MENGAPA PARTAI POLITIK TIDAK/BELUM “MEMANFAATKAN” ISHARI?

Ishari, politik

MENGAPA PARTAI POLITIK TIDAK/BELUM “MEMANFAATKAN” ISHARI?

Oleh: Chabib Musthofa*

 

Pertanyaan di atas senada dengan berbagai pertanyaan lain ketika mencermati relasi antara Ikatan Seni Hadrah Indonesia (ISHARI) dan partai politik (parpol) yang berbeda orientasi, apakah itu pada momentum kontestasi politik ataukah pada konteks hubungan relasional antara keduanya pada bentuk yang lebih pragmatis. Di antara pertanyaan senada tersebut misalnya: mengapa tidak dijumpai atribut parpol yang ikut ndompleng mengkampanyekan misi politiknya dalam tiap even pelaksanaan amaliyah ISHARI; mengapa tidak –lebih tepatnya belum atau jarang—ditemui seorang calon legislatif atau pasangan calon kepala daerah dan bahkan calon presiden plus calon wakil presiden yang menggunakan ISHARI sebagai instrumen kampanye; mengapa ISHARI tidak membuka dirinya untuk berinfiltrasi pada parpol tertentu; dan apakah memang ISHARI tidak punya nilai politik sama sekali di mata parpol atau para politisi pada tiap momen kompetisi politik.

Di Nahdlatul Ulama (NU) ISHARI sempat menjadi bagian dari Badan Pembinaan Syuriyah (1962), menjadi Badan Otonom (Banom) NU (1994), menjadi binaan LESBUMI (1999), binaan JATMAN (2004 dan 2009), dan akhirnya diputuskan kembali menjadi Banom pada Muktamar ke-33 di Jombang tahun 2015 sampai kini dan bernama ISHARI NU. Sebagai sebuah entitas organisasi, jelas ISHARI NU memiliki struktur kepengurusan dari pusat sampai anak ranting, PD/PRT, azas, tujuan, identitas organisasi, dan kelengkapan sebagaimana organisasi lainnya. Tapi bagi parpol dan politisi, yang paling menarik di ISHARI NU –menurut mereka mungkin—jumlah pengikut atau pengamalnya yang militan, massif, solid, dan “murah meriah”.

Nah, dengan kekuatan seperti ini, sekali lagi hampir tidak/belum dijumpai adanya upaya-upaya dalam “memanfaatkan” ISHARI NU untuk agenda politik tertentu baik oleh parpol atau secara individual dalam panggung politik tertentu. Tulisan ini tidak mendorong parpol atau politisi –baik pemula atau yang sudah kawakan– melakukan “pemanfaatan” ISHARI NU untuk agenda politiknya. Tapi tulisan ini berusaha menelisik jawaban pertanyaan dari judul di atas dari dua matra, yaitu dari sisi ISHARI NU dan parpol di sisi lain.

 

ISHARI NU: GAMPANG TAPI TIDAK GAMPANGAN

Kiranya statemen bahwa ISHARI NU itu gampang tapi tidak gampangan sangat tepat mewakili sikap ISHARI NU ketika melalui berbagai momentum sosial politik yang menghampirinya datang silih berganti. Argumentasinya dapat dilihat sebagai berikut. Pertama, siapapun boleh mengamalkan dan menjalankan amaliyah ISHARI NU, bahkan untuk menjadi pengurus pun boleh dengan mengikuti mekanisme keorganisasian yang dipedomani sebagai Banom NU. Tidak ada larangan dan bahkan ketentuan khusus yang tidak wajar ketika pemilihan pimpinan dalam kepengurusan ISHARI NU. Tidak ada “deal-dealan” atau bargaining karena merasa dirinya terhebat dan terbanyak massanya. Tidak dijumpai seseorang mengkampanyekan diri menjadi pimpinan di ISHARI NU, bahkan yang ada adalah kesan saling menghindar untuk dijadikan pimpinan. Tidak ada jual beli suara dalam tiap pemilihan pimpinan ISHARI NU, tidak ada juga tim sukses yang dibentuk demi memenangkan seseorang. Kultur yang ada adalah merasa diri tak pantas bila diminta memimpin, terlebih ketika sadar bahwa tujuan ISHARI NU –sesuai PD/PRT-nya adalah—menumbuhkan rasa mahabbah kepada Rasulullah shollalllahu ‘alaihi wa sallam dan wushul kepada Allah SWT. Artinya, sudah menjadi tradisi bagi ishariyyin untuk mudah menyerahkan dan membaktikan segenap potensi diri bagi ISHARI NU, tapi di saat yang sama tidak mudah berkepentingan di ISHARI NU.

Kedua, ISHARI NU itu militan, massif, dan solid anggotanya, namun tidak mudah diarahkan –lebih tepatnya mungkin dimanipulasi—untuk memberikan dukungan politik tertentu dengan menggunakan label atribut ISHARI NU. Lihatlah pada pelaksanaan amaliyah ISHARI NU di tiap daerah dengan gesture kultural massanya yang khas. Mereka terdiri dari berbagai usia, latar belakang daerah, profesi, tingkat pendidikan, kekayaan, dan status sosial. Kecuali tidak ada anggota ISHARI NU dari unsur perempuan. Bahkan dalam “keterbataan” pun para ishariyyin ini tetap hadir pada pelaksanaan ISHARI NU kecuali ada udzur syar’i yang amat sangat mendesak. Tapi semua itu jelas merupaken varietas keunggulan ISHARI NU yang potensial untuk menjadi sasaran mobilisasi politik. Namun nyatanya militansi, masifitas, dan soliditas ishariyin itu relatif bersih dari pembelokan politik praktis.

 

ISHARI NU BUKAN TANGGAPAN

Diksi “tanggapan” (Jawa) di sini bermakna pagelaran aktifitas kesenian yang sengaja dibayar atau difasilitasi untuk pemenuhan kesenangan tertentu dari pemberi bayaran. Jargon “ISHARI NU bukan tanggapan” itu sangat kuat melekat pada para ishariyyin, terutama mereka yang telah mengikuti, mengalami, mengamalkan, dan memperjuangkan ISHARI NU sejak remaja –bahkan mungkin ketika masih di dalam kandungan ibu mereka—dan terus istiqomah menjadi ishariyyin sampai di akhir hayatnya. Jargon ini kerap diwariskan oleh mereka-mereka ini pada berbagai kesempatan, baik ketika terjadi dialog di ruang-ruang antar personal, ataukah pada saat komunikasi dalam majlis-majlis sosial dengan kepesertaan yang lebih banyak.

Jargon ini menjadi perekat, kode etik, dan bahkan evaluator bagi tiap ishariyyin apakah itu pengurus atau anggota yang berkhidmah di ISHARI NU. Ketika merunut sanad jargon “ISHARI NU bukan tanggapan”, mu’tabar dan masyhur bahwa itu merupakan dawuh dari pendiri amaliyah ISHARI NU, Kyai Abdurrohim. Kiranya dawuh ini teramat sakti dan sakral untuk menjaga ISHARI NU dari tiap upaya untuk –dalam bahasa yang halus—memanfaatkannya sebagai alat sekaligus alas politik.

Tentu dawuh ini tidak melarang ishariyyin untuk menjadi politisi, aktif di parpol, menjadi tim sukses, mencalonkan diri sebagai legislatif atau kepala daerah. Bahkan juga tidak dilarang bagi siapapun yang memiliki agenda politik baik itu pelaku atau sebatas pendukung agenda politik tersebut untuk menjalankan amaliyah ISHARI NU, apakah sebagai hadi, penabuh rebana, atau jamaah roddat, sama sekali tidak dilarang secara definitif dalam PD/PRT menjadi anggota dan pengurus ISHARI NU. Karena memang politik, parpol, kepentingan politik, caleg, timses, dan apapun yang terkait dengan politik pada dasarnya tidak ada masalah. Bahkan mungkin akan sangat baik sekali bila mereka itu menjadi ishariyyin “garis keras” yang akan dapat lebih membesarkan ISHARI NU, asalkan terus berusaha meletakkan antara identitas sebagai ishariyyin serta politisi dalam al-maqomat wa al-ahwaliyat yang benar dan proporsional. Politisi yang jadi ishariyyin itu bagus, ishariyyin yang jadi politisi juga bagus. Berjuang melalui politik membesarkan ISHARI NU itu bagus, perjuangan politik sebagai washilah dan ISHARI NU sebagai ghoyah. Tapi menjadikan ISHARI NU sebagai tunggangan mencapai tujuan politik itu tidak bagus, karena ISHARI NU sebagai washilah dan tujuan politik sebagai ghoyah. Cukuplah ketentuan pada PD/PRT ISHARI NU yang tegas menyatakan bahwa tujuan organisasi ini adalah menumbuhkan rasa mahabbah kepada Rasulullah shollalllahu ‘alaihi wa sallam dan wushul kepada Allah SWT. Jelas, ISHARI NU adalah washilah mahabbah Rasulullah dan washilah untuk wushul ilallah.

Teringat dawuh Gus Taqdir Alisyahbana yang mengutip dawuh abahnya ketika ikut menghadiri Gladen Kubro PC ISHARI NU Sidoarjo pada Selasa Kliwon tanggal 31 Oktober 2023 di Masjid Kyai Ali Mas’ud Pagerwojo.  “Ketika seseorang ikut nguri-nguri ISHARI NU, sebenarnya orang itu telah dipilih Rasulullah. Menyiapkan makanan, minuman, tempat, fasilitas, dan kebutuhan ISHARI NU itu juga nguri-nguri”, begitulah dawuh tersebut. Moga Rasulullah shollalllahu ‘alaihi wa sallam memilih dan menempatkan kita beserta generasi mendatang di bawah panji-panji ISHARI NU. Dan semoga kita semua diberi nikmat wushul ke hadrotillaah azza wajalla. Aamiin.

 

*Penulis adalah A’wan MWCNU Buduran dan Wakil Katib Majlis Hadi PC ISHARI NU Sidoarjo 2023-2028