RANGKUL, PANGKU, SUMELEH

RANGKUL, PANGKU, SUMELEH

Oleh: Chabib Musthofa*

 

Ada pendapat yang mengatakan bahwa sikap terbaik pada zaman akhir adalah menjauhi fitnah dengan memutuskan pergaulan diri dengan sesama manusia. Motivasinya bukan untuk menghindarkan diri dari keburukan manusia lain, karena motivasi ini sejatinya adalah kesombongan diam-diam, oleh sebab merasa dirinya lebih baik sedangkan orang lain berkategori buruk. Pilihan sikap uzlah –dalam makna leterlek—ini lebih bertujuan agar manusia lain terhindar dari keburukan kita sebagai pelaku uzlah.

Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa sikap terbaik di zaman akhir adalah melakukan pergaulan dengan sesama manusia. Motivasinya untuk memperbesar upgrading kemanfaatan diri pada liyan (the others) sebagai tanggung jawab sebagai khalifatullah dengan aneka karunia yang diberikan Allah SWT pada tiap diri kita pada posisi dan keadaan yang beragam. Bahkan, pendapat ini mengklaim bahwa salah satu kemanfaatan dari bergaul dengan sesama manusia adalah mengetahui kelemahan atau kekurangan diri sendiri dengan memahami kelebihan atau kebaikan orang lain. Bukan malah sebaliknya, bergaul dengan orang lain hanya demi mencari pengakuan kelebihan diri sendiri atau memupuk hobi membanggakan diri baik secara diam-diam maupun terang-terangan.

Pada jalur pendapat kedua inilah pergaulan antar manusia ada yang –meminjam istilah Sosiologis– berpola gemeinschaft komunal gesellschaft, ada yang berpola personal dan komunal, dan bahkan ada yang berpola struktural dan kultural. Ada satu pola interaksi antar manusia atau pribadi dalam sebuah wadah formal, informal, atau non formal dengan pembagian fungsi dan peran. Mudahnya, pola interaksi antar manusia dengan pembagian fungsi dan peran yang berbeda ini disebut organisasi. Pada konteks interaksi manusia dalam organisasi inilah yang menjadi obyek formal kajian dari berbagai disiplin ilmu sosial dengan beragam perspekif dan pendekatannya.

Bila memahami NU sebagai organisasi, maka di dalamnya tentu berisi berbagai pembagian posisi dengan fungsi, peran, dan wewenang dari setiap kepengurusannya dari level Pengurus Ranting (PR) di desa, Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) di kecamatan, Pengurus Cabang (PC) di wilayah kota atau kabupaten, Pengurus Wilayah di propinsi, sampai Pengurus Benar Nahdlatul Ulama (PBNU) di level nasional. Pembagian fungsi, peran, dan wewenang sekaligus interaksi sosial antar pengurus, interaksi antar warga, atau interaksi antara pengurus dengan warga di tiap level itu tentu sangat beragam dan mencerminkan berbagai pola yang variatif.

Rabu, 8 November 2023 sekitar jam 21.00 WIB, Allah SWT menakdirkan kami nderekne KH. Jalisil Ulama sowan KH. Zainal Abidin, M.Pd.I. di ndalemnya di desa Wadungasih kecamatan Buduran. Pisowanan ini sebenarnya merupakan ekspresi adab dari santri pada kyainya, karena pada puncak peringatan Hari Santri Nasional (HSN) Tahun 2023 di MWCNU Buduran yang dilaksanakan Ahad, 5 November 2023 beliaunya rawuh dan ndawuhi untuk ngopi bila ada kesempatan. Sinyal inilah yang kemudian mendorong KH. Jalisil Ulama yang juga sebagai Wakil Ketua Tanfidziyah MWCNU Buduran ndawuhi kami sowan beliaunya. Nah, beberapa –karena tentu tidak semuanya—dawuh KH. Zainal Abidin, M.Pd.I dan KH. Jalisil Ulama dalam pisowanan inilah yang menjadi semacam resume tulisan ini dengan frame interaksi sosial pengurus sebuah organisasi. Tapi perlu dipahami bahwa tulisan ini bukan sedang atau dalam rangka mereplikasi atau menjastifikasi kejadian yang telah, sedang, akan akan terjadi secara spesifik menurut alam kesadaran pembaca semuanya. Topik ini berlaku umum, walau tidak bisa juga digeneralisir.

 

RANGKUL

Tentu pemahaman, pendapat, pemikiran, tujuan, orientasi, motivasi, serta berbagai hal lain cukup menjadi variabel bagi terjadinya perbedaan dalam organisasi –dalam hal ini NU secara umum—. Perbedaan ini perlu pengelolaan dengan baik sebagai dinamika yang akan membesarkan organisasi menjadi lebih mapan, matang, dan dewasa. Namun bila tidak dikelola, maka kaprahnya akan membawa dampak negatif yang akan menjadi penyakit bagi organisasi itu sendiri. Seringkali sebuah perkumpulan sekecil apapun atau milik komunitas minoritas akan menjadi kuat dan memiliki kualifikasi sebagai organisasi pemenang pertarungan saat dihadapkan pada organisasi yang lebih besar tapi seperti raksasa yang sedang tidur. Tidak jarang juga perkumpulan yang besar menjadi hancur tercerai berai bukan karena kalah berkompetisi atau serangan organisasi lain, tapi oleh karena olah orang-orang yang ada di dalam organisasi itu sendiri.

Perbedaan itu sendiri terkadang mengarah pada konflik dan dikuatkan dengan terbentuknya berbagai kubu yang secara fisik mungkin tiap hari bertemu, namun secara psikhis saling meninggalkan atau menghabisi. Serunya adalah ketika ada pimpinan atau pengikut itu sendiri –masuk, dimasukkan, atau termasuk—dalam kubu-kubu tersebut. Keseruan itu akan mewarnai pola keorganisasian yang yang dijalankan mereka itu. Betapa tidak, dalam satu kesempatan ia tidak bisa melepaskan perspektif kubu atau faksi tempat ia berada, dan di saat itu juga ia harus melakukan penyikapan secara organisasional yang tepat sesuai fatsun mandatori keorganisasian yang diamanahkan padanya.

Pada keseruan inilah tuan rumah menyampaikan pentingnya pilihan sikap “merangkul”. Sampai tulisan ini dibuat, tentu diksi “merangkul” yang beliau maksud bukanlah bermakna tekstual, namun lebih pada tekanan substansial –yang kira-kira dapat dipahami—dengan makna mengakomodir, melibatkan, menggerakkan, dan sebagainya. Bila atensi ini diarahkan pada faksi atau kubu dalam organisasi –dan seandainya itu ada–, maka saran ini bukan hanya mengarah pada pimpinan semata, namun juga pada yang dipimpin dalam makna vertikal maupun horizontal.

 

PANGKU

Pangkonan adalah term Jawa dari pangkuan. Ilustrasi mudahnya bayangkanlah seorang ibu memangku anaknya. Resep ini muncul ketika kami berdua sebagai tamu menyimak bagaimana tuan rumah menginformasikan beberapa fenomena yang terjadi di organisasi, di mana terjadi perbedaan tajam dari beberapa orang terkait beberapa hal yang pastinya tidak penting kita ketahui. Bahkan, perbedaan itu sampai mewarnai sikap praktis dalam menjalankan fungsi keorganisasian orang-orang yang terlibat. Warna kesenjangan ini juga kerap tampil di forum-forum formal di samping tentu juga terjadi di panggung media komunikasi elektronik sekelompok orang. Dari perbedaan pemahaman menjadi perbedaan sikap, dan berakhir pada perbedaan perilaku dalm berorganisasi.

Menariknya, disparitas perbedaan ini kerap luluh ketika pihak yang –katakanlah—berbeda atau berselisih dengan argumentasi kebenaran masing-masing ada yang tergerak melakukan pendekatan pada pihak lain. Pendekatan ini tentu bukanlah approach dalam pengertian akademis, namun lebih pada pendekatan seorang ibu yang mendatangi anaknya yang menangis, memangkunya lalu mencurahkan segenap belai kasih-sayangnya pada anak tersebut. Atau pendekatan di sini adalah mendekatnya anak dengan berbagai masalahnya pada sang ibu, lalu merebahkan dirinya di pangkuan ibunya seraya menumpahkan segala kepenatan itu pada samudera kasih sayang ibu, untuk kemudian terkatalisasi menjadi energi atau vitamin kehidupan yang menyehatkan.

 

SUMELEH

Sumeleh dari kata seleh. Kamus bahasa Jawa memaknai diksi ini dengan melepaskan atau menyerahkan. Maknanya melepaskan atau menyerahkan ego diri sendiri untuk bisa membuka diri menerima ego orang lain. Bisa jadi ego orang lain itu dalam kategori benar dan bisa juga salah. Bila seandainya ego orang lain benar dan ternyata ego diri sendiri salah, maka sikap sumeleh ini menjadi pintu diri sendiri mengalami perbaikan. Bila ego orang lain benar dan ternyata ego diri sendiri juga benar, maka sumeleh menjadi pintu dialog dua kebenaran yang akan mendewasakan diri dan orang lain menuju kebenaran bersama. Bila ego orang lain salah dan ego diri sendiri benar, maka sumeleh menjadi wadah atau lautan yang akan menyucikan tanpa kehilangan kesuciannya. Dan bila ego orang lain salah dan ego diri sendiri juga salah, maka sumeleh menjadi majelis muthola’ah sekaligus mushofahah dua santri dalam naungan kebenaran organisasi.

Tak terasa arloji menunjukkan jam 01.30 dini hari, kami berdua saling berkerling mata lalu mohon rukhshoh untuk undur diri. Bukan karena capek, mengantuk, atau bosan. Apalagi menyangkal keampuhan resep rangkul, pangku, dan seleh itu. Tapi –ini rahasia—karena udut kami telah habis dan rasanya tidak lengkap bila begadang tanpa ditemani udut. Wallahu a’lam bisshowab.

 

*Penulis adalah A’wan MWCNU Buduran dan Ketua Tanfidziyah PR ISHARI NU Banjarkemantren