KYAI CEMETI
Oleh: Chabib Musthofa
Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran
Di akhir pelaksanaan kegiatan rutin PRNU Ngelom, yaitu pembacaan shalawat Huwal Habib dan pengajian kitab Arbain Nawawiyah pada Sabtu (04/04/24), beberapa muharrik NU Ngelom nderekne Kyai Farich Basyuni menikmati kopi dan beberapa makanan di aula masjid al-Ismailiyah Megare. Ada Gus Ahmad Shofiyuddin, Gus Misbah, Gus Furqon, Mas Kevin, dan Mas Faiz yang sesekali saling bergantian menimpali –tapi seringnya menjadi sansak gojlokan dari—dawuh-dawuh Kyai Farich Basyuni. Perbincangan tentang ke-NU-an berjalan mengalir silih berganti, khususnya terkait dengan dinamika nahdliyyin di Ngelom. Lewat sebatang rokok ternikmati, percakapan menjurus pada tokoh-tokoh NU Ngelom di masa silam. Mungkin di antara peserta kongkow saat itu sebatas mengenal para tokoh itu melalui cerita, karena mereka belum lahir ketika para tokoh tersebut menjalankan khidmahnya. Berikut catatan singkat dari salah satu sosok panutan nan mulia yang beliau tuturkan pada kami. Segala kekurangan catatan sepenuhnya terletak pada pencatat, bukan pada penutur atau sosok yang dituliskan.
Tentang Kyai dan Cemetinya
“Cetar!!! Kalau sudah terdengar bunyi seperti itu, anak-anak pondok Ngelom langsung semburat berlarian menyiapkan diri ikut shalat jamaah. Kalau pada anak-anak kampung, beliau hanya mengangkat cemeti dan tidak memainkannya. Meskipun begitu, ketika anak-anak kampung melihat sosok tersebut sudah mengangkat cemetinya melengkung ke atas, mereka langsung buyar berlarian ke masjid.” Begitulah kira-kira Kyai Farich Basyuni menceritakan salah satu sosok kyai Ngelom yang sangat luar biasa bernama Kyai Ali Syaibi. Peristiwa yang diceritakan ketua tanfidziyah PRNU Ngelom itu terjadi kira-kira pada masa tahun 70-an atau 80-an.
Tiap orang yang bertutur tentang Kyai Ali Syaibi Ngelom, bisa dipastikan mereka mengisahkan beliau dengan cemetinya. Di samping juga hal-hal yang menjadi perilaku beliau sebagai kyai di desa santri seperti Ngelom. Agaknya, kebanyakan memori masyarakat umum tentang Kyai Ali adalah cemetinya. Terutama ketika yang berkisah adalah mereka yang pada zaman itu masih berada pada usia anak dan remaja. Bisa ditebak bahwa prosentase kisahnya akan lebih banyak memuat tentang cemetinya Kyai Ali Syaibi. Dari banyaknya versi cerita Kyai Ali Syaibi dengan cemetinya, dapat disimpulkan bahwa beliau adalah sososk kyai yang memilih penggunaan cemeti sebagai alat melakukan kontrol sosial-keagamaan pada lingkungan sekitarnya, terutama pada santri pondok dan anak-anak kampung.
Kyai Ali Syaibi menggunakan cemeti untuk mengingatkan santri dan anak-anak kampung atas beberapa hal, yaitu jamaah shalat, mengaji, atau aktifitas yang beliau anggap kurang tepat. Tidak lebih dari itu. Bahkan, begitu keramatnya Kyai Ali Syaibi dengan cemetinya, banyak penikmat kisah tentang beliau yang bergidik merinding membayangkan hidup sezaman dengan beliau dengan bakat kenakalan anak yang dimilikinya. Baru membayangkan saja sudah memberikan efek jera, apalagi jika benar-benar hidup sezaman dan dengan hobi kenakalan versi anak-anak.
Memori ini tentang Kyai Ali Syaibi dan cemetinya tidak hanya menjadi milik anak-anak Ngelom dan sekitarnya, akan tetapi juga menjadi memori pada orang-orang yang memiliki wadzifah mulazamah pada para ulama Ngelom di era itu.
Bahkan, jangankan menyentuh cambuknya Kyai Ali Syaibi, untuk berdekatan saja dengan beliau sudah menjadi kengerian tersendiri bagi anak-anak zaman itu. Dikisahkan bila para santri atau anak-anak kampung melihat beliau mios dari ndalem sambil menenteng cemeti, mereka langsung membubarkan diri dari aktifitasnya dan segera berlari sambil mengingat apakah akan ada jamaah shalat, waktu mengaji, ataukah yang sedang mereka lakukan itu ada dalam kategori kenakalan yang tidak dibenarkan. Tidak ada anak sebandel apapun yang berani menyentuh atau mempermainkan cemeti Kyai Ali Syaibi ketika beliau meletakkan cemeti itu di tempat manapun. Entah karena ketakutan anak-anak itu mengalahkan kebandelannya, ataukah karena memang mereka tidak berkesempatan untuk sekedar memegang dan mempermainkan cemeti tersebut.
Tapi anehnya, dengan banyaknya ragam kisah tentang Kyai Ali Syaibi dengan cemetinya, tidak satu pun dijumpai pengakuan bahwa tubuhnya pernah mendapatkan lecutan cambuk beliau. Walau para penutur kisah-kisah tentang beliau mampu menceritakan memorinya dengan lancar, tapi mereka tidak mampu menyembunyikan rasa takutnya pada sosok yang diceritakan, karena rona kengerian masih tergurat jelas di wajah-wajah penutur tersebut. Tapi sekali lagi, anehnya mereka kerap mengulang-ulang cerita itu, padahal layaknya hal itu menjadi memori buruk pada ingatan mereka. Anehnya lagi, tidak satupun di antara mereka yang mengaku mendapat cambukan cemeti Kyai Ali Syaibi.
Memahami Kyai Ali dan Cemetinya
Sedikit menyimak kisah Kyai Ali Syaibi dan cemetinya malam itu, menyisakan beberapa pemahaman atas gambaran sosok beliau dari perspektif orang yang masih belajar nyantri. Pertama, Kyai Ali Syaibi adalah sosok kyai yang diberi anugerah memiliki daya perubahnya mendahului perilakunya. Pengakuan bahwa para santri dan anak-anak kampung berlarian hanya cukup ketika melihat beliau berjalan menenteng cemetinya tanpa memainkannya, menjadi fakta bahwa haibah beliau sedang bekerja dan menjadi daya gedor dengan efek perubahan luar biasa pada anak-anak itu, bahkan sebelum beliau melecutkan cemeti tersebut. Betapa dengan melihat sosok beliau dengan cemetinya saja orang sudah beringsut buru-buru menyudahi kesalahannya. Kiranya sosok seperti beliau kini langka. Justru yang terjadi hari-hari ini adalah –nyuwun sewu—orang dengan banyak kalam atau memainkan atraksi berlimpah, tapi sama sekali tidak membawa efek perbaikan pada jiwa-jiwa orang yang menyaksikannya.
Kedua, Kyai Ali Syaibi adalah sosok kyai yang diberi linuwih mampu membenahi kesalahan tanpa menyakiti pelaku kesalahan. Tidak ada satupun orang yang mengaku pernah tersakiti secara fisik oleh lecutan cemeti beliau adalah buktinya. Secara psikhis, tiap penutur kisah beliau dengan cemetinya sama tidak satupun yang mengungkapkan kedendaman atas kebiasaan beliau itu. Bahwa kemudian lecutan cemeti memberikan efek ketakutan pada pelaku kesalahan atau keteledoran, namun seiring dengan perjalanan waktu ketakutan tersebut menjadi semacam alarm internal dalam diri pelaku kesalahan agar tidak mengulanginya di masa berikutnya. Bahkan, ketika para santri dan anak-anak kampung yang sezaman dengan beliau itu kini beranjak dewasa dan menua, pengalaman dengan kyai Ali Syaibi dan cemetinya menjadi memori indah masa kecil mereka untuk masa dewasa mereka yang kerap diingat dengan senyuman dan doa penghormatan pada beliau. Saat ini tentu sulit menjumpai sosok seperti beliau. Dan bila pun ada, mungkin kita sebagai umat akan berbalik melakukan perlawanan atas pembenahan yang beliau lakukan.
Ketiga, Kyai Ali Syaibi adalah sosok kyai yang teranugerahi kecerdasan irfani dalam mengekspresikan peran ulama sebagai ayah ruhaniah bagi umatnya. Terlepas apakah beliau menggunakan cemeti itu ada alasan khusus atau tidak, sepintas pilihan penggunaan cemeti dalam melakukan kontrol sosial terkesan sebagai sebuah kekerasan. Akan tetapi bila menyimak pengakuan para penutur kisah tentang beliau dan cemetinya, justru pada sisi inilah kecerdasan leadership beliau sebagai ulama tampak secara nyata. Tiap orang mungkin kini bisa meniru gaya beliau dengan menenteng pecut sambil membubarkan pelaku aneka ketidakbenaran, namun belum tentu efeknya langsung menembus relung terdalam dari kesadaran ruhaniah orang lain. Di sinilah Kyai Ali Syaibi seolah-olah dianugerahi kecerdasan irfani dengan pilihan alat yang digunakannya untuk membenahi jiwa orang-orang yang mengenalnya. Pandangan terhadap sosok beliau dan cambuknya, apalagi bunyi “cetar” dari cambuk itu ibarat listrik beraliran tinggi yang langsung menusuk jantung orang lain sehingga secepatnya menyudahi kesalahan dan segera merapatkan diri pada jalur kepatutan.
Keempat, Kyai Ali Syaibi adalah sosok kyai yang kekeramatannya berefek kebaikan, bukan keburukan. Bila ingin mengetahui apakah seseorang itu waliyullah atau walinya syetan adalah dengan melihat kekeramatan yang tampil dari dirinya. Sedigdaya apapun kekeramatan seseorang, bila hasil akhirnya kekeramatan itu malah mencelakai kemanusiaan atau menjauhkan manusia dari keberislaman, agaknya status kewaliannya sebagai kekasih Allah subhanahu wa ta’ala diragukan. Rumus ini senada dengan mukjizat yang diberikan pada para nabi dan rasul yang tujuannya adalah untuk menyelamatkan serta mengislamkan umatnya, bukan malah menghancurkan umatnya. Maka Kyai Ali Syaibi dengan cemetinya berada pada jalur sebagai kekasih Allah subhanahu wa ta’ala yang kekeramatan bunyai suara cambuknya saja menjadi pemantul rahmat Allah subhanahu wa ta’ala pada orang lain.
Kelima, Kyai Ali Syaibi merupakan kyai yang teranugerahi mampu menimbulkan positive side effect. Jelas dari kisah para penutur bahwa obyek lecutan cambuk beliau adalah santri pondok dan anak-anak kampung, bukan orang dewasa. Walau ada juga beberapa informasi yang mengatakan bahwa tak jarang orang dewasa harus berjalan melipir ketika berpapasan dengan beliau. Tapi secara umum kisah beliau dengan cemetinya adalah terkait dengan santri pondok dan anak-anak kampung. Walau dua segmen entitas ini yang menjadi “obyek utama”, tapi ternyata para orang tua walisantri dan orang-orang kampung tidak ada yang kemudian melakukan semacam “perlawanan” atas apa yang beliau lakukan. Adanya justru para orang tua itu semakin serius mendidik anak-anak mereka akan akhlak dan adab terhadap diri sendiri, tuhannya yaitu Allah subhanahu wa ta’ala, dan terhadap sesamanya. Artinya, walau sasaran utama tarbiyah beliau pada santri dan anak-anak kampung, tapi didikan tersebut berefek pada orang tua mereka. Jadilah pada masa itu para orang tua melihat akhlak dan adab adalah hal yang sangat penting bagi anak-anaknya.
Wa akhiron
Personifikasi sosok Kyai Ali Syaibi dan cemetinya ini merupakan upaya memahami sosok agung beliau dari apa yang terdengar, bukan dari pengalaman mulazamah dan khidmah pada beliau secara langsung, sehingga tentu gambaran sosok agung tersebut tak sepenuhnya terdeskripsi. Sisi keilmuan, keluarga, pola kehidupan di pesantren dan masyarakat sama sekali tidak tertuang di tulisan ini. Apalagi dimensi pemikiran-pemikiran beliau tentang persoalan agama dan sosial secara konseptual dan praksis, sama sekali tidak terkaver.
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa pengetahuan dan pemahaman pribadi mulia seperti Kyai Ali Syaibi menjadi sangat penting pada berbagai konteks zaman. Apakah dalam posisi sebagai pengikut atau pemimpin, pengurus organisasi atau jamaah yang diurusi, kyai atau santri, dan bagi siapapun orangnya yang ingin melihat profil ulama dalam arti yang sebenarnya, pewaris para nabi. Apalagi ketika sudah mulai ramainya tontonan tapi sepi tuntunan, semaraknya kegiatan tapi hambar pencapaian, banyaknya peratutan tapi sedikitnya keteladanan, berjubelnya pemimpin tapi sepinya panutan, melimpahnya kekayaan tapi berkurangnya keberkahan, menumpuknya tulisan tapi tipis pemahaman, banyaknya sekolah tapi sedikit pendidikan, dan sekian banyak lagi fenomena lainnya.
Memberanikan diri menuliskan sosok beliau dari pemahaman diri pribadi secara subyektif tentu bukan dengan tujuan kurang ajar –naudzu billahi min dzalik— pada beliau. Tiada lain, tujuan menuliskan ada dua. Pertama, menjaga alam kesadaran diri penulis agar tak kehilangan figurasi tokoh-tokoh panutan yang sangat luar biasa sebagai role model bercermin diri. Kedua, tabarrukan dan menyandarkan diri pada beliau sebagai ulama panutan. Tentu ulasan ini banyak kekurangan, ketidaktepatan, dan kesalahan. Atas itu penulis memohon ampunan Allah subhanahu wa ta’ala, dan permohonan maaf kepada keluarga dan dzurriyah beliau. Selain itu, catatan perbaikan dari semua pihak sangat berarti dan kami nantikan. Satu hal yang mohon jangan ditanyakan, yaitu apa wirid, tuah, dan posisi dari cemeti keramat Kyai Ali Syaibi. Karena penulis tidak tahu dan tidak terpikir menanyakan hal itu dari penutur.
Walhasil, dengan bertabarruk pada Kyai Ali Syaibi dan berwasilah kepada Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, semoga Allah subhaanahu wa ta’ala berkenan memudahkan perbaikan lahir-batin diri kita semua, al-Fatihah. Wallahu a’lam bishshawab.
A’wan MWC NU Buduran | Tukang Sapu Langgar
Mahabbah gak kenal wayah
سبحان والحمد لله ولا اله الا الله والله اكبر ولاحول ولاقوة الا بالله العلي العظيم