku yang secara otomatis muncul ketika seseorang merespon sesuatu di luar dirinya, maka itu disebut perangai. Mengapa sifat, watak, atau perangai tercela ini harus dihilangkan atau dikurangi –pada fase awal—ketika seseorang melakukan pesulukan? Karena ketercelaan inilah yang membelenggu dan menghalangi seorang hamba dalam perjalanan penghambaannya dan upayanya sowan ilaa hadlrotillah Yang al-Quddus (Maha Suci). Dalam tradisi sufistik, sifat dan perangai tercela ini seperti hasud, riya, ‘ujub, sum’ah, aniaya, ananiyah, ghadlab, ghibah, namimah, dan sebagainya. Ilustrasinya, mokhal (tidak mungkin) seorang akan sowan ke hadlrotillah Azza wa Jalla bila masih hobi memupuk ananiyah dan menyombongkan dirinya, sedangkan yang berhak menyandang kesombongan hanyalah Allah SWT. Maka di awal pesulukan, seorang hamba harus berupaya menggelontor benih-benih kesombongan dirinya ini semaksimal mungkin.

Bahkan, ada ilustrasi lain yang menggambarkan bahwa seorang manusia itu ibarat wadah atau gelas. Tidak mungkin makanan atau minuman sesehat dan senikmat apapun akan dapat dikonsumsi dari wadah atau gelas yang kotor. Takhalli dalam ilustrasi ini berfungsi sebagai penyucian terhadap gelas tersebut dari segala kekotoran yang menghalangi fungsinya sebagai wadah makanan atau minuman. Terapi ritual-spiritual yang –biasanya—dipraktekkan dalam ketarekatan dalam bingkai takhalli seperti shalat taubat dan istighfar, atau ibadah lain sesuai arahan guru mursyid.

Berikutnya, ketika seseorang ber-tahalli, maka fokus perjuangannya terletak pada upaya untuk mengisi, menghiasi, atau menambah sifat atau perangai terpuji dalam dirinya sendiri. Mengapa diri perlu diisi dengan sifat-sifat terpuji? Karena ketika seorang hamba memiliki berbagai sifat-sifat terpuji dan kemudian merefleksikannya dalam praktek peribadatannya, maka itu menjadi mediasi penghambaan dan pengabdiannya kepada Allah SWT. Linier dengan ilustrasi wadah dan gelas di atas, tahalli ibaratnya adalah upaya mengisi wadah atau gelas dengan berbagai makanan atau minuman yang sehat, nikmat, yang tentunya halal. Sifat-sifat terpuji dalam tradisi sufistik seperti syukur, sabar, ridla, tawakkal, qona’ah, zurud, wara’, taqwa, dan sebagainya.

Biasanya, dalam dunia ketarekatan pelatihan ritual-spiritual dalam tahalli ini adalah dengan bershalawat kepada Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Atau secara spesifik seorang murid akan diberikan petunjuk khusus oleh guru mursyidnya dalam perjuangannya ber-tahalli. Mengapa tahalli –biasanya—“diwakili” dengan membaca shalawat? Rujukan segala sifat, watak, perangai, sikap, perilaku, dan apapun yang terkait dengan teladan keterpujian yang mengejawantah dalam wujud manusia adalah Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, sehingga ketika bershalawat pada beliau sejatinya merupakan upaya mengharapkan transfer atau injeksi spiritual dari segala keterpujian tersebut ke dalam diri orang yang bershalawat. Melalui bahasa yang lebih sederhana, ketika seseorang sedang bershalawat, maka sebenarnya ia sedang berusaha melatih dirinya dalam meneladani Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam secara ruhan wa jasadan, af’aliyah wa ahwaliyah, hissiyan wa ma’nawiyan, dan dhohiron wa bathinan.

Berikutnya, ketika seseorang ber-tajalli, maka fokus perjuanganya berada pada upaya untuk memberangkatkan, mengkoneksikan, menghambakan, atau mengabdikan dirinya hanya kepada Allah SWT. Ketika seseorang melakukan penghambaan dalam bentuk ibadah shalat misalnya, terkadang lahirnya memang ia tampak sedang shalat, khusyu’ dan khudlu’ melakukan segala kaifiyah-nya, dan bahkan –ngapunten—terkadang terlihat tertangis sesenggukan. Ternyata –sekali lagi ngapunten—selama ia shalat yang bisa jadi sampai menangis tersedu-sedu itu lebih sering ingat masalahnya sendiri, dan melupakan Allah SWT yang sedang disembahnya. Artinya, lahirnya ia menghamba, tapi –mungkin—batinnya sedang memuja –masalah—dirinya sendiri. Ketika seseorang melakukan pengabdian dalam bentuk ibadah sosial seperti menjadi pejabat atau ahli pidato misalnya. Terkadang sisi lahirnya memang terlihat sedang menjalankan fungsi dan perannya sebagai pejabat, atau memang sedang berapi-api berceramah, dan keduanya itu baik serta diperbolehkan. Namun bisa jadi –ngapunten—jauh di dalam benaknya muncul feedback duniawi yang diharapkannya sebagai tujuan pengabdiannya. Feedback duniawi itu misalnya seperti dukungan, gaji atau bonus, amplop dan isinya, kepercayaan dan penghormatan masyarakat, dan sebagainya. Mengajak bawahan kepada Allah SWT dan meyakinkan mereka bahwa bekerja adalah ibadah, malah pejabatnya mengejar yang selain Allah SWT. Mengajak umat kepada Allah SWT, malah penceramahnya mengejar amplop dan isinya. Menjadi aneh dan remeh.

Tajalli melatih seorang yang sedang berjalan kepada Allah SWT untuk selalu berusaha hanya menjadikan Allah SWT sebagai tujuan dalam tiap gerak langkahnya. Di dunia tarekat, pelatihan ritual-spiritual dalam tajalli ini biasanya dengan membaca tahlil. Variasi tata caranya bisa berbagai macam berdasarkan tradisi ketarekatan yang diikutinya. Ada ulama yang berpendapat bahwa tajalli ini memiliki bagian atau tahapan. Al-Imam Abdul Karim Qutubuddin Ibnu Ibrahim al-Jili, seorang ulama besar dari kalangan keluarga yang sama dengan Sulthonul Auliya’ Syaikh Muhyiddin Abdul Qodir al-Jailani, menyatakan bahwa tajalli memiliki empat tingkatan yaitu tajalli af’al, tajalli asma’, tajalli sifat, dan tajalli dzat. Penjelasan tentang empat kategori tajalli ini ada dalam kitabnya berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifati Awa-il wa Awakhir.

Nah, sampai di sini kiranya takhalli, tahalli, dan tajalli merupakan pelatihan spiritual yang sejatinya membantu manusia itu kembali pada derajat kemanusiaannya yang paripurna di hadapan Allah SWT. Ketiganya merupakan humanitarian incubator (inkubator kemanusiaan) yang manjur meningkatkan derajat relijiusitas dan spiritualitas seseorang baik di hadapan Allah SWT maupun di tengah sesama makhluk Allah SWT. Tapi perlu diingat bahwa sebagaimana inkubator, diperlukan tenaga ahli yang menjalankannya. Bayi yang dimasukkan inkubator –dalam makna dan fungsi sesungguhnya—tanpa arahan dan penanganan dokter serta perawat yang tepat, tentu akan malah tidak baik bagi bayi itu. Dokter dan perawat ini dalam dunia tarekat adalah guru mursyid. Lalu apakah dalam menjalankan takhalli, tahalli, dan tajalli seseorang harus bertarekat? Jawabannya –kira-kira—, jika Anda seorang santri, maka bergurulah dan temen-lah dalam berguru –ndereknekyai, sampai nanti Allah SWT memberikan jawaban seiring dengan garis takdir kehidupan Anda yang telah ditetapkanNya. Jika Panjenengan seorang kyai, maka moga Alah SWT menganugerahkan kekuatan pada Panjenengan dalam garis takdir sebagai panutan santri dan umat. Sejurus dengan dua opsi jawaban itu, tentu Anda boleh melakukan takhalli, tahalli, dan tajalli berbekal pengetahuan, pengalaman, dan bimbingan guru/kyai tempat Anda nyantri. Dan memang harus seperti itu, karena pemahaman dan praktek beragama ini diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya melalui ta’lim dan tarbiyah, tidak bereksperiman dan ngarang sendiri. Berguru itu harus, bertarekat itu perlu. Wallahu a’lam bis shawab.