SEMANTIK DAKWAH (BAGIAN 3)

semantik,dakwah,lafadz,sinonim,tabligh,nasehat,tabsyir,tandzir,khutbah,washiyah,ta'lim,tarbiyah

SEMANTIK DAKWAH (BAGIAN 3)

Oleh: Chabib Musthofa

Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran

 

Boleh jadi pidato, orasi, dan ceramah menjadi satu pilihan cara orang berdakwah. Tapi pidato, orasi, dan ceramah belum tentu mewakili prinsip dan kaidah dakwah. Seringkali orang yang berpidato, berorasi, dan berceramah –apalagi yang berisi tema-tema keagamaan—mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan merupakan dakwah, walaupun bila mau jujur dan obyektif itu bukan sepenuhnya bisa disebut dakwah. apalagi ketika pidato, orasi, dan ceramah itu sengaja dilakukan dengan tujuan agar dapat dikonversi secara material seperti pendapatan, kepercayaan publik, pengaruh, jabatan, dan segala macam yang berbeda dengan tujuan dakwah itu sendiri. Tentu klaim bahwa pidaro, orasi, dan ceramah sebagai dakwah secara otomatis terbantahkan dengan dengan sendirinya.

 

Lafadz Dakwah Dalam al-Qur’an

Dakwah merupakan diksi yang diadopsi dari bahasa Arab, “da’wah” yang berasal dari kata kerja “da’aa – yad’uu”. Dalam kamus al-Munawwir, kata itu berarti mengundang, memanggil, minta tolong, meminta, memohon, menamakan, mendorong, menyuruh datang, menyebabkan, mendatangkan, mendoakan, menangisi, dan meratapi. Di al-Qur’an, lafadz yang menggunakan diksi ini dengan berbagai pengembangan bentuknya banyak sekali. Muhammad Sulthon menemukan ada 198 kali penyebutan lafadz ini, Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi’ menyatakan 299 kali, dan menurut Asep Muhiddin sebanyak 212 kali lafadz ini tersebut dalam al-Qur’an.

Pemaknaan dakwah dengan berbagai bentuk pengembangan lafadznya di dalam al-Qur’an juga tidak tunggal, karena disesuaikan dengan teks dan konteks ayat tersebut. Dakwah dalam makna seruan atau ajakan setidaknya termaktub sebanyak 46 kali, yang 39 kali darinya merupakan ajakan kepada kebaikan, dan selebihnya ajakan pada yang lain. Contohnya ada pada ayat ke-221 dari surat al-Baqarah. Ada yang berarti doa, seperti QS. Ali Imran ayat 38. Pada ayat itu terlihat gambaran bagaimana Nabi Zakariya alaihissalam berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar dikaruniai anak yang baik.

Ada yang berarti mendakwa atau menuduh, seperti pada QS. Maryam ayat 91. Pada ayat itu redaksi “an da’aw li al-rahmaani waladaa” berarti dakwaan atau tuduhan Bani Isra’il bahwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Ada yang berarti mengadu, seperti paad QS. al-Qamar ayat 10. Pada ayat ini tergambar bagaimana Nabi Nuh alaihissalam mengadukan dirinya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ada yang bermakna memanggil atau panggilan, seperti pada QS. al-Rum ayat 25. Ayat itu menggambarkan bagaimana nanti Allah subhanahu wa ta’ala memanggil manusia di dalam kuburnya setelah kiamat, lalu manusia bangkit dari kubur memenuhi panggilan Allah subhanahu wa ta’ala itu. Ada yang berarti meminta, seperti pada QS. Shad ayat 51. Ayat yang menggambarkan bagaimana para penduduk surga mendapatkan kenikmatan di dalamnya. Ada yang berarti mengundang, seperti pada QS. al-Qashash ayat 25. Ayat ini menceritakan bagaimana puteri Nabi Syu’aib alaihissalam menyampaikan undangan bapaknya kepada Nabi Musa alaihissalam agar bersedia berkunjung ke rumah mereka. Ada yang berarti penyeru, seperti pada QS. Thaha ayat 108. Ayat ini menerangkan apa yang dilakukan oleh malaikat Israfil yang menjadi penyeru seluruh manusia kelak di hari kiamat agar menuju Allah subhanahu wa ta’ala. Ada yang berarti nama, gelar atau sebutan, seperti pada QS. al-Nur ayat 63. Ayat ini menjelaskan larangan agar tidak mempermainkan panggilan Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Dan ada yang berarti anak angkat, seperti pada QS. al-Ahzab ayat 4. Ayat tersebut berisi larangan agar berhati-hati menjada mulut dalam rumah tangga, terutama terkait dlihar dan larangan menjadikan anak angkat sebagai anak kandung. Lafadz “ad’iya-akum” di ayat itu diartikan dengan anak angkat.

 

Sinonim Lafadz Dakwah

Selain variasi penggunaan kata dakwah di al-Qur’an, kata dakwah juga memiliki sinonim yang memiliki kemiripan. Pertama, tabligh. Di dalam al-Qur’an, lafadz ini dengan segala pengembangannya termaktub sebanyak 77 kali. Syaikh Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni dalam al-Madkhal ila ‘Ilm al-Da’wah menetapkan bahwa tabligh merupakan fase awal dari rangkaian kegiatan dakwah. Tabligh dapat dimaknai dengan menyampaikan ajaran Islam kepada orang lain, pelakunya disebut muballigh. Tabligh dapat dengan lisan, tulisan, maupun percontohan. Penggunaan lafadz “balligh” pada ayat ke-67 dari surat al-Maidah menunjukkan perintah Allah subhanahu wa ta’ala pada Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam untuk menyampaikan apa yang telah diterimanya sebagai rasul kepada umatnya.

Kedua, nasehat. Di dalam al-Qur’an, lafadz nasehat dengan segala pengembangan bentuknya disebutkan 13 kali. Arti dasar dari kata nasehat dalam bahasa Arab adalah memberi nasehat, menjahit, dan membersihkan. Syaikh Ahmad bin Syaikh Hijazi al-Fasyni dalam al-Majalis al-Saniyah menyampaikan bahwa seorang penasehat ibarat seorang penjahit yang menjaga kualitas pakaian dan membenahi kain yang robek sehingga kembali bisa digunakan untuk menutup aurat dan beribadah. Ketiga, tabsyir. Orang yang melakukan tabsyir disebut basyir (pemberi kabar gembira). Tabsyir adalah penyampaian ajaran agama yang berisi berita atau kabar gembira. Tabsyir lebih menekankan pada aspek bagaimana menampilkan agama sebagai sesuatu yang indah dan menyejukkan bagi jiwa manusia, sehingga mereka tergerak untuk mendekatkan diri pada agama. Keempat, tandzir. Orang yang memberikan tandzir disebut nadzir atau mundzir. Tandzir adalah memberikan keterangan tentang ajaran agama yang berisi peringatan atau ancaman pada mereka yang melanggar ketentuan agama dengan perbuatan maksiat. Ketika tampil sebagai pemberi peringatan, maka seorang nadzir atau mundzir akan menyampaikan peringatan keagamaan agar orang yang diberi peringatan berhenti atau jangan sampai melakukan keburukan. Diksi tabsyir dan tandzir ini di dalam al-Quran sering diletakkan beriringan.

Kelima, khutbah. Artinya ceramah atau pidato, sedang pelakunya disebut khatib. Sirah nabawiyah menjelaskan pada kita bahwa Baginda Rasulullah sholallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam pernah berpidato. Ciri utama dari ceramah atau pidato adalah penyampaian pesan-pesan keagamaan secara lisan kepada audien atau mustami’. Dari sisi penceramah yang paling hal yang paling kentara adalah komunikasi verbal, sedang dari sisi mustami’ adalah penangkapan dengan indera pendengaran. Keenam, washiyah atau taushiyah. Maknanya adalah memberikan pesan, mandat, atau perintah yang sangat penting. Dalam bahasa Indonesia diksi ini menjadi wasiat. Pada disiplin ilmu fikih, wasiat adalah pesan dari seseorang sebelum ia meninggal yang menuntut untuk ditunaikan oleh ahli warisnya. Ada banyak kitab yang mengulas tentang wasiat Baginda Nabi Muhammad sholallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, di antaranya adalah: Kitab min Washaya al-Rasul Khams wa Khamsun Washiyah tulisan Syaikh Hamzah Muhammad Shalih ‘Ajaj; Washiyah al-Musthafa li Imam ‘Ali; al-Minah al-Saniyah ‘ala Washiyah al-Matbuliyah yang merupakan catatan wasiat dari Syaikh Abu Ishaq Ibrahim al-Matbuli; dan al-Nasha-ihu al-Diniyah wa al-Washaya al-Imaniyah karya Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad.

Ketujuh, ta’lim. Dimaknai dengan pengajaran, pendidikan, atau pemberian tanda, sedang orang yang melakukannya disebut mu’allim. Ta’lim pada umumnya dilakukan pada orang yang sudah beragama Islam karena sifatnya adalah pendalaman atas keislaman tersebut. Ta’lim bertitik tekan pada transfer pengetahuan dari pengajar pada yang muridnya. Indikatornya adalah adanya pertambahan pengetahuan dalam ranah kognitif. Kedelapan, tarbiyah. Kata ini identik dengan makna ta’lim, yaitu pendidikan. Namun keduanya memiliki perbedaan. Tarbiyah lebih menekankan pada aspek ruhaniyah orang yang dididik, dan adanya aspek keteladanan di dalamnya. Orang yang melakukan tarbiyah disebut murabbi. Bila ta’lim menekankan sisi adanya pertambahan pengetahuan pada ranah kognitif, maka tarbiyah menekankan sisi kesadaran atau kemengertian dalam sanubari murid sekaligus kemampuan psikomotorik jasmaniyahnya untuk mengamalkan apa yang telah diketahuinya. Syaikh Abdul Karim Zaidan dalam Ushul al-Da’wah menyatakan bahwa seorang dai tidak hanya mengajarkan Islam pada sisi akal semata, tapi harus mendorong pengamalan dari apa yang telah diajarkan tersebut sehingga membentuk kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam.

 

Refleksi Semantis

Berbekal penelurusan singkat tersebut, lafadz da’wah (Arab) atau dakwah (Indonesia) secara semantik merupakan lafadz yang menjadi salah satu diksi dalam Islam untuk menunjukkan sebuah proses transformasi atau perubahan. Transformasi dalam hal ini bisa dimaknai dengan terjadinya peralihan pengetahuan atau pemahaman dari satu pihak ke pihak lain, atau penyaduran perilaku dari satu pihak dari pihak lain. Paling tidak, standar paling dasar dari transformasi itu adalah adanya upaya mewujudkan kebaikan, baik pada diri pelaku dakwah maupun obyek dakwah.

Walau memang syarat bahwa seorang juru dakwah tidak harus mencapai level kesempurnaan untuk boleh berdakwah, tapi akan sangat istimewa bila derajat kealiman, kesalehan, dan keteladanan lebih dulu disandang seorang juru dakwah sebelum padatnya jadwal dakwah atau ceramahnya. Tentu akan berbeda ketika menyimak penceramah yang alim tapi tidak ‘amilun bi ‘ilmihi, dibanding menyimak penceramah yang tidak begitu alim tapi ‘amilun bi ‘ilmihi. Bahkan keteladanan orang yang ‘amilun bi ‘ilmihi ini seringkali memiliki daya perubahan lebih besar pada kesadaran batiniyah orang lain, dari pada menawannya ceramah dengan kelucuan tingkat dewa. Sering kali para penceramah lebih mementingkan lucu walau keliru, daripada berisi walau dianggap basi. Wallahu a’lam bishshawab.