SPIRITUALISASI DI DUNIA MAYA

SPIRITUALISASI DI DUNIA MAYA

Oleh: Chabib Musthofa

Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyyah Buduran

 

Karena Anda tahu bahwa spiritualitas selalu bersifat teknologi tinggi. Spiritualitas adalah sejenis transmisi energi antara umat manusia, jika kita dapat menerimanya, karena manusia adalah penerima dan pentransmisi pada waktu yang sama. Inilah yang kami lihat di internet dan dalam peralatan canggih yang ada saat ini –bahwa segala sesuatu menerima dan mengirim. Jadi kami ingin menunjukkan bahwa sufisme adalah suatu cara berkomunikasi melalui energi yang dapat berpindah dari satu orang ke orang lain melalui spiritualitas.

 

Di atas merupakan petikan kalimat yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad Hisyam al-Kabbani ketika diwawancari oleh Jeff Zaleski, seorang akademisi dari kampus bernama Indiana University Bloomington. Kalimat Syaikh Hisyam al-Kabbani itu termaktub dalam buku berjudul The Soul of Cyberspace: How The New Technology Is Changing Our Spiritual Lives yang dialih-bahasakan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Petikan tersebut berada pada Bab 3 dari 12 Bab di buku tersebut. Syaikh Muhammad Hisyam al-Kabbani sendiri merupakan mursyid tarekat Naqsyabandiyah Haqqani, posisi yang Allah SWT anugerahkan padanya melalui bimbingan dari guru sekaligus mertuanya, Syaikh Nadzim Haqqani. Syaikh Muhammad Hisyam al-Kabbani pernah belajar kimia di American University of Beirut, kedokteran di Louvian Belgia, dan Syariah di Damaskus. Posisinya kini memimpin Islamic Council of America, Naqsyabandi Haqqani Sufi Order of America, As-Sunnah Foundation of America, dan pendiri Sufi Muslim Council UK dan Center for Spirituality and Cultural Advancement UK.

Merujuk pendapat Syaikh Muhammad Hisyam al-Kabbani di atas, kita dapat melihat relasi antara teknologi, manusia, dan spiritualitas. Teknologi menjadi washilah terjadinya interaksi antar manusia meskipun berada di ruang dan waktu yang berbeda. Interaksi ini memberikan dampak pada pelakunya. Satu sisi pelaku komunikasi dalam dunia maya berfungsi sebagai subyek yang memberikan informasi, di saat yang sama subyek tersebut juga menjadi obyek dari informasi yang masuk pada sistem kesadaran dirinya. Bahkan bisa jadi interaksi relasional antara dua orang di dunia maya bisa menjadi informasi baru bagi subyek ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya. Ketika interaksi antar manusia –baik sebagai subyek, obyek, atau transmitter—di dunia maya itu kemudian memasuki relung kesadaran diri manusia itu sendiri, mempengaruhi caranya memaknai tujuan hidup, merasakan kekuatan Meta-Rasional yang menguasai daya hidupnya, maka sebenarnya interaksi itu mengandung unsur spiritualitas.

Dialog Syaikh Muhammad Hisyam al-Kabbani dan Jeff Zaleski ini menunjukkan bahwa kini orang dengan mudah dapat merasakan pengalaman spiritual di manapun dan melalui media apapun. Bahkan ketika seseorang membaca atau membuat status WhatsApp (WA), flyer, infografis, atau berbagai media popular apapun, bisa jadi ia akan mengalami spiritualitas internal dalam dirinya, dan produknya tersebut juga berpotensi mewarnai spiritualitas penikmatnya.

Ironinya, terkadang kini muncul gejala psikologis yang entah apa istilahnya. Misalnya, ketika sudah mengunggah WA atau meng-copy-paste flyer, videografis, infografis, atau apapun yang substansinya bersifat kebaikan, maka “si pengunggah” –diam-diam juga ikut—merasa sudah menjadi bagian dari kebaikan yang disebarkannya. Padahal prestasinya hanyalah pengunggah, atau bahkan “plagiat” status, belum pelaku kebaikan dari status tersebut. Pada kasus tersebut si pengunggah lebih sebagai subyek. Pada kasus lain justru terjadi saat seseorang menjadi obyek media sosial. Ketika menerima, membaca, atau menikmati status WA, flyer, infografis, atau berbagai media popular apapun, tiba-tiba si penikmat tadi seolah-olah menjelma sebagai makhluk yang merasa paling representatif dengan info kebaikan yang diterimanya. Padahal ia hanyalah seorang konsumen yang masih berstatus obyek kebaikan, tapi tiba-tiba merasa menjadi bagian dari kebaikan yang baru saja diketahuinya.

Pada konteks inilah kemudian tokoh seperti Syaikh Muhammad Hisyam al-Kabbani memandang bahwa dunia maya dan kecanggihan piranti yang terus berkembang sebagai pendukungnya sebagai bagian dari media dakwah, sehingga beliau ikut meramaikan jagat maya dengan berbagai akun media sosial. Mulai dari website, facebook, twitter, instagram, atau media sosial lain dalam jumlah yang tidak sedikit dan memberikan suplai informasi yang massif. Rupanya beliau menjadikan media sosial sebagai outlet online yang bisa diakses oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Sebagai mursyid ordo tarekat, tentu topik utama dari syiar beliau di media sosial adalah tentang sufisme yang bertujuan mengajak siapapun untuk memenuhi hak-hak Ilahiyah di samping juga memenuhi hak-hak kholqiyyah. Layaknya outlet online, informasi yang diberikan merupakan hal-hal mendasar, awal, dan universal dalam dunia sufistik dan ketarekatan yang diajarkannya, sedangkan untuk mengarungi samudera tasawuf dan ketarekatan yang diajarkannya secara spesifik tentu melalui proses ritual-spiritual yang ditetapkannya.

Ketika tiap orang boleh mengunggah dan menerima apapun melalui media sosial, dan di saat yang sama berbagai propaganda yang mendeterminasi tiap anasir kemanusiaan yang berketuhanan juga sedang jumawa menampilkan rayuannya, maka mengarahkan pilihan untuk melakukan dakwah melalui media sosial menjadi keniscayaan, baik secara personal maupun komunal. Organisasi sosial keagamaan yang teguh dan konsisten memperjuangkan madzhab serta manhaj ahlussunnah wal jamaah seperti NU beserta lembaga dan badan otonomnya tentu tidak mengesampingkan urgensi media sosial ini. Termasuk juga para ikhwan penganut dan pengamal tarekat khususnya thariqah al-mu’tabarah, kiranya perlu menyisihkan waktu untuk mempertimbangkan, mengambil, dan mengambah perannya di media sosial. Soal apakah ketika bermedia sosial nanti tidak malah menimbulkan riya’, ujub, sum’ah, sombong, dan sebagainya, usul tulisan ini sederhana, mari kita lakukan dulu sembari terus belajar mengikis habis sifat-sifat madzmumah tersebut dengan memperkuat kualitas kedalaman dan keter-uku-ran kesantrian kita pada kyai, serta kedalaman dan keterukuran kemuridan kita pada Sang Guru Mursyid. Bisa jadi ada beberapa huruf, ide, pendapat, atau komentar kita di media sosial itu malah menjatuhkan status spiritual kita. Pun juga bisa jadi di antara huruf yang kita tuliskan, ide, pendapat, dan komentar yang kita unggah di media sosial itu menjadi washilah sekaligus jariyah yang tak berkesudahan. Tujuannya jelas, menggapai ridla Allah SWT dan restu Baginda Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.