Image by xvector on Freepik
Jihad adalah Perang
Jihad berkonotasi perang, pedang, penaklukan dan beberapa asumsi lain di sekeliling kekerasan untuk mencapai sesuatu, padahal makna dasar dari jihad -dalam bahasa Arab- adalah bersungguh-sungguh. Literatur dan tradisi keilmuan Islam menegaskan seorang ahli hukum Islam yang memiliki kualifikasi keilmuan untuk menentukan hukum kontemporer berdasarkan teks al Quran dan Sunnah disebut dengan mujtahid. Sedangkan orang yang sedang berperang dalam mencapai kemenangan Islam disebut dengan mujahid. Dua terminologi yang mirip karena berangkat dari akar kata sama, namun memiliki perbedaan makna.
Ketika mempelajari sejarah Islam, mungkin yang menjadi dasar asumsi-asumsi heroik atas Nabi Muhammad saw dan figur-figur muslim saat itu hanyalah pada saat perang Badar, Uhud, Khandaq, Tabuk, dan beberapa perang lain yang dijalankan Rasulullah saw beserta para sahabatnya. Atau figur pahlawan dalam Islam sangat dekat dengan nama-nama sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Amr bin Ash atau Khalid bin Walid, bukan pada nama-nama seperti Zaid bin Tsabit, Usman bin Affan, atau Anas bin Malik radliyallahu ‘anhum. Sangat kecil peluang munculnya kesimpulan heroik dari figur Nabi Muhammad saw walau telah menelusuri teladan keikhlasan beliau ketika dilempari batu oleh penduduk Thaif karena menolak dakwahnya. Alih-alih membenci, beliau justru menolak tawaran Jibril untuk menghancurkan kaum tersebut lalu mendoakan penduduk Thaif karena perilaku buruk mereka padanya adalah bagian dari ketidaktahuan atas Islam. Konstruksi seperti ini, ikut bertanggung jawab atas terjadinya penyempitan makna jihad dengan makna perang an sich dalam literatur Islam.
Pada level yang lebih ekstrim, kesungguhan dan kebenaran mengamalkan ajaran Islam oleh sebagian orang –hanya—dapat diukur dari perilaku jihad yang diperagakannya dalam memperjuangkan Islam. Jadi, seberapa alim, dermawan atau ikhlas jiwa seorang muslim, dalam pandangan ini ia tidak akan dianggap muslim utama jika belum menunjukkan perilaku jihad membela Islam dan melawan “musuh”-nya secara nyata. Secara kongkrit, indikator jihad tersebut mungkin dapat dilihat melalui seberapa sering muslim tersebut berperang secara lahir melawan “musuh” Islam, seberapa besar dana yang ia keluarkan untuk berperang, dan berapa jumlah “musuh” yang sudah dibinasakannya.
Berpuasa dan Berjihad
Puasa dalam bahasa Arab berasal dari kata kerja shoma-yashumu yang bermakna menahan atas sesuatu yang datang pada diri sendiri. Sebelum datangnya Islam yang dibawa Baginda Nabi Muhammad saw, beberapa kelompok manusia di seluruh dunia telah mengenal dan melakukan perilaku puasa berangkat dari logika teologisnya masing-masing. Ambil contoh, kaum Yahudi yang memiliki tradisi puasa hari Sabat (sabtu) atau adanya istilah poso mutih, poso patigeni, poso ngrowot, dan poso busono, poso ngidang, dalam khazanah Jawa yang lebih bersifat lokalitas. Dalam perkembangan, istilah ini kemudian menjadi salah satu perilaku dari lima jenis ibadah yang disyariatkan oleh Islam, yaitu puasa di bulan Ramadan. Ramadan sendiri bermakna panas membakar. Ada dua versi yang mendasari makna ini, pertama, karena memang pada saat datangnya bulan Ramadan, jazirah Arab mengalami musim panas yang sangat membakar, kedua, karena beratnya ibadah puasa dalam membakar dosa-dosa pelakunya.
Orientasi esensial puasa adalah pencapaian derajat taqwa yang hanya dapat diukur dan dinilai oleh Allah melalui hak prerogatif ilahiyahNya. Taqwa adalah level tertinggi yang selalu dipamerkan Allah dalam al Quran agar tiap hambaNya bersemangat untuk mencapainya dengan cara-cara peribadahan yang kompleks. Beberapa target antara –meminjam istilah ilmu komunikasi—dalam mencapai taqwa adalah memiliki sikap ikhlas, sabar, berprasangka baik, istiqomah, adil, dan beberapa sikap lain yang –terkadang– sulit diwujudkan dalam bentuk nyata karena telah menjadi barang langka di tengah-tengah kehidupan sosial kita dewasa ini.
Bahkan Rasulullah Muhammad saw sendiri dalam sebuah kesempatan sepulang dari perang Badar pernah memberikan keterangan kepada sahabatnya yang berkomentar atas perang hebat yang telah mereka lakukan bahwa puasa adalah jenis ibadah yang memerlukan kekuatan diri penuh dari yang melakukannya. Baginda Nabi Muhammad saw memakai ungkapan “roja’na min jihad al ashghar ila jihad al akbar, wa huwa al shaum”, untuk menjelaskan beratnya puasa ketika dijalankan dengan benar. “Kita pulang dari perang yang kecil (perang Badar) menuju perang yang lebih besar (puasa Ramadan)”, begitulah kira-kira maknanya. Keterangan ini diberikan Nabi Muhammad saw karena memang dalam tarikh Islam terjadinya perang Badar bertepatan ketika umat muslim saat itu melaksanakan puasa di bulan Ramadan.
Perang Alternatif
Dalam pemikiran yang lebih konstruktif, jihad kini tidak hanya selalu berarti perang melawan sekelompok musuh dengan senjata fisik dengan kesimpulan kalah-menang di akhir pertempuran, karena Nabi Muhammad saw sendiri mengatakan bahwa puasa di bulan Ramadan adalah salah satu bentuk “jihad al akbar”, jihad melawan nafsu yang tentu lebih besar perjuangannya dibanding jihad melawan sekelompok orang yang dianggap musuh.
Beratnya puasa sebagai upaya memerangi nafsu yang ada dalam diri sendiri, disebabkan karena tiap orang yang berpuasa harus mampu menekan kebenaran dan kepentingan subyektif yang terkadang sangat mudah direkayasa di hadapan orang lain karena hanya dirinya dan Tuhan yang tahu. Siapa yang tahu –selain Allah—jika seseorang yang berpuasa telah sengaja meneguk beberapa tetes air ketika ia berkumur saat berwudlu, yang tahu hanyalah dirinya dan Allah semata. Jujur dalam kesendirian, sesuatu yang sangat sukar dicapai saat ini ketika banyak pejabat alumni “sekolahan” yang korupsi atau “ngemplang” uang negara.
Perjuangan mendapatkan kejujuran yang kini sangat langka dengan berpuasa di bulan Ramadan, jauh lebih berat dibanding memobilisir massa, melakukan razia liar, dan merusak gedung-gedung yang diklaim digunakan untuk tempat maksiat. Berjihad memahami nilai-nilai keadilan, kedermawanan, keikhlasan, kesucian, keindahan kesabaran sekaligus berusaha memanifestasikannya dalam perilaku, adalah bentuk jihad yang lebih berat dibanding menghakimi kualitas iman sekelompok orang.
Salah satu upaya meneladani puasa Ramadan ini adalah dengan menjadikan Ramadan sebagai bulan rahmat bagi semua orang, dan bukan hanya umat Islam semata. Jika orang Islam bersemangat karena dibulan Ramadan Allah telah menjanjikan kepadanya rahmat, maghfirah (ampunan), dan itqun min al nar (bebas dari api neraka), maka itu memang sudah wajar karena ketiganya merupakan reward atas mereka yang berprestasi saat Ramadan. Namun yang sulit adalah bagaimana menghantarkan orang non-Islam (the others) –atau mungkin juga yang muslim– untuk ikut tersenyum menyambut datangnya Ramadan sebagai bulan penuh berkah tanpa harus takut menutup kedai, warung, atau restoran yang tiap hari menopang kehidupan ekonominya.
Jika seandainya para penjual makanan siap saji harus tutup hanya untuk menghormati orang yang berpuasa di bulan ini, maka pertanyaannya, apakah orang yang berpuasa harus dihormati. Kemungkinan ada dua hal yang menuntut penghormatan di bulan ini. Pertama, penghormatan kepada bulan Ramadan, dan kedua, penghormatan bagi orang yang berpuasa dan beribadah di bulan Ramadan. Dua alasan ini kiranya sangat tidak tepat dijadikan dasar untuk menutup warung makan, merazia tempat hiburan, dan bahkan menyiramkan minuman keras pada penjualnya, meskipun harga minuman itupun diganti dengan sejumlah uang. Jika ancaman terhadap “the others” kita lakukan dengan alasan untuk menghormat bulan turunnya Al Qur’an ini, maka sebaiknya ancaman itu kita ganti dengan dakwah bil hikmah atau dakwah bil hal untuk menghormati bulan ini. Yang diwajibkan Tuhan bukanlah penghormatan, namun peribadatan. Dan sekali-kali menurut saya, Allah juga tidak gila penghormatan hamba-Nya. Dan jika alasan menghormati orang yang sedang berpuasa dan beribadah di bulan Ramadan dijadikan dasar bagi sekian banyak razia yang terkadang meresahkan sebagian ”the others”, maka sejak kapan Allah perintahkan manusia untuk mencari penghormatan selain penghormatan Allah itu sendiri ketika melakukan sebuah amal ibadah?
Jika ada pepatah “kuman di seberang lautan tampak, tapi gajah di pelupuk mata tidak tampak”, mungkin juga tepat jika dalam konteks ini ada pepatah “syetan dalam diri orang lain tampak jelas, tapi syetan dalam diri sendiri tidak tampak karena mungkin syetan tersebut memakai sorban”. Marilah kita wujudkan semangat jihad al nufus pada bulan ini dengan kegiatan-kegiatan ubudiyah dan dakwah nyata yang penuh hikmah dan menyadarkan orang yang belum sadar. Wallahu a’lam.
Chabib Musthofa
A’wan MWC NU Buduran
A’wan MWC NU Buduran | Tukang Sapu Langgar
Mahabbah gak kenal wayah
Luar Biasa sekali keterangannya, mudah²an menjadi ilmu yang bermanfaat
Mantap dan berkualitas tausiyah nya.Semoga saya yang ummat kategori awam ini bisa mengambil hikmah dari tulisan ini,sebatas kemampuan pemahaman yang saya miliki.
Amin. Semoga kita selalu mendapatkan hidayah dan pertolongan dari Allah 🤲🏻