PAMOMONG DAN PAGURON: KONSEP TARBIYAH SPIRITUAL KI HADJAR DEWANTARA

Ki Hajar Dewantara,Pamomong,Paguron,Padepokan,Taman Siswa,Pendidikan,TArekat,Nasional,Indonesia,kolonial,tut wuri handayani

PAMOMONG DAN PAGURON: KONSEP TARBIYAH SPIRITUAL KI HADJAR DEWANTARA

Oleh: Chabib Musthofa

Mudir JATMAD Idaroh Ghusniyah Buduran

 

“Dalam pandangan Ki Hadjar, politik tidak mampu mengubah keadaan bangsa Indonesia. Politik justru melahirkan kekisruhan yang semakin besar bagi dinamika kehidupan bangsa sebelum ada penguatan pendidikan dalam tubuh bangsa ini.”

 

Di atas adalah komentar M. Yamin atas pemikiran Ki Hadjar Dewantara, koleganya dalam Sarikat Islam pada masa perjuangan kemerdekaan. Komentar tersebut dituliskan Dr. Yuda B Tangkilisan pada tulisan berjudul Sekilas Tentang Langkah Perjuangan Soewardi Soerjaningrat dalam Pergerakan Kebangsaan dan Kemerdekaan Indonesia dalam buku berjudul Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya halaman 200. Sangat tampak bahwa dalam pandangan sahabatnya, Ki Hadjar menganggap pendidikan lebih mampu melakukan perbaikan daripada politik.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316 Tahun 1959 menetapkan bahwa tanggal 2 Mei merupakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dan diperingati secara nasional, meskipun melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1961 Hardiknas bukan termasuk hari libur nasional. Penetapan tanggal 2 Mei sebagai Hardiknas merujuk pada tanggal kelahiran tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Nama asli beliau adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, cucu dari Sri Paku Alam III dan putera dari GPH Soerjaningrat dan Raden Ayu Sandiah. Beliau lahir di Yogyakarta tanggal 2 Mei 1889. Merujuk pada kiprah beliau dalam meletakkan pondasi pendidikan modern Indonesia di masa pergerakan melalui sekolah yang disebut Taman Siswa, maka hari lahir beliau ditahbiskan sebagai penanda Hardiknas. Atas ini Ki Hadjar Dewantara juga dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional.

 

Kehidupan Bapak Pendidikan Indonesia

Setelah menghabiskan masa kecil di lingkungan keluarga ningrat Pakualaman, beliau masuk sekolah Europeesche Lagere School (ELS), semacam sekolah dasar bentukan pemerintah kolonial Belanda. Lalu melanjutkan pendidikan kedokteran di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), semacam sekolah bentukan pemerintah kolonial khusus untuk orang pribumi. Namun pendidikan beliau di sekolah ini tidak tamat karena gangguan kesehatan. Pada fase berikutnya, Ki Hadjar menjadi jurnalis dan bekerja sebagai wartawan di surat kabar Sedyotomo, Poesara, Midden Java, De Express, Kaoem Moeda, Oetoesan Hindia, dan Tjahaja Timoer. Tulisan-tulisannya tajam mengkritik kolonialisme, apalagi beliau juga aktif dalam divisi propaganda Boedi Oetomo.

Bersama Doewes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo beliau mendirikan partai pertama bernama Indische Partij pada tanggal 25 Desember 1912. Ideologinya nasionalis dan bertujuan meraih kemerdekaan Indonesia, tapi pendirian partai ini tidak disetujui Belanda. Ki Hadjar menulis artikel berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda), dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga) dan dimuat di De Express pada 13 Juli 1913. Tulisan inilah yang menyebabkan beliau bersama dua sahabatnya ditangkap dan diasingkan ke Bangka. Namun ketiganya menolak dan bersedia diasingkan di Belanda. Akhirnya ketiganya diasingkan ke Belanda, walau di san ketiganya malah memperdalam pengetahuan dan memperluas jaringan. Aktif di Indische Vereeniging, semacam organisasi pelajar Indonesia, dan juga mendirikan Indonesisch Pers-bureau, semacam kantor berita Indonesia. Di pengasingan ini Ki Hadjar malah mendapat ijazah pendidikan bergengsi yang disebut Europeesche Akta.

Pengasingan ini berakhir pada September 1919, lalu Ki Hadjar menggabungkan dirinya pada dunia pendidikan. Pada 3 Juli 1922 Ki Hadjar mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa, atau yang dikenal singkatnya dengan Taman Siswa. Pada awalnya, Taman Siswa diikuti 130 anak dengan tiga kelas dan 10 guru. Di antara nama guru-guru itu adalah Djoemilah, Frantin, Soedjati, Soedjatin, dan tentunya Ki Hadjar sendiri. Guru-guru itu lulusan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama masa kolonial. Pada usia 40 tahun beliau mengganti nama asli menjadi nama seperti yang kita kenal dengan tujuan untuk menghilangkan demarkasi feodalisme sekaligus menciptakan kesetaraan, terlebih dalam dunia pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Tokoh yang menjabat sebagai Menteri Pengajaran pertama di Indonesia ini wafat pada 26 April 1959 di padepokan Taman Siswa.

 

Ajaran Ki Hadjar Dewantara

Kongres pertama Taman Siswa dilaksanakan pada 20 Oktober 1923 di Yogyakarta. Pada saat ini dirumuskan asas Taman Siswa, yaitu: i] memerdekakan manusia untuk menentukan dan mengurus hidupnya sendiri; ii] menetapkan bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah; iii] harus berdasar pada kebangsaan; iv] mementingkan penyebaran pengajaran bagi rakyat umum; v] tidak menerima sumbangan; vi] harus berhemat; dan vii] mendidik anak murid dengan sistem Among. Sekolah Taman Siswa mirip sistem padepokan atau paguron dengan adanya kehidupan bersama dengan pimpinannya disebut “Ki”. Sekolah Taman Siswa juga mengajarkan kemandirian pada murid dengan bertanam dan berkebun, dan tidak menerima bantuan dari pihak luar.

Ki Hadjar dikenal pencetus semboyan Tut Wuri Handayani sebagai trilogi leadership yang berisi: ing ngarsa sung tuladha; ing madya mangun karsa; tut wuri handayani. Semboyan itu sebenarnya menjadi satu paket dengan konsepsi demokrasi dan kepemimpinan dalam ajaran kepemimpinan Ki Hadjar. Selain itu, beliau juga merumuskan lima prinsip pendidikan yang disebut Pancadharma. Isinya: i] kodrat alam, yaitu meyakini secara kodrati akal pikiran manusia dapat dikembangkan dan berkembang; ii] kemerdekaan, yaitu para murid diarahkan untuk merdeka secara batin, pikiran, dan tenaga; iii] kebudayaan, yaitu menyadarkan murid bahwa pendidikan didasari oleh proses yang dinamis dan tidak berhenti; iv] kebangsaan, memperjuangkan prinsip rasa kebangsaan; dan v] kemanusiaan, yaitu menempatkan manusia dalam hubungan persahabatan antar bangsa.

Tentang pendidikan, Ki Hadjar merumuskan dua konsepsi, yaitu: i] tri-pusat pendidikan, adalah lingkungan yang mewarnai pendidikan seseorang, yaitu keluarga, perguruan, dan kemasyarakatan; dan ii] sistem among, sistem pendidikan dimana seorang guru mendidik murid layaknya pengasuh lahir-batin yang membersamai tiap proses perkembangan keterdidikan murid. Beliau juga merumuskan pedoman operasional praktis dalam mempraktekkan sistem among ini melalui beberapa rumus, yaitu: 1] tri pantangan, berisi: pantang menyalah-gunakan kekuasaan, keuangan, dan melanggar kesusilaan; 2] trihayu, berisi: memayu hayuning sarira, bangsa, dan manusia; 3] trisaksi jiwa, berisi: cipta, rasa, dan karsa; 4] tringa, berisi: ngerti [mengerti], ngrasa [merasa], dan ngelakoni [melakukan]; 5] triko, berisi: koperatif, konsultatif, dan korektif; 6] trijuang, berisi: berjuang memberantas kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan; dan 7] tri-N, berisi: niteni [mengingat], nirokke [meniru], dan nambahi [menambah].

Selain berbagai konsep di atas, Ki Hadjar kerap mengadopsi falsafah Jawa dalam pendidikan yang diterapkannya. Setidaknya, ada beberapa adagium yang disandarkan pada beliau. Berikut beberapa adagium yang diyakini merujuk pada beliau. Lawan sastra mesti mulya [dengan pengetahuan pasti menjadi mulia]. Suci tata ngesti tunggal [kesucian batin dan keteraturan hidup menuju kesatuan]. Tetep [ketetapan hati yang kuat], antep [menjadi pibadi berbobot dan bermutu], mantep [mantap pada sikap]. Ngandel [percaya dan yakin pada Allah Yang Maha Kuasa], kendel [berani], bandel [hati tahan menghadapi cobaan], kandel [badan kuat menghadapi tantangan]. Neng [meneng: diam menenteramkan batin], ning [wening: menjernihkan hati dan pikiran], nung [hanung: kuat dan sentaosa kemauannya], nang [menang: mendapatkan hasil usaha].

 

Pamomong dan Paguron Sebagai Habitus Ilmu dan Spiritualitas

Tidak dapat dipungkiri bahwa kiprah dan pemikiran Ki Hadjar Dewantara telah mewarnai bangsa ini, terutama dalam bidang pendidikan. Menariknya, tampak kuat nuansa pemikiran filsafat Jawa dan kedalaman spiritulitas seorang muslim yang taat pada ajaran Ki Hadjar. Konsep guru sebagai among atau pamomong bagi muridnya misalnya. Secara redaksional konsep itu menggunakan diksi Jawa. Bahkan dalam kisah wayang purwa, among atau pamomong itu diperankan mahluk kadewatan yang mengejawantah dalam wadag manusia. Seorang pamomong akan bersiap dengan terjadinya segala dinamika fisik dan psikhis orang yang diasuhnya hingga ia dapat mencapai tataran tumbuh kembang lahiriyah maupun batiniyah yang berkualifikasi sempurna. Tugas adalah mendampingi proses itu secara manusiawi, mengarahkan pada titik yang benar, melindungi yang diasuh dari tiap ancaman internal maupun eksternal, dan bahkan seorang pamomong harus siap “disakiti” oleh yang diasuhnya karena kebodohan atau ketidaktahuan yang diasuh tersebut. Tentu konsep ini sangat luar biasa di kala saat ini mungkin ada sekian banyak pendidik yang tidak menyadari bahwa peran utamanya pada peserta didik adalah ngemong. Bahkan demi mengimplementasikan konsep pamomong ini secara total, Ki Hadjar rela berganti nama kebangsawanan yang menjadi sekat pembatas relasi psikologis-kultural dirinya dengan siswa dan dididiknya.

Konsep paguron atau padepokan yang ditawarkan Ki Hadjar, di mana antara guru dan siswa hidup bersama dan membangun kesadaran pengetahuan serta mengimplementasikannya dalam kehidupan secara nyata. Guru menjadi teladan bagi murid-muridnya, sedangkan murid melakukan scanning ilmu pengetahuan sekaligus amal perbuatan dari gurunya. Paguron atau padepokan menjadi habitus ilmiah yang mencerahkan dengan pembelajaran ilmu pengetahuan dan pelatihan laku spiritual sebagai wadah pengetahuan itu sendiri. Ditambah dengan ajaran Ki Hadjar yang menegaskan bahwa baik guru, murid, dan sekolah harus belajar memiliki kemandirian dan tidak tergantung dengan pihak lain. Beliau sadar betul bahwa ketika lembaga pendidikan tidak memiliki kemandirian, maka itu tanda ilmu pengetahuan tidak terinfiltrasi dengan baik pada jiwa sivitas akademika sekaligus sebagai tanda bahwa ilmu itu tidak begitu dimanifestasikan sebagai perilaku dalam kehidupan nyata. Lebih jauh, ketika lembaga pendidikan tidak memiliki kemandirian, maka ia akan dengan mudah dikendalikan oleh pihak luar yang berkepentingan, sehingga produksi pengetahuan akan dengan mudah digunakan bukan untuk menjaga kemanusiaan, tapi justru menjadi pemberangus kemanusiaan itu sendiri. Di kalangan Nahdlatul Ulama, konsep paguron atau padepokan versi Ki Hadjar ini ini mirip dengan model pesantren. Bagi kalangan kaum tarekat, konsep paguron ini mirip dengan zawiyah.

Walhasil, sebagai wujud syukur atas karunia tokoh sekaliber Ki Hadjar Dewantara, mari kita doakan dan berwasilah pada beliau semoga Allah subhanahu wa ta’ala melimpahkan kemanfaatan serta keberkahan kepada para guru, murid, orang tua, madrasah, pesantren, paguron, zawiyah, dan pendidikan bangsa ini, al-Fatihah. Wallahu a’lam bishshawab.