PRASUNG. Bagi orang yang tidak terbiasa hadir pada forum-forum bahtsul masail NU yang secara organisatoris menjadi kegiatan rutin Lembaga Bahtsul Masail (LBM), mungkin ketika kali pertama hadir akan mendapatkan pemandangan yang seru dan mungkin menegangkan. Betapa lalu lintas berbagai pendapat tentang hukum satu persoalan secara deras dan tajam saling beradu secara argumentatif melalui lisan para musyawirin didukung dengan maraji’ dan ‘ibarot yang langsung dikonfirmasi saat itu juga. Meskipun begitu, di bahtsul masail perdebatan seserius dan sekeras apapun bisa jadi bahan kelakar yang mampu membuat semua orang tertawa lepas tanpa ada yang merasa dilecehkan. Situasi ini terjadi pada saat pelaksanaan bahtsul masail LBM PCNU Sidoarjo yang dilaksanakan di MWCNU Buduran dan ditempatkan di PP Darul Hikmah Prasung pada Ahad (09/06/24).
Rois Syuriyah KH. Chusnul Waro, Ketua Tanfidziyah Kyai Machrus, Ketua LBM KH. Muhyiddin Kholiq beserta beberapa jajaran pengurus MWCNU Buduran telah hadir di PP Darul Hikmah lebih awal dari jadwal yang tertera di undangan. Di antaranya adalah Kyai Nahrawi, KH. Azizurrahman, Kyai Hasan Jamil, Abah Purwiyono, KH. Ali Makhfud, dan Gus A. Hasan Fahmi. Pengasuh pesantren, KH. As’ad An Nahdly terlihat tenang mengkoordinir para khadimul ma’had menyiapkan penghormatan pada para tamu yang akan rawuh. Jarum jam belum menunjuk pukul 08.00 pagi, tapi belasan sahabat Banser telah melakukan apel dan bersiap melakukan pengamanan kegiatan di sisi selatan aula pertemuan.
Kyai Munawwir memimpin opening ceremonial dengan bahasa lugas dan mengundang tawa para musyawirin. Beliau juga mengabsen secara langsung para delegasi dari tiap MWCNU yang telah hadir. KH. Chusnul Waro didapuk menyampaikan iftitah dan kesempatan itu beliau gunakan untuk mengajak musyawirin bertawassul pada ulama muassis dan muharrik NU. Kyai Mahrus menyampaikan sambutan atas nama MWCNU Buduran yang secara substansial menghaturkan terima kasih atas kehadiran tamu dan pengasuh PP Darul Hikmah yang berkenan menjadi tuan rumah. Gus As’ad juga berkesempatan menyampaikan suba-sita kalam sebagai tuan rumah.
“Kami sangat bersyukur atas rawuhnya Panjenengan, sekaligus kami mohon maaf segala kekurangan dalam menghaturkan penghormatan”, ujar ulama muda itu.
Para musyawirin utusan LBM tiap MWCNU dan pesantren se-Sidoarjo menempatkan diri secara dalam posisi setengah lingkaran menghadap panggung kehormatan. Di atas meja-meja telah tertera informasi nama-nama daerah dari utusan, sedangkan meja-meja di panggung kehormatan tertera tulisan moderator, muharrir, dan mushohhih. Notulen menempati sisi kiri panggung kehormatan dan menghadap laptop yang catatan masail telah tertera di layar monitor LCD. Ruang pertemuan itu sendiri berada di sisi selatan pondok pesantren dan di tiap dindingnya dipenuhi berbagai ornamen dari ukiran kayu yang menambah kesan perbawa tersendiri.
Kyai Samiun yang didapuk menjadi moderator yang mengatur lalu lintas musyawarah, langsung menempati meja yang tertera lambang NU di tengah panggung. Setelah memberikan arahan singkat tentang mekanisme musyawarah, beliau membacakan narasi konteks persoalan dan mempersilahkan para musyawirin memberikan tanggapan atas narasi tersebut. Beberapa delegasi langsung mengacungkan tangan meminta afirmasi beliau untuk memberikan argumentasi. Setelah beberapa utusan memberikan komentar, terlihat bahwa untuk memahami konteks dan fokus persoalan saja terjadi perbedaan, bahkan perbedaan itu terkesan sangat tajam dan lebih bersifat vis a vis. Di antara mereka kerap memberikan i’tirodl. Situasi ini membuat Kyai Samiun mempersilahkan pengaju permasalahan memberikan klarifikasi dan konfirmasi dari konteks pertanyaannya untuk memperjelas substansi persoalan yang dimaksudkan.
Di antara permasalahan yang dimusyawarahkan adalah terkait hukum kurban. Pertama, status hukum kurban dari hasil hutangan dari orang mampu tapi kebetulan saat akan berkurban ia tidak punya uang dan berhutang agar dapat berkurban dengan kesanggupan membayar hutangnya. Kedua, status hukum kurban dengan perbedaan informasi keterpercayaan penjual hewan kurban sebelum dan setelah kurban. Atas dua pertanyaan ini, terkadang muharrir dan mushohhih juga kerap “turun tangan” menceburkan diri dalam perdebatan bersama musyawirin. Bahkan, beberapa kali Katib Syuriyah PCNU Sidoarjo KH. Syihabuddin Sholeh menyampaikan argumentasi untuk mengarahkan fokus perdebatan pada duduk persoalan yang lebih substansial dan menghindarkan pembahasan agar tidak melebar pada persoalan di luar pokok persoalan.
Di akhir musyawarah, Kyai Manaf dimohon memberikan tausiyah atas persoalan yang sedang ditemukan hukumnya. Di antara yang beliau sampaikan adalah agar rumusan putusan bahtsul masail tidak menggunakan diksi nama yang sifatnya khusus dan dapat menimbulkan persepsi pada satu figur atau bahkan menimbulkan fitnah. Beliau berpesan agar tiap subyek pada kasus persoalan yang dibahas menggunakan nama samara atau bersifat universal. Kyai Manaf inilah yang didapuk untuk membacakan al-Fatihah tiap kali satu putusan hukum telah dihasilkan oleh musyawirin. Kegiatan ini diakhiri dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh KH. Syihabuddin Sholeh dan dipungkasi dengan foto bersama oleh seluruh peserta bahtsul masail. Agenda ini sendiri disiarkan secara langsung melalui channel YouTube resmi MWCNU Buduran pada link https://www.youtube.com/watch?v=pytipyvwwRY. ©
A’wan MWC NU Buduran | Tukang Sapu Langgar
Mahabbah gak kenal wayah