MADAD WA ISTIMDAD HALAL BI HALAL
Oleh: Chabib Musthofa
Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran
Masyhur, mutawatir, dan mu’tabar bahwa halal bi halal telah menjadi kebiasaan sosial-kultural masyarakat Indonesia, khususnya pada saat perayaan Idul Fitri. Sebagai peristiwa yang hanya identik dengan suasana lebaran, halal bi halal tidak hanya mengandung pesan sebagai kohesi sosial antar sesama umat Islam, bahkan kini komunitas non muslim juga terkadang tampak meleburkan diri dalam acara tersebut, terutama yang diselenggarakan oleh instansi pemerintahan. Sebagai ritual budaya, halal bi halal menampilkan gagasan dan ekspresi keberagamaan dalam wadah kultur kebangsaan yang khas, yaitu Islam Indonesia. Selain dua hal itu, tentu halal bi halal memiliki nilai relijuisitas dan spiritualitas bagi siapapun yang melakukannya. Bahwa silaturrahim –yang saat lebaran disebut dengan halal bi halal—tentu menjadi bagian penting dalam tradisi keislaman yang memiliki akar normatif sangat kuat karena memang menjadi sunnah Baginda Rasulullah Muhammad shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Kiranya itu sudah cukup menjadi pondasi yang sangat kuat untuk menyebut bahwa halal bi halal merupakan salah satu bentuk ibadah.
Secara historis, halal bi halal telah dikenal sejak era kesultanan Nusantara. Paling tidak, ada beberapa catatan sejarah halal bi halal. Manuskrip berjudul Sejarah Sagung ing Para Ratu yang tersimpan di British Library berkode MSS Jav 10 menuliskan istilah halal ba halal yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati kepada gurunya, Syaikh Nur Jati Cirebon. Catatan ini menggunakan candrasengkala (simbolisasi penyebutan angka tahun melalui sandi kalimat) berbunyi Nir Panembah Ing Pandita Aji yang bila diartikan menunjuk angka 1720 dalam penanggalan Tahun Jawa. Bila dikonversi dalam tahun miladiyah, ditemukan sama dengan tahun 1793-1794 masehi. Catatan lain ada dalam naskah Babad Cirebon berkode naskah CS 114 PNRI halaman 73, tertulis peristiwa halal bi halal oleh masyarakat Jepara kepada Pangeran Karang Kamuning dalam bentuk aksara pegon. Di era pasca kemerdekaan tepatnya pada tahun 1948, halal bi halal kembali populer atas inisiatif presiden Soekarno yang kala itu berupaya mempertemukan faksi-faksi politik dengan pemikiran dan ideologi berbeda-beda dalam sebuah pertemuan. Setelah meminta saran KH. Wahab Chasbullah tentang istilah yang tepat mewakili pertemuan tersebut, maka dipakailah istilah halal bi halal. Berangkat dari momentum inilah pada periode berikutnya KH. Wahab Chasbullah dikenal sebagai tokoh yang mempopulerkan kembali istilah halal bi halal ini.
Salah satu hal yang khas dalam halal bi halal adalah adanya momentum saling memaafkan antara sesama manusia. Ketika seseorang –bernama si-A misalnya—ber-halal bi halal –dengan si-B misalnya, maka dalam momentum halal bi halal tersebut si-A memohon maaf atas kesalahannya pada si-B lalu si-B memberikan maafnya, sebaliknya s-B juga memohon maaf atas kesalahannya pada si-A lalu si-A memberikan maafnya. Bila tidak ada aktifitas saling memaafkan dan melebur dosa kesalahan antara si-A dan si-B, maka momentum itu mungkin tidak tepat disebut sebagai halal bi halal.
Di tradisi tasawuf dan dunia ketarekatan dikenal istilah madad yang bisa dimaknakan dengan pertolongan. Ketika ada seorang murid mengatakan “madad ya Syaikh”, maka ungkapan ini bisa dimaknakan dengan “mohon pertolonganmu duhai Guru.” Tentu ketika seorang makhluk meminta bantuan atau pertolongan makhluk lain itu diperbolehkan. Ketika seseorang meminta bantuan orang lain tidak lantas itu diartikan kesalahan atau kekeliruan –bahkan jika ada yang menuduh bahwa yang semacam itu adalah kemusyrikan tentu tuduhan itu sebuah kesalahan wa na’udzu billahi min dzalik–, karena meminta bantuan pada makhluk sejatinya diperbolehkan. Tamtsil istimdad antara si-A dan si-B pada momentum halal bi halal di atas, tentu itu merupakan kebolehan –dalam kondisi normal–, kesunnahan –dalam semangat menjalankan tradisi profetik–, dan bahkan kewajiban –bila keduanya saling berdosa pada sesamanya—. Thalab al-madad/istimdad (meminta bantuan/pertolongan) adalah thalab al-i’anah min al-makhluk ila al-Khaliq bi washilatihi (memohon bantuan/pertolongan dari makhluk kepada Allah dengan washilahnya).
Jika seorang mukmin sakit dan berobat ke dokter, maka sejatinya ia meminta kesembuhan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan washilah bantuan dokter. Jika seorang murid belajar pada guru, maka sejatinya ia meminta ilmu kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan washilah bantuan pendidikan dari guru. Jika seorang mukmin bekerja, maka sejatinya ia menjemput rizki yang telah ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala dengan menebarkan kemanfaat diri dalam pekerjaannya sebagai washilah. Jika seorang penumpang naik pesawat terbang, maka sejatinya ia memohon Allah subhanahu wa ta’ala untuk diperjalankan menuju tujuan dengan meminta bantuan maskapai yang ditumpanginya sebagai washilah. Jika seseorang minta uang pada orang lain, maka sejatinya ia memohon karunia pada Allah subhanahu wa ta’ala dengan meminta bantuan pada yang dimintanya. Tentu semua permisalan tersebut dari pasien, murid, pekerja, penumpang, dan peminta, merupakan contoh istimdad dalam bentuk yang lebih universal dalam realitas sosial kita sehari-hari. Dan tentunya permisalan itu semua bukan praktek kemusyrikan, na’udzu billahi min dzalik.
Salah satu madad dalam halal bi halal adalah pemaafan seseorang pada seseorang lainnya, sedangkan istimdad-nya adalah permohonan maaf seseorang pada orang lain. Paling tidak secara sederhana ada dua cara memahami madad dan istimdad pada momentum halal bi halal. Pertama, al-madad bi ma’na al-i‘anah minallah. Ketika seorang mukmin memaafkan kesalahan saudaranya seiman, maka sebenarnya dia mendapatkan karunia kekuatan yang sangat istimewa dari Allah subhanahu wa ta’ala karena untuk menjadi pribadi yang pemaaf itu butuh perjuangan dan hanya Allah yang bisa membantunya. Ketika tidak menyadari bahwa diri merupakan makhluk yang lemah dan tentu banyak dosa –baik dosa vertikal kepada Allah subhanahu wa ta’ala maupun dosa horisontal pada sesama makhluk Allah subhanahu wa ta’ala —, mungkin akan sulit bagi seseorang untuk menjadi pemaaf. Menjadi pribadi dengan kesadaran personal sebagai makhluk yang lemah dan bergelimang dosa akan mudah terjadi bagi mereka yang diberi karunia rendah hati dan dijauhkan dari hobi tinggi hati alias sombong. Maka pada fase seorang mukmin memaafkan saudara seimannya –atau yang berbeda iman–, ia mendapatkan madad dari Allah subhanahu wa ta’ala berupa karunia hati yang lapang dan lepas dari belenggu kesombongan, di sisi lain ia juga mendapatkan madad dari Allah subhanahu wa ta’ala berupa kemampuan menghapus dan melebur kesalahan orang lain pada dirinya. Inilah yang disebut dengan al-i‘anah minallah.
Kedua, al-istimdad bi ma’na thalab al-‘afwallah bi washilati ‘afwal khalqi. Ketika seorang mukmin memohon maaf kepada sesama atas kesalahannya, maka ia berupaya mengupayakan dirinya tidak lagi menjadi orang yang bermasalah terhadap sesamanya dengan cara al-istimdad min al-khalqi (meminta bantuan kepada makhluk). Namun sejatinya, kemampuan dan kemauan untuk memohon maaf itu sendiri sudah merupakan karunia dan pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada dirinya. Terkadang merasa memiliki keutamaan diri –apakah itu secara sosial, ekonomi, politik, atau budaya– malah menjadi tembok penghalang seseorang enggan memohon maaf pada orang yang dianggapnya tidak “lebih tinggi” dari dirinya. Melihat diri “tidak lebih baik/benar” dari makhluk lain itulah karunianya. Lebih lanjut, ketika seseorang memohon maaf pada sesama dalam pemaknaan al-istimdad min al-khalqi, sejatinya upaya itu berada dalam jalur memohon ampunan Allah subhanahu wa ta’ala dengan washilah meminta pemaafan makhlukNya. Status spiritual sebagai hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang “itqun min al-nar” selepas Ramadlan tidak sempurna bila masih berstatus pendosa bagi sesama umat manusia. Maka berburu maaf manusia dalam saat halal bi halal merupakan bagian inhern dan linier dari upaya mendapatkan pengampunan Allah subhanahu wa ta’ala.
Kaprahnya, baik sebagai pemburu maaf manusia maupun pengais ampunan Allah subhanahu wa ta’ala, tentu tidak pantas menyisakan sebiji atom kesombongan di dalam hati. Maka tawadlu’ rendah hati merupakan salah satu rizki spiritual yang menjadi bagian dari selaksa madad wa istimdad pada momentum halal bi halal. Moga Allah subhanahu wa ta’ala mengkaruniakan sekaligus memberkahkan rizki spiritual ke-tawadlu’-an pada kita semua, baik sebagai pemburu maaf maupun sebagai pemberi maaf terhadap sesame makhlukNya. Aamiin. Wallahu a’lam bis shawab.
A’wan MWC NU Buduran | Tukang Sapu Langgar
Mahabbah gak kenal wayah