PRINSIP DAKWAH DALAM CERAMAH (BAGIAN 5)

PRINSIP,DAKWAH,CERAMAH,REFLEKSI,USHULIY,FURU'IY,MIMBAR,NU,UMMAH,NAHDLIYYIN,PENCERAMAH,DAI

PRINSIP DAKWAH DALAM CERAMAH (BAGIAN 5)

Oleh: Chabib Musthofa

Mudir JATMAN IDAROH Ghusniyah Buduran

 

Ketika seorang penceramah berapi-api menyampaikan kebenaran dan mengajak pendengarnya menjadi benar tapi ia sendiri tidak tahu serta tak pernah berusaha menjadi manusia yang benar, maka bisa jadi ceramahnya adalah adalah atraksi dari kedustaan. Ketika penceramah sudah merasa nyaman ketika menggebu-gebu menasehati orang saat di podium tapi telinganya sakit dan hatinya dongkol saat dinasehati orang lain, maka bisa jadi ia harus memeriksakan kesehatan jiwanya. Ketika penceramah bertujuan pada yang selain Allah subhanahu wa ta’ala dalam khotbahnya yang berbusa-busa, maka bisa jadi ucapannya adalah wisa bagi orang lain dan dirinya sendiri. Ketika keseharian penceramah tidaklah sebening ucapannya, mungkin ia perlu berpikir ulang menerima permintaan menceramahi orang. Ketika banyaknya jamaah, fans berat, pengikut, sorot kamera, jumlah pemberi like dan subscribe di akun media sosialnya menjadikan seorang penceramah menjadi pintu hatinya bersuara “ana khairun minhu aw minhum”, maka sepantasnya ia waspada agar tidak lupa bahwa dirinya hanya manusia. Ketika seorang penceramah menjalani berbagai riyadlah demi agar dapat tampil memukau daripada nirakati pengikutnya, mungkin ia perlu memperjelas posisinya sebagai khadim al-minbar ataukah khadim al-ummah.

Aneka kondisi di atas adalah keadaan personal yang sangat mungkin terjadi pada diri seorang penceramah, terutama yang sudah terlanjur memiliki banyak jadwal dan dipercaya banyak orang untuk menyampaikan kebenaran agama di berbagai panggung kehormatan. Kondisi itu adalah dunia paradok di mana pada satu pribadi terjadi dua hal yang berbeda dan saling kontradiktif secara esensial. Dunia paradok yang saling bertentangan ini terjadi dalam satu medan kesadaran diri penceramah yang secara potensial terjadi secara berulang tanpa ada orang lain yang tahu. Di sinilah maka penceramah itu layak untuk secepatnya mengaudit dirinya dengan standar maksimal, paling tidak untuk menjaganya tetap on the track pada jalur kepantasan sebagai penceramah. Lalu bagaimana caranya?

 

Uji Diri Berdasar Prinsip Dakwah

Syaikh Jum’ah Amin Abdul Aziz dalam Ad Da’wah: Qawa-id wa al-Ushul menyarikan ada sepuluh prinsip dakwah. Pertama, al-qudwah qabla al-da’wah (keteladanan sebelum berdakwah). Ketika seseorang terlatih menjalankan ilmu pengetahuan yang dimiliki dalam amal perbuatan kesehariannya, maka kehidupannya adalah gambaran dari ilmu itu sendiri. Ia telah mendakwahi dirinya dengan anugerah ilmu pengetahuan yang dimilikinya sebelum ia pasarkan dan ajarkan ilmu itu pada orang lain, sehingga cara hidupnya merupakan perwujudan ilmu itu sendiri. Ketika cara hidup berdasarkan kebenaran ilmu ini menjadi adat dan kebiasaan, maka ia menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya. Jika pada satu kesempatan orang itu diminta menyampaikan ilmu, orang sekitarnya mudah mendapatkan gambaran bagaimana replikasi ilmu tersebut dalam kenyataan karena sudah dicontohkan oleh penyampai ilmu. Allah subhanahu wa ta’ala dalam QS. al-Shaf ayat 2 dan 3 menyiratkan gugatanNya pada mereka yang suka mengatakan apa yang tidak mereka katakana.

Kedua, al-ta’liif qabla al-ta’riif (mengikat hati sebelum menjelaskan pengertian). Dawuh Allah subhanahu wa ta’ala dalam QS. Ali Imran ayat 159 mewakili penjelasan kaidah ini. Prinsip kedua ini tidak lepas dari prinsip sebelumnya, karena keterpautan hati obyek dakwah dengan pelaku dakwah menjadi atsar dari keteladanan pelaku dakwah di mata obyek dakwah. Berbagai perlakuan lembut Baginda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam pada umatnya yang beraneka ragam karakter, merupakan peristiwa keteladanan yang menjadi pelajaran dalam bersikap dan berperilaku. Ma kharaja min al-qalb dakhala ila al-qalb (apa yang keluar dari hati, maka akan masuk ke dalam hati).

Ketiga, al-ta’riif qabla al-takliif (mengenalkan sebelum memberi beban). Jika tiba-tiba kita diberi beban tapi kita tidak tahu untuk apa kita dibebani, maka secara naluriah kita akan menolak, walau mungkin cara kita menolak tidak vulgar dan reaksioner. Ta’riif berada pada aspek kesadaran kognitif, sedangkan takliif berada pada aspek tuntutan perilaku yang berkonsekwensi pahala atau dosa. Umumnya, orang lebih memilih sikap defensif ketika diberi beban daripada ketika akal budinya dipersilahkan memahami. Oleh karena itu, kemengertian menjadi lebih utama didadulukan daripada kebebanan.

Keempat, al-tadarruj fi al-takliif (bertahap dalam pembebanan). Lihat bagaimana Islam kali pertama didakwahkan Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Periode Makkah lebih menitikberatkan pada aspek ketauhidan, sedang periode Madinah banyak berisi pengajaran tentang mu’amalah. Larangan minum khamr, perintah puasa, pelaksanaan haji, dan berbagai perintah dan larangan lainnya, merupakan ilustrasi bahwa pada dasarnya Islam diajarkan dan disebarkan secara bertahap yang tahapannya berkesusaian dengan kemampuan manusia itu sendiri.

Kelima, al-taysiir laa al-ta’siir (memudahkan bukan menyulitkan). Bila dakwah adalah mengajak orang pada kebaikan yang memiliki tahapan, maka pada banyak konteks dakwah pada awam berbeda dengan dakwah pada yang bukan awam. QS. al-Baqarah ayat 185, QS. al-Haj ayat 78, hadits dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu riwayat Imam Bukhari [39] dan Imam Muslim [2816], dan hadits yang menggambarkan rukhshah dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu ‘anhu riwayat Imam Tirmidzi, merupakan beberapa dasar dari semangat memudahkan daripada menyulitkan dalam melakukan dakwah, walau tidak boleh dengan alasan bahwa agama itu mudah lantas nggampangno dalam makna negatif yang berarti menyepelekan.

Keenam, al-ushuul qabla al-furuu’ (yang pokok sebelum yang cabang). Maksudnya, hal yang menjadi fokus utama dari dakwah adalah menyentuh hal-hal pokok, yaitu perpindahan kondisi dan posisi dari obyek dakwah dari yang awalnya tidak baik menjadi lebih baik. Mengapa? Karena kebaikan dan kebenaran Islam bersifat universal, maka kemungkinan siapapun akal sehat mudah menerimanya. Bahwa ketika Islam diimplementasikan dalam konteks dan pribadi yang berbeda lalu melahirkan perbedaan, inilah aspek furuu’ yang dimaksud. Baik yang ushuuliy maupun yang furu’iy sebenarnya sama-sama penting, tapi dalam penetapan capaian target dakwah, persoalan ushuuliy lebih didahulukan daripada yang furuu’iy.

Ketujuh, al-targhiib qabla al-tarhiib (membesarkan hati sebelum memberi ancaman). QS. al-Zumar ayat 53 menjelaskan luasnya ampunan Allah subhanahu wa ta’ala atas dosa-dosa hambaNya, tentu ini kabar gembira pada siapapun yang berdosa. QS. al-Furqan ayat 68 menjelaskan ancaman pada si pendosa. Keduanya penting, namun dalam perspektif dakwah, membesarkan hati manusia agar lebih tergerak mendekati agama menjadi lebih prioritas daripada mengancam mereka sehingga malah menjauh dari agama.

Kedelapan, al-tafhiim laa al-talqiin (memberi pemahaman bukan mendikte). Dakwah adalah memberikan kesadaran baru yang lebih benar dan baik, sehingga obyek dakwah punya bekal menjadi manusia yang lebih baik. Dakwah bukan mendikte orang agar noro’ bonte’ dan melakukan sesuatu tanpa ada kesadaran dalam diri mereka. Maka dakwah lebih merupakan proses transformasi kesadaran diri daripada pemaksaan. Oleh karena ini, keluasan dan kedalaman pemahaman juru dakwah atas keilmuan dan pengamalan Islam menjadi sangat penting, karena dakwah itu sendiri adalah sebuah proses transformasi akal-budi dan kebudayaan manusia.

Kesembilan, al-tarbiyah laa al-ta’riyyah (mendidik bukan menelanjangi). Ketika seorang penceramah mem-bully salah satu audiens atau membicarakan orang lain demi untuk melakukan gurauan, menerangkan atau mencontohkan sesuatu, maka bisa jadi penceramah itu tidak sedang melakukan pendidikan, melainkan penelanjangan atau mempermalukan diri orang lain. Atau bisa jadi apa yang dilakukannya adalah ngerasani orang lain, dan itu terjadi dalam mimbar yang –katanya—mulia yaitu ceramah agama, walau dilakukan dengan cara berseberangan dengan ajaran agama. Kiranya perlu dievaluasi apakah ceramah seperti itu benar-benar bisa disebut dakwah, karena dakwah itu berisi pendidikan bagi mustami’in dan juga bagi penceramahnya.

Kesepuluh, tilmidzu imam laa tilmidzu kitaab (murid guru bukan murid kitab). Prinsip kesepuluh ini menunjukkan bahwa ilmu dakwah itu dipelajari dengan cara berguru pada guru, tidak dapat dipelajari secara mandiri dari buku. Melalui berguru, maka seorang murid akan mendapat kesempatan mengamati, mendengar, merasakan dan secara langsung tahu bagaimana ilmu itu dipraktekkan. Murid juga mendapat keberkahan ilmu dari khidmahnya pada guru. Sedangkan jika mempelajari ilmu semata-mata dari buku, buku tidak bisa mencontohkan dalam perilaku, buku tidak bisa membenarkan sendiri tulisannya yang salah, dan buku tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan. Maka ilmu dan kemampuan dakwah itu seharusnya digurukan.

 

Refleksi Koreksi Diri

Sepuluh prinsip dakwah tersebut menjadi kaca benggala yang dapat digunakan oleh siapapun yang mengaku juru dakwah untuk melihat diri sendiri. Termasuk para penceramah yang memiliki kepadatan jam terbang sangat tinggi. Paling tidak, sepuluh kaidah tersebut bisa menjadi bahan mengaudit diri sendiri ketika banyak penceramah yang lebih fokus mengasah kemampuan orasi daripada belajar mendekatkan ceramahnya dalam jalur dakwah yang sesungguhnya. Buatlah checklist berisi hal-hal yang harus dikoreksi dari ceramah. Baik dari aspek metodenya, materinya, maraji’, dan terutama suasana batiniyah ketika sebelum, pada saat, dan sesudah berceramah. Apakah keteladanan diri mendahului ucapan ataukah sebaliknya, apakah hati terikat dengan jamaah sebelum lisan berjibaku membuat mereka terpaksa mengerti ataukah sebaliknya, apakah ceramah lebih menjadi beban daripada meringankan atau sebaliknya, dan begitulah seterusnya. Bila perlu, rekamlah ceramah Anda, lalu cermati kembali secara berulang-ulang sebagai koreksi, bukan sebagai alat mencari popularitas dan jual diri. Atau bila perlu mintalah beberapa orang yang derajat ke-ulama-annya di atas level Anda untuk mengoreksi ceramah-ceramah Anda. Atau bergabunglah dalam konsorsium atau perkumpulan juru dakwah dan lakukan audit diri secara obyektif dengan mengesampingkan sakit hati, karena sebagai sesama juru dakwah kepentingan utama Panjenengan adalah mengajak orang mendekatkan diri pada Allah subhanahu wa ta’alaa bukan mencari kebenaran dan pengakuan prestasi diri sendiri dengan menunjukkan kesalahan liyan.

Walhasil, Allah subhanahu wa ta’ala menguatkan para penceramah dan juru dakwah kita agar mereka pantas dalam maqam dan hal-nya, serta memudahkan kita sebagai umat dan santri ber-ittiba’, intifa’, dan istifadah ma’a al-khidmah pada mereka. Aamiin. Wallahu a’lam bishshawab.