KHADAM
Oleh: Chabib Musthofa
Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran
Di era kini mungkin sulit kita jumpai adanya santri yang khidmah pada kyai seperti halnya berbagai kisah yang pernah kita dengar dari para generasi terdahulu. Jikapun ada, tentu berada dalam bentuk dan konteks sosial-budaya berbeda dengan sekian variabel yang saling terkait dan mempengaruhi. Bahwa keberadaan santri yang khidmah dengan menjadi khadam kyai di masa kini tentu masih ada, dengan karakteristik yang berbeda dengan periode sebelumnya. Paling tidak bila dilihat dari aspek ketersediaan fasilitas dan kompleksitas peran dan fungsi sosial-budaya yang harus dijalankan oleh kyai, tentu posisi sebagai khadam kyai di era kini menyediakan pengalaman dan keseruan tersendiri.
Kisah-kisah para khadam yang hidup di masa lalu selalu memiliki tempat tersendiri pada relung kesadaran nalar santri yang menikmati cerita tersebut. Berbagai pernak-pernik kisah para khadam juga memiliki saluran atau media pewarisan pengetahuan tersendiri dari generasi ke generasi dengan narasi yang menarik dan kerap dibumbui dengan tambahan pendapat subyektif dari penuturnya. Kisah para khadam ini juga kerap terjadi bukan hanya pada saat berlangsungnya forum pendidikan formal pesantren seperti ketika pengajian kitab, tapi juga tersebar bahkan melalui ceramah pengajian umum, perbincangan para santri saat kongkow, tulisan di berbagai media, dan bahkan terjadi melalui komunikasi insidental yang tidak direncanakan.
Ada kisah khadam yang tugasnya khusus memenuhi kebutuhan air untuk masjid pesantren dan keluarga ndalem. Ada khadam yang khusus bertugas nderekne kyai atau nyai saat khidmah ke luar pesantren. Ada khadam yang khusus menjadi sopir dan merawat kendaraan kyai. Ada khadam yang khusus membersihkan ndalem. Ada khadam yang khusus mengantar-jemput para gawagis atau ngawaning ketika harus keluar pesantren. Ada khadam yang khusus membersihkan dan merawat kebersihan ndalem. Ada khadam yang khusus menjadi protokol mengatur jadwal kyai. Ada khadam yang bertugas mengelola aset ekonomi pesantren dan keluarga ndalem. Ada khadam yang khusus menjadi “loket” bagi para tamu yang ingin sowan kyainya, dan biasanya yang seperti ini adalah mereka yang ber-khadam pada kyai suwuk. Ada khadam yang bertugas khusus menjadi sekretaris kyai, biasanya mereka ini khidmah pada kyai yang produktif sebagai penulis dan pegiat literasi. Bahkan ada khadam yang khusus bertugas merawat burungnya kyai karena memang keahliannya dalam hal tersebut.
Sekian banyak varian bentuk dan fungsi khadam tersebut bagi orang di luar pesantren kerap melahirkan pertanyaan, apakah se-feodal itu pola relasi yang ada di pesantren sehingga kehidupan para keluarga ndalem bak raja yang menuntut adanya abdi untuk melayaninya? Apakah ada unsur pendidikan yang diterima oleh seorang khadam? Dan apa tujuan utama menjadi khadam yang waktunya habis untuk melakukan pengabdian, pelayanan pada kyai?
Khadam Bukanlah Tanda Feodalisme Pesantren
Apakah adanya khadam merupakan bukti akan adanya praktek feodal di pesantren? Bila mengikuti cara berpikir positifisme, bisa jadi jawaban pertanyaan tersebut adalah afirmasi bahwa keberadaan khadam merupakan bukti terjadinya feodalitas di pesantren. Tulisan ini juga tidak berhasrat membantah dugaan atau tuduhan tersebut, tentu bukan berarti bahwa dugaan atau tuduhan itu bisa dibenarkan. Tentu praktek feodalisme di kerajaan atau monarkhi berbeda dengan yang ada di pesantren. Relasi antara raja dan rakyat atau tuan tanah dan pekerja di sebuah kerajaan dilegalkan dengan hegemoni struktural dari penguasa pada yang dikuasai. Rakyat dan pekerja tidak punya pilihan selain patuh, kecuali mereka ingin merubah nasib dengan melakukan pemberontakan atau revolusi yang juga belum tentu berhasil.
Berbeda dengan itu, kyai atau keluarga ndalem tidak pernah membuka lowongan untuk menerima khadam, atau secara resmi membuat pengumuman penerimaan khadam yang nantinya harus menjalankan fungsi asistensi kehidupan bagi kyai dan keluarga ndalem. Keberadaan khadam bagi kehidupan kyai, keluarga ndalem, atau pesantren sebenarnya –meminjam istilah yang digunakan Max Weber—merupakan rational choice dan rational action dari khadam itu sendiri sebagai subyek. Para khadam itulah yang secara sadar dan rasional menempatkan dirinya sebagai khadam bagi kyai, keluarga ndalem, atau pesantren. Artinya, tidak ada eksploitasi kemanusiaan di pesantren karena para khadam itu sendiri yang memutuskan menjalani peran tersebut. Cuma bedanya, rasionalitas pilihan dan rasionalitas tindakan yang dimaksud Weber adalah rasionalitas yang berbasis pada pencapaian keuntungan material finansial. Sedangkan rasionalitas pilihan dan tindakan para khadam dalam khidmahnya adalah mendapatkan keberkahan. Pada sisi inilah banyak kalangan di luar pesantren yang salah atau gagal memahami berbagai dimensi keunikan pesantren.
Tarbiyah ala Khadam
Lalu apakah ada ilmu yang didapatkan dengan menjadi khadam? Mungkin pertanyaan ini bermuara bahwa belajar hanya dapat dilakukan di kelas secara formal dan menafikan bahwa orang bisa belajar di manapun, kapanpun, pada siapapun, dan dengan cara bagaimanapun. Bagi khadam yang bertugas melakukan pelayanan rumah tangga seperti mencukupi kebutuhan air, memasak, dan membersihkan ndalem, paling tidak pelayanannya menjadi media pembelajaran langsung baginya tentang bagaimana mengelola berbagai hal yang terkait dengan rumah tangga. Begitu juga dengan khadam dengan tugas lain, mereka secara langsung belajar dan mendapatkan ilmu pengetahuan setelah bereksperimentasi. Amal perbuatan dalam menjalankan tugas khadam memberikan pengalaman, pengalaman memberikan ilmu pengetahuan baru, dan pada fase berikutnya pengetahuan baru itu direfleksikan menjadi dasar perbuatan yang lebih baik dari sebelumnya.
Pendidikan modern mengklaim punya desain pembelajaran yang sangat luar biasa seperti experiential learning, exsperimental learning, inquiry learning, atau apapun itu namanya sebagai kritik atas model pembelajaran klasik yang menjadikan murid sebagai obyek. Sekian banyak model itu penerapannya hanya di kelas atau pelatihan, tidak terjadi di luar kelas. Guru-murid di sekolah luar pesantren bisa mempraktekkan konsep-konsep tersebut selama di sekolah dan kelas. Tapi ketika malam hari guru dan murid tidak sengaja bertemu di warung kopi, maka yang terjadi adalah relasi sesama konsumen warung kopi, baju sebagai guru-murid telah tertanggalkan. Beda dengan relasi khadam dengan kyai yang kerap 24 jam sehari bertemu, berkoneksi, dan berinteraksi dengan status yang tidak tertanggalkan sama sekali. Dari sisi durasi ini saja, pengalaman pembelajaran dari para khadam lebih lama dan meninggalkan bekas pengalaman dalam kesadaran personal mereka. Bila kyai merupakan figurasi ekspresif dari ilmu pengetahuan, maka selama 24 jam sehari seorang khadam sebenarnya telah melakukan muthola’ah. Khadam itu belajar bagaimana kyai menerapkan ilmu dalam perilaku nyata yang biasanya tidak sederhana. Ia juga belajar mempraktekkan ilmu secara langsung dari percontohan yang disaksikannya secara langsung. Khadam juga mendapat karunia khusus karena mentor kehidupannya secara langsung adalah kyai. Maka ketika seorang khadam menjalankan tugasnya, sebenarnya ia sedang bermetamorfosis belajar hidup sebagai seorang kyai, dan itu tidak ada sekolah, ijazah, dan sertifikatnya.
Buah Menjadi Khadam
Jarang diketahui oleh orang di luar pesantren bahwa para khadam itu biasanya merupakan santri yang paling tidak telah menempuh pendidikan keagamaan dalam tingkat yang lumayan. Bahkan di antara para khadam itu juga sebenarnya adalah para gawagis atau ngawaning yang merupakan putera-puteri kyai lain. Walaupun tentu ada khadam yang memang tidak memiliki pengetahuan atau pengalaman belajar tentang ilmu-ilmu keislaman secara cukup. Memang pada dasarnya ketika menjadi seorang khadam, orientasinya bukan lagi untuk mendapatkan ilmu atau kemanfaatan ilmu. Tapi lebih jauh lagi yaitu keberkahan ilmu.
Dari jahil menjadi ‘alim syaratnya ta’lim. Dari ‘alim menjadi nafi’ syaratnya riyadloh atau tirakat. Dari sebagai orang yang bermanfaat menjadi orang yang berkah syaratnya khidmah. Orientasi utama menjadi khadam bukanlah penguasaan ilmu dan pencapaian kealiman diri melalui ta’lim pada kyai, atau mencapai kemanfaatan diri melalui riyadloh atau tirakat membersamai kyai. Akan tetapi orientasi utama menjadi khadam adalah mendapatkan keberkahan dalam hidup. Keberkahan ini dapat berada pada usia, kesehatan, akal, ilmu, kesempatan, waktu, harta, keluarga, anak, istri, suami, sahabat, organisasi, dan sebagainya.
Bila berkah dimaknai dengan “ziyadah al-khair” (bertambahnya kebaikan), maka segala sesuatu yang diberkahi akan menjadi resources dan media kebaikan. Kemampuan sesuatu yang diberkahi untuk menambah kebaikan ini sering tidak dapat dikalkulasi dengan perhitungan akal secara matematis. Hidup yang diberkahi adalah hidup yang menjadi washilah bagi manusia untuk secara produktif melakukan kebaikan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitarnya. Tentu dengan berbagai nikmat yang dikaruniakan Allah subhanahu wa ta’ala pada manusia yang diberkahi itu. Ada orang dengan anggota keluarga 5 orang dan gaji yang menurut akal hanya cukup untuk pemenuhan kebutuhan dasar seperti makan, pakaian sederhana, dan membayar uang kontrakan. Karena gajinya diberkahi, maka gaji itu mampu menjadi alat pemenuhan berbagai kebutuhan dan menjadi pintu datangnya berbagai rizki. Semua orang hidup sehari semalam menempuh waktu 24 jam. Ada orang yang dengan 24 jam mampu melakukan banyak peribadatan dan berkarya monumental, pun juga ada orang yang 24 waktunya habis untuk hal-hal yang tak berarti. Salah satu rahasia khidmah pada ulama atau menjadi khadam kyai adalah karunia keberkahan.
Khadam Dalam Lintas Tradisi
Sahabat yang identik dengan peran khadam ini sebutlah salah satunya adalah Sayyidina Anas bin Malik radlyallahu ‘anhu. Sejak usia 10 tahun beliau menjadi “bocah ndalem” di keluarga Baginda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam setelah “diberikan” sebagai hadiah oleh ibunya Ghumaisha’ binti Milhan, salah satu wanita Anshar. “Allahummarzuqhu maalan wa waladan wa baarik lahu”, begitulah doa Baginda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam kepada sahabat Anas bin malik RA. Pasca wafatnya Baginda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, Sayyidina Anas bin Malik masih diberi usia selama 80 tahun, menjadi orang kaya di kalangan umat Islam, dan memiliki anak cucu lebih dari 100 orang ketika beliau wafat. Beliau juga menjadi salah satu tempat bertanya para sahabat lain terkait banyak persoalan, terutama tentang al-syama-il al-Muhammadiyah.
Pada tradisi profetik, ketika nabi Musa AS diharuskan bekerja tanpa bayaran pada nabi Syu’aib AS sebagai mahar mengawini putrinya, ini identik dengan model khadam yang sedang kita kaji. Begitu juga ketika nabi Harun diangkat menjadi nabi sebagai pendamping nabi Musa AS, fungsi nabi Harun di sini juga identik dengan khadam, mirip dengan posisi Yusa’ bin Nun ketika menyertai nabi Musa AS menemukan keberadaan nabi Khidir AS.
Keberadaan khadam sebagai personifikasi khidmah ini juga dikenal dan bahkan menjadi semacam madrasah dalam tradisi sufistik. Literatur berjudul Iqodh al-Himam fi Syarhi al-Hikam yang ditulis oleh al-‘Arif billah Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajibah al-Hasani terbitan al-Haramain tanpa tahun di halaman 9 menuliskan –yang kira-kira maknanya—sebagai berikut: “ketahuilah bahwa ilmu yang kami jelaskan ini [tasawuf] bukanlah sebatas sesuatu yang ada dalam perdebatan dengan lisan, melainkan ilmu ini merupakan adzwaq [suasana batin seseorang atas Yang Ilahiyah] dan wijdan [intuisi eksistensial seseorang atas identifikasi dirinya dengan Yang Ilahiyah]. Ilmu tasawuf tidak dapat diambil atau dipelajari dari kertas, tapi sesungguhnya ia diambil dari dari para ahli adzwaq. Ilmu tasawuf tidak bisa didapatkan melalui katanya dan katanya [atau kutip sana kutip sini], tapi sesungguhnya ilmu itu diambil dengan cara khidmah al-rijal [berkhidmah pada para ulama dan aulia] serta shuhbatu ahli al-kamal [bersahabat/nyantri/menjadi murid pada orang yang dianugerahi kemuliaan Allah subhanahu wa ta’ala]. Dan Allah subhannahu wa ta’ala tidak menganugerahkan kebahagiaan pada orang-orang bahagia kecuali dengan jalan shuhbah [bersahabat/nyantri/menjadi murid] pada orang-orang yang diberi kemuliaan.”
Berwasilah pada semua nama mulia di atas, moga Allah subhanahu wa ta’ala mengkategorikan serta meridlai keberadaan kita di jam’iyah dan jama’ah Nahdlatul Ulama ini sebagai bagian dari khidmah al-rijal wa shuhbah ahla al-kamal, al-Fatihah. Wallahu a’lam bishshawab.
A’wan MWC NU Buduran | Tukang Sapu Langgar
Mahabbah gak kenal wayah
Sae sanget untuk dipetik dijadikan pelajaran bagi santri pondok pesantren
Inggih