DAKWAH DITINJAU DARI MAKNA HURUFNYA (BAGIAN 2)
Oleh: Chabib Musthofa
Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran
Seorang penceramah dapat mengklaim bahwa apa yang dilakukannya sebagai kegiatan dakwah, tapi mungkin klaim itu dibantah oleh pihak lain oleh sebab penceramah itu mungkin sedang promosi produk ekonomis. Seorang pengajar dapat mengklaim pekerjaannya adalah pendakwah, tapi pihak lain juga bisa membantah karena pengajar itu hanya penjaja pengetahuan. Seorang pemimpin dapat mengaku sebagai pendakwah, tapi bawahannya melihatnya hanya sebagai diktator. Seorang penyumbang yang pemurah dapat mengklaim dirinya adalah pendakwah, walau orang juga bisa menyebutnya sebagai makelar bantuan. Seorang penulis juga bisa mengaku sebagai pendakwah, tapi pembaca tulisannya menganggapnya pendongeng. Bahkan seorang cenayang juga dapat mengklaim dirinya pendakwah, walau orang lain meyakininya sebagai pengigau.
Terlepas dari polemik di atas, dakwah itu sendiri apa maknanya? Tulisan ini tidak berusaha menguraikan makna dakwah baik secara etimologis maupun terminologis, akan tetapi hanya mencoba memaknai huruf yang menyusun akar kata dakwah itu sendiri. Paling tidak, secara substansial akan dipahami apa makna rahasia huruf yang menjadi pondasi kata dakwah sebagai background membahas dakwah pada bagian selanjutnya. Kata dakwah atau da’wah (Arab) akar katanya terdiri dari tiga huruf, yaitu: dal; ‘ain; dan wawu.
Makna Huruf Dal
Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah menyatakan bahwa dal adalah perjalanan atau perubahan dari alam yang tampak menuju alam yang tidak tampak. Oleh Musthafa al-Bakri dalam Jawami’ al-Kalam al-Shufiyah, pernyataan Muhyiddin Ibnu Arabi ini diartikan bahwa huruf “dal” bermakna “daraini” (dua alam), yaitu dar al-dunya (alam dunia) dan dar al-khulud (alam keabadian). Maksudnya, huruf “dal” merupakan perwujudan perjalanan manusia dalam mengarungi alam dunia menuju alam akhirat yang bersifat kekal. Perjalanan manusia melintasi dua alam tersebut tidak dianggap sebagai perjalanan biasa, melainkan sebuah perjalanan suci yang saling terkait. Keterkaitan dua alam ini menunjukkan adanya batasan teritorial antara keduanya yang oleh Musthafa al-Bakri disebut dengan da-irah (daerah atau kawasan) sebagai makna berikutnya dari huruf “dal”.
Lebih lanjut, Musthafa al-Bakri mengartikan huruf “dal” dengan al-da’ wa al-dawa’u (penyakit dan obat). Latar belakang pemaknaan ini berdasarkan hukum dualisme yang menjadi tradisi kesemestaan seperti siang-malam, pagi-petang, lelaki-perempuan, baik-buruk, hitam-putih, baik-buruk, benar-salah, dan sebagainya. Dualisme dalam tradisi kesemestaan tersebut merupakan realitas alam dunia, sedangkan dualisme alam akhirat seperti surga-neraka, pahala-dosa, ganjaran-siksaan, beruntung-celaka, dan sebagainya. Bila disesuaikan dengan makna pertama dan kedua, maka pemaknaan huruf “dal” dengan “al-da; wa al-dawa’u” menjadi pengibaratan sekaligus peringatan pada manusia bahwa dalam perjalanan sucinya di dua alam itu pasti dihadapkan pada pilihan akan dualisme hukum semesta tersebut. Tapi huruf “dal” juga menjadi simbolisasi solusi dalam menghadapi realitas pilihan ganda tersebut dengan pemaknaan berikutnya, yaitu “al-din” (agama). “Dal” dengan pemaknaan “al-din” artinya Allah subhanahu wa ta’ala ingin manusia sukses mengarungi dua alam tersebut dengan menganugerahkan sebuah panduan keberhasilan yang disebut agama. Agama inilah yang kemudian membantu manusia memilih kecenderungan ruhani pada dirinya untuk mentaati Allah subhanahu wa ta’ala dan mengesampingkan dorongan hewani dirinya yang mengajak bermaksiat pada Allah subhanahu wa ta’ala.
Makna Huruf ‘Ain
Muhyiddin Ibnu Arabi dalam Fushush al-Hikam menyatakan bahwa “’ain” (benda) adalah manifestasi atau rahmat yang menjadi obyek dari “al-Wujud” (Yang Maha Ada) sebagai subyek. “Al-Wujud” adalah “al-Khaliq” (Pencipta) sedangkan “’ain” adalah “al-makhluq” (yang diciptakan). Oleh karena statusnya sebagai obyek, maka kewajibannya adalah menghamba pada subyek. Di sinilah “’ain” dimaknai dengan “’al-‘abdu” (hamba). Maka huruf “’ain” adalah simbolisasi status spiritual manusia di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, siapapun manusia tersebut. Mengakui atau tidak mengakui, manusia tetap berada dalam status sebagai hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang memiliki hak-hak kehambaan.
Selanjutnya, huruf “’ain” juga dimaknai dengan “al-‘uluwwu al-‘aliyah” (kemuliaan tertinggi) sebagai orientasi puncak dari status spiritual sebagai “al-‘abdu”. Artinya, tujuan paling utama dari manusia sebagai hamba dan makhluk adalah menggapai derajat kehambaan tertinggi, yaitu kedekatan dengan Allah subhanahu wa ta’ala al-Khaliq. Berangkat dengan tujuan ini, huruf “’ain” juga menjadi simbolisasi dari dua rumus cara mendapat anugerah kemuliaan spiritual tersebut. Pertama, “’ain” bermakna “al-‘uryan min al-‘ilal al-ghalil” (bebas dari penyakit batin yang membelenggu). Maknanya, bila seorang hamba ingin berhasil mendapat kedekatan dan keluhuran derajat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, maka jalan spiritualnya adalah dengan membebaskan diri dari penyakit batin yang dapat menghalanginya. Syaikh Imamuddin al-Amawi dalam Hayah al-Qulub fi Kaifiyah al-Wushul ila al-Mahbub menyatakan bahwa penyakit hati yang sering timbul pada diri manusia adalah riya dan ‘ujub, dan keduanya merupakan indikator adanya kesyirikan dari pribadi yang takabur. Kedua, “’ain” bermakna “al-‘aqlu fi ‘aini al-‘ilmi” (memahami eksistensi ilmu). Maknanya, bila seorang hamba ingin berhasil mendapat derajat kemuliaan, maka ia harus berusaha berilmu dan memahami hikmah ilmu tersebut dengan mengamalkannya.
Makna Huruf Wawu
Muhyiddin Ibnu Arabi dalam al-Tajalliyat al-Ilahiyah menyatakan bahwa penulisan huruf “wawu” terdiri dari kepala dengan titik putih di tengahnya dan gais lengkung di bawah. Menurutnya, garis lengkung bawah adalah simbol ketiadaan, titik putih di kepala huruf adalah simbolisasi al-Wujud yang menjadi sumber segala sesuatu yang maujud. Maknanya, huruf “wawu” adalah penyaksian (syahadah) atas “al-Wujud”, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala al-Wujud yang Maha Wujud, sedang yang selain Allah subhanahu wa ta’ala hakikatnya tidak berwujud. Syahadat (penyaksian) di sini adalah syahadat tauhid dan syahadat rasul.
Selanjutnya, Muhyiddin Ibnu Arabi dalam Kitab al-Mim wa al-Wawu wa al-Nun menjelaskan bahwa pengucapan huruf “wawu” terdiri dari tiga huruf, yaitu “wawu”, “alif”, dan “wawu”. “Wawu” yang pertama adalah “wawu al-huwiyah” (“wawu” yang melekat pada lafadz Hu) yang berfungsi menjaga identitas kerahasiaan Allah subhanahu wa ta’ala yang hanya diketahui oleh Allah subhanahu wa ta’ala itu sendiri. “Alif” adalah “Alif Ahadiyah” (“alif” yang melekat pada martabat Ahadiyah Allah subhanahu wa ta’ala). “Wawu” yang kedua adalah “wawu al-kaun” atau “wawu” yang berada di tengah huruf “kaf” dan “nun” pada lafadz “kun”. “Al-Kaun” (kejadian) sebagai akibat dari “kun” (jadilah). Maknanya, huruf “wawu al-kaun” dalam lafadz “al-kaun” adalah simbolisasi upaya makhluk untuk mengenali Allah subhanahu wa ta’ala sebagai Pencipta segala yang ada.
Memaknai Dakwah Dari Hurufnya
Pertama, huruf “dal” bahwa manusia akan melakukan perjuangan spiritual dari dunia menuju akhirat dalam bingkai realitas ganda sebagai ujiannya, sedang agama adalah karunia Allah subhanahu wa ta’ala agar manusia selamat dalam perjalanan tersebut. Kedua, huruf “’ain” bahwa manusia adalah hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang tugasnya adalah melakukan penghambaan terbaik dengan menanggalkan penyakit hati dan menjadi pribadi yang ilmiyah-amaliyah. Ketiga, huruf “wawu” bahwa tugas manusia adalah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah subhanahu wa ta’ala dan Muhammad sholallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rasulullah.
Berpijak dengan penelusuran tiga makna huruf ini, maka dakwah –dilihat dari sisi pemaknaan huruf akar lafadznya—adalah perjuangan relijius-spiritual hamba berbekal ilmu dan amal seraya menanggalkan segala sifat tercela dengan tujuan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Pengartian dakwah ini tentu bukan bersifat baku, karena hanya disandarkan pada pemaknaan huruf-huruf yang menyusun akar lafadz dakwah. Meskipun begitu, bila pemaknaan itu digunakan sebagai upaya awal dalam memahami dakwah sebagai sebuah peribadatan, maka tentunya tidak semua orang akan mau disebut sebagai pendakwah ketika kondisi diri di depan cermin definisi tersebut. Aspek peningkatan relijiusitas dan spiritualisasi sebagai hamba Allah subhanahu wa ta’ala, aspek peningkatan pemahaman ketahuidan, dan aspek ketepatan menetapkan tujuan peribadatan. Bila ketiga aspek itu menjadi barometer dari ibadah yang disebut dakwah, maka tentunya orang-orang yang terlanjur disebut sebagai pendakwah tidak akan mengenal kata istirahat mengasah dirinya agar paling tidak mencapai standar tersebut. Dan bagi mereka yang berada pada posisi sasaran dakwah, tidak akan gegabah untuk menilai atau menghukumi kegiatan dakwah orang lain dengan barometer kesenangannya sendiri. Wallahu a’lam bishshawab.
A’wan MWC NU Buduran | Tukang Sapu Langgar
Mahabbah gak kenal wayah
سبحان الله والحمد لله ولا اله الا الله والله اكبر لا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم