Dalam gerakan yang lembut, dalam suara yang merdu,
Seni Hadrah menghantarkan cinta kepada Sang Nabi yang suci.
Thariqah Mahabbatur Rasul, jalan kasih sejati,
Mengajar kita untuk mencintai Rasulullah dengan penuh keikhlasan hati.
Hadrah, dalam lingkaran, para dzakirin bersatu,
Mengingat nama-nama Allah, kasih pada Nabi tergambar jelas.
Melalui nyanyian dan gerakan yang penuh kasih,
Seni hadrah menyentuh jiwa, memberi ketenangan yang tiada tara.
Thariqah Mahabbatur Rasul, jalan cinta kepada utusan Tuhan,
Mengajar kita untuk mencintai Nabi Muhammad dengan sepenuh hati.
Melalui ibadah dan pengabdian yang tulus,
Kita mendekatkan diri pada-Nya, merasakan cinta yang abadi.
Dalam setiap langkah, di setiap doa yang terucap,
Kita merasakan kehadiran Nabi yang selalu hadir dalam hati.
Seni Hadrah dan Thariqah Mahabbatur Rasul,
Mengajar kita tentang cinta suci yang tak akan pernah padam.
Dalam melodi yang mengalun, dalam dzikir yang dipanjatkan,
Kita merasakan hadirnya cinta pada Rasulullah yang suci.
Seni hadrah adalah thariqah untuk mencapai tujuan,
Mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan kasih yang tak berkesudahan.
“Man ro-aa wajhaka yas’ad – ya kariima al-waalidaini”
—-
Sajak Paruh
Oleh: Agus Moch. Zakki Mubarok, S.P., M.Pd
Pojok Kantor MWCNU Buduran – Ahad, 17 September 2023
—-
Di atas adalah refleksi beliau, Agus Moch. Zakki Mubarok, S.P., M.Pd. (Gus Mad) Mustasyar MWCNU Buduran masa khidmat 2023-2028. Saya mendapat teks tersebut dari KH. Jalisil Ulama (Kyai Jalis), Ketua 2 Tanfidziyah MWCNU Buduran. Keduanya pernah berkenan semajlis dan memberi pengajian secara informal pada al-faqiir terkait organisasi dan sekitar sholawat, khususnya hadrah. Lalu selang beberapa hari, barulah KH. Jalisil Ulama mengirimkan teks tersebut via WA. Berniat tabarrukan pada ulama, aulia, masyayikh, santri, terutama pegiat ISHARI NU Buduran, terutama ISHARI NU dan yang terkait dengannya demi menguatkan mahabbaturrasul diri, al-faqiir memberanikan diri “nyarahi” sajak paruh beliau Gus Mad, itu pun al-faqiir baru berani mempublikasikan catatan ini atas izin Gus Mad dan Kyai Jalis. Syarahan al-faqiir atas puisinya Gus Mad bukan dalam kapasitas ahli hadrah, atau yang berwenang secara struktural maupun kultural memberikan penjelasan yang absah. Syarahan ini hanyalah ekspresi sebagai muhibbin ISHARI NU. Koreksi dan pembenaran merupakan hal yang al-faqiir harapkan. Moga Allah mengkaruniakan manfaat dan berkah dari tiap huruf, tanda baca, maupun makna “syarah” ini pada orang tua, guru-guru, anak-cucu, keluarga, dan para sahabat kita semua. Aamiin.
—
SYARAHAN
Oleh: Chabib Musthofa*
ISHARI [Akronim dari Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia. Sebuah seni sholawat yang didirikan oleh KH. Abdurrohim. Mengalami dinamika baik secara kultural maupun institusional di lingkungan Nahdlatul Ulama, sampai dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang yang dilaksanakan pada tanggal 1-5 Agustus 2015 diputuskan bahwa ISHARI menjadi Badan Otonom di NU dengan nama ISHARI NU] Thariqah [Secara kebahasaan bermakna jalan atau metode. Sedangkan secara istilah –sebagaimana dalam nadzam Hidayatul Adzkiyah–, thariqah adalah “akhdzun bi-ahwatin ka al-waro’i wa ‘azimatun ka riyadlotin mutabattala”, maknanya mengambil sikap kehati-hatian seperti berperikalu wira’i dan juga menahan keadaan yang berat sepertu terus menerus mengekang nafsu kesenangan. Sedangkan pendapat Syaikh Muhammad Bin ‘Ajibah dalam Iqodhul Himam yang menjadi syarah dari Hikam Imam Ibnu Atho’illah al-Sakandari menyatakan bahwa “fa al-syari’atu an ta’budahu, wa al-thoriqotu an taqshidahu, wa al-haqiqotu an tasyhadahu”. Makna bebasnya kira-kira, maka yang disebut syari’at adalah mengabdi/menyembah Allah, dan thariqah adalah bertujuan hanya menuju Allah, dan hakikat adalah menyaksikan Allah atau ma’rifatullah. Syaik Nawawi al-Bantani dalam Salalimul Fudlola menyatakan thariqah adalah “al-i’timadu al-saalik ‘ala awtsaqi al-umuri”] Mahabbaturrasul [Cinta atas Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam yang di dalam al-Quran disinggung dalam ayat ke 31 dari surat Ali Imron (Qul in kuntum tuhibbunallaha fattabi’uuniy yuhbibkumullahu wa yaghfir lakum dzunubakum, wallahu ghofuurun rohiim) dan hadits (laa yukminu ahadukum hatta akuna ahabbu ilaihi min waladihi wa waalidihi wa al-naasi ajma’iin.al-hadits aw kama qola)]
Dalam gerakan yang lembut [yang dalam ISHARI NU disebut roddat, yang secara kebahasaan dari kata rodda-yaruddu-roddan yang bermakna mengembalikan, membalas, atau menolak. Roddat dalam istilah hadrah adalah orang yang membalas secara bersama-sama atas lantunan syair sholawat yang dilantunkan Guru Hadi sambil melakukan gerakan tarian khusus (raqs) melakukan keplok tangan (tashfiq) dan bersuara sulukh], dalam suara yang merdu [yang merupakan lantunan dari dua kitab utama ISHARI NU, yaitu bacaan kitab Maulid Syaroful Anam karangan Syaikh al-Imam Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Qasim al-Maliki al-Bukhari al-Andalusi al-Mursi yang masyhur dikenal dengan nama Imam Hariri. Serta kitab Diwan Hadroh],
Seni Hadrah menghantarkan [menjadi ritual, media spiritualisasi, dan juga mediasi] cinta kepada Sang Nabi yang suci [junjungan dan panutan kita semua Sayyidina Muhammad shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam].
Thariqah Mahabbatur Rasul, jalan kasih sejati [karena sejatinya Allah dan Rasulullah lebih mencintai kita semua sebelum kita –sadar atau belum menyadarinya—. Adapun perihal cinta seorang mukmin pada Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam seperti yang difirmankan Allah dalam al-Quran surat al-Ahzab ayat 6 dan surat al-Baqarah ayat 156],
Mengajar [maksudnya adalah ISHARI NU mentarbiyah jasmani dan rohani pengamalnya yaitu] kita untuk mencintai Rasulullah dengan penuh keikhlasan hati [Sebagaimana Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Nashoihul Ibad membagi ikhlas dalam tiga tingkatan. Tingkat tertinggi adalah ikhlas yang “tashfiyatu al-‘amala ‘an mulahadhoti al-kholqi bi-an laa yurida bi-‘ibadatihi illa imtitsali amrillahi wa al-qiyamu bi-haqqi al-‘ubudiyyati duuna iqbala al-nasi ‘alaihi bi al-mahabbati wa al-tsanaa-i wa al-maali wa nahwi dzalik”. Makna bebasnya, membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk –dalam hal ini manusia—di mana tidak ada yang diinginkan dalam ibadahnya selain menuruti perintah Allah dan melakukan hak penghambaan, bukan mencari perhatian manusia berupa kecintaan, pujian, harta dan sebagainya. Tingkat ikhlas kedua adalah “an ya’mala lillahi li-yu’thiyahu al-hudhudho al-ukhrowiyyah ka al-bi’adi ‘ani al-nari wa idkholihi al-jannata wa tan’imuhu bi anwa’i maladziha”. Makna bebasnya, melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian-bagian akhirat seperti dijauhkan siksa api neraka dan dimasukkan surge dan menikmati berbagai macam kelezatannya. Tingkat ikhlas ketiga (terendah) adalah “an ya’mala lillahi luyu’thihi hadhdhon dunyawiyyan ka tausi’ata al-rizqi wa daf’i al-ma’dziyyati”. Terjemah bebasnya, melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian duniawi seperti kelapangan rizki dan terhindar dari hal-hal yang menyakitkan].
Hadrah, dalam lingkaran [satu sesi perhelatan hadrah khas ISHARI NU yang dalam kebiasannya disebut muhuth], para dzakirin bersatu [dalam satu kesatuan hadrah antara Hadi, penabuh rebana/duff, dan jamaah roddat],
Mengingat nama-nama Allah [sebagaimana yang biasa dibacakan pada muhuth Ibtida’, yaitu qosidah “al-aliifu awwal kalaami ya Majiid. Al-baa-u billahi al-taufiiq ya Syahiid. Al-Taa-u tauban nashuha ya Rosyiid. Al-Tsa-u tsawaban jaziilan ya Mu’iid. Al-Jiimu jamaalun lillahi ya Jamiil. Al-Haa-u hamidullahi ya Hamiid. Al-Khoo-u khotamu al-rusuli al-khitami”. Qosidah itu menyebut beberapa Asmaul Husna sebelum menyebut posisi dan kedudukan Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam sebagai penutup para Rasul], kasih pada Nabi tergambar jelas [sehingga ISHARI NU mengajak kita semua menenggelamkan diri kita dan mabuk dalam mencinta Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam sebagaimana salah satu syair dalam Maulid Syaroful Anam yang dalam ISHARI NU disebut muhuth Wulidal Habib yang berbunyi “Ya ‘aasyiqina tawallahuuw fi hubbihi, haadza huwa al-hasanu al-jamiilu al-mufrodu”].
Melalui nyanyian dan gerakan yang penuh kasih [begitulah seharusnya ketika melakukan amaliyah ISHARI NU baik sebagai Hadi, penabuh rebana, sebagai roddat, maupun menjalankan fungsi apapun dalam mengamalkan, melestarikan, serta mensyiarkan ISHARI NU],
Seni hadrah menyentuh jiwa [al-nafs, yang menurut Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Qatr al-Ghaits al-nafs terbagi dalam tujuh tingkatan. Pertama, al-nafs al-ammarah, yang memiliki kecenderungan kikir, tamak, dengki, bodoh, sombong, dan keinginan hewani. Kedua, al-nafs al-lawwamah, yang memiliki kecenderungan suka mencela, bersenang-senang, mengumpat, menipu, bangga diri, pamer amal, dholim, dusta, dan lupa. Ketiga, al-nafs al-mulhamah, yang memiliki kecenderungan murah hati, merasa cukup, penyayang pada yang menyakiti, rendah hati, taubat, sabar, dan bertanggung jawab. Keempat, al-nafs al-muthmainnah, memiliki kecenderungan dermawan, berserah diri, ibadah, bersyukur, ridlo, dan al-khosyah. Kelima, al-nafs al-radliyah, memiliki kecenderungan mulia, zuhud, ikhlas, wara’, riyadlah, dan tepat janji. memberi ketenangan yang tiada tara. Keenam, al-nafs al-mardliyyah, kecenderungannya berakhlak baik, meninggalkan yang selain Allah, lembut pada makhluk, mengurus makhluk dengan kebaikan, memaafkan kesalahan makhluk, mencintai makhluk dan mengeluarkan makhluk dari kegelapan dan keburukan akhlak menuju bercahayanya ruh mereka. Ketujuh, al-nafs al-kamilah, kecenderungannya ‘ilmu al-yaqin, ‘ainu al-yaqin, dan haqqu al-yaqin].
Thariqah Mahabbatur Rasul, jalan cinta kepada utusan Tuhan [maksudnya Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam yang],
Mengajar kita untuk mencintai Nabi Muhammad dengan sepenuh hati.
Melalui ibadah [dalam makna bahwa beribadah secara baik dan benar serta sesuai syariat adalah bukti dari cinta kepada Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Syaikh Muhammad Bin ‘Ajibah dalam Iqodhul Himam menjelaskan ada tiga istilah, yaitu ‘ibadah, ‘ubudiyah, dan ‘abudiyah] dan pengabdian [dalam makna menjalankan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi] yang tulus,
Kita [siapapun diri kita sebagai mukallaf harus berusaha] mendekatkan diri pada-Nya, [berjuanglah untuk] merasakan [dan jangan hanya membicarakan, mendiskusikan, atau memperdebatkannya saja, yaitu] cinta yang abadi.
Dalam setiap langkah [amaliyah, yang terbagi dua, yaitu af’aliyah dan ahwaliyah. Af’aliyah adalah amal lahir, ahwaliyah adalah amal batin], di setiap doa yang terucap [baik itu dalam kondisi hudlur wal khusyu’ ataupun ghoflah],
Kita merasakan kehadiran Nabi yang selalu hadir dalam hati [sebagaimana yang terlukiskan dalam dua bait syair yang biasa dbawakan saat muhuth Takhtim, yaitu “Anta haadhir fi al-hadlroh layta syi’riy hal tudroo, anna mahbuubaka haadhir kaana jurhuk laa yubroo. Laa naghiib ashlan ‘anka wa hijabuk huwa minka, iksyifi al-ghoflata ‘anka wa taladzdzadz bi al-dzikroo”].
Seni Hadrah dan Thariqah Mahabbatur Rasul,
Mengajar kita tentang cinta suci yang tak akan pernah padam [bahkan bagi para Ishariyyin, ungkapan kerinduan pada Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam itu tak ingin berkurang dan hilang barang sekejap. Sebagaimana dua bait syair dalam muhuth Badat Lana, yaitu: “in lam azur qobrohu yaa sa’du fiy ‘umuriy, min ba’di haadzaa al-jafaa yaa dloy’ata al-‘umuri. Taqossama al-hubbu fi kulli jaariyatin, fa al-wajdu li al-qolbi wa al-ajfaanu li al-sahari”].
Dalam melodi yang mengalun [dalam tabuhan rebana dan tashfiq oleh roddat], dalam dzikir yang dipanjatkan [dengan bahar dan tausyih-tausyih khas ISHARI NU],
Kita merasakan hadirnya cinta pada Rasulullah yang suci.
Seni Hadrah [yang di dalamnya terkadang melantunkan syair dengan metafora hewan-hewan surga, seperti dalam syair Amanatak yang biasa dibawakan pada muhuth Takhtim, yaitu: “amaanataak wa qumriyu al-basyaamah, balligh salaamiy shohiba al-‘alaamah. Muhammadun al-mab’utsi min Tihamah, ro’i al-liwaa wa al-haudli wa al-karomah”] adalah thariqah untuk mencapai tujuan,
Mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan kasih yang tak berkesudahan [seperti syair dalam muhuth Ta’alauw Bina yang berbunyi: “man habba al-ilaaha habba mursalahu, man habba mursalahu yattabi’u sunnatan”].
“Man ro-aa wajhaka yas’ad – ya kariima al-waalidaini”
*A’wan MWCNU Buduran dan Ketua ISHARI NU Banjarkemantren
A’wan MWC NU Buduran | Tukang Sapu Langgar
Mahabbah gak kenal wayah