KETIKA SANG PANGLIMA BESAR MENDAPAT TEGURAN SPIRITUAL

panglima,sahabat,khalid bin walid,umar bin khattab,abu bakar asshiddiq,yarmuk,bizantium,persia,perang,pahlawan,islam

KETIKA SANG PANGLIMA BESAR MENDAPAT TEGURAN SPIRITUAL

Oleh: Chabib Musthofa

Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyyah Buduran

 

“Janganlah takjub terhadap diri sendiri, Anda akan rugi dan terhempas hina. Patut sekali Anda hati-hati dalam beramal. Segala karunia itu di tangan Allah, dan Dia itu Maha menguasai segala imbalan.”

 

Kalimat di atas adalah bagian akhir dari surat yang diberikan oleh khalifah Abu Bakar al-Shiddiq pada panglima besar (al-qoid al-‘am) umat Islam, Khalid bin Walid ketika pada saat rodliyallahu ‘anhum ajma’in. Mulai penghujung bulan Sya’ban 12 hijriyah/633 masehi, panglima besar Khalid bin Walid rodliyallahu ‘anhu (RA) bergerak menuju kota benteng al-Firadh yang terletak di perbatasan Irak dan Syiria. Kita benteng ini menjadi pertahanan suku Tighlab, Iyyad, dan Tammar. Ketiganya merupakan suku besar yang mendapat perlindungan dari Persia dan Bizantium dan masih melakukan perlawanan terhadap gerakan pembebasan umat Islam pada masa kekhalifahan pertama. Pembebasan ini terjadi mulai bulan Sya’ban, Ramadlan, dan Syawal, sehingga pasukan umat Islam merayakan Idul Fitri pada masa peperangan. Selama pengepungan kota benteng al-Firadh yang sangat lama hanya terjadi perang tanding dari kedua belah pihak. Baru pada bulan Dzulqo’dah berlangsung peperangan besar dan jatuhlah kota benteng al-Firadh. Tarikh al-Thabari mencatat korban dari ketiga suku besar mencapai 100.000 orang.

Ekspedisi keamanan dan serah terima pengelolaan kota al-Firadh segera dilakukan oleh sang panglima besar Khalid bin Walid RA, tentu untuk memastikan tidak ada lagi perlawanan dari ketiga suku besar yang menjadi penyuplai para pegawai sekaligus petugas militer kerajaan Persia tersebut. Kecakapan sang panglima besar sebagai pimpinan utama pembebasan pada masa kekhalifahan, membantu peralihan itu berlangsung cepat dan efektif. Oleh karena itu, sang panglima kembali ke kota Hira. Kota tua yang menjadi pusat perkembangan agama Nasrani aliran Nestorian dan dulunya menjadi bagian dari kerajan Himyar. Memang sebelum membebaskan kota benteng al-Firadh, umat Islam telah membebaskan kota Hira, Anbar –kota benteng yang dulunya disebut Firus-Shapur—, Aintamar, dan kemudian kota benteng Dumatul Jandal –atau ada yang menyebut Dumatul Jindal—.

Setelah rangkaian misi pembebasan beberapa daerah yang menjadi kawasan kekuasaan Parsia tersebut berhasil dilaksanakan oleh sang panglima Khalid bin Walid RA, posisi pasukan besar yang dipimpinnya berhadapan langsung dengan batas kekuasaan Bizantium. Namun ekspedisi militer menuju pun tidak langsung dilancarkan, walau kegemilangan pasukan Islam membebaskan seluruh wilayah kekuasaan Persia meningkatkan semangat darah juang umat Islam. Kecakapan sang panglima besar memahami perintah sang khalifah dan mengimplementasikannya di berbagai medan ekspedisi, daerah-daerah yang dibebaskan lebih cepat mengalami pembenahan. Itu juga terjadi pada saat pembebasan kota benteng al-Firadh.

Setelah segala sesuatunya di kota benteng al-Firadh dipastikan terkendali dengan aman, sang panglima besar kembali ke Hira. Saat itu penghujung bulan Dzul Qo’dah dan akan memasuki bulan Dzul Hijjah, masa umat Islam melaksanakan ibadah haji. Tanpa izin pada khalifah Abu Bakar al-Shiddiq RA, sang panglima beserta beberapa pengawalnya berangkat dari Hira menuju Makkah al-Mukarromah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah usai berhaji, sang panglima besar kembali menuju pos tugasnya di kota Hira dan menunggu arahan selanjutnya dari sang khalifah. Tindakan sang panglima besar ini diketahui oleh sang khalifah. Muncullah teguran keras pada sang panglima besar yang telah berhasil memimpin puluhan ekspedisi militer “menterjemahkan” hadits Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bahwa kelak umat Islam akan sampai di Persia dan Romawi, kerajaan Persia akan hancur tercabib-cabik seperti halnya Khosru Persia telah mencabik-cabik surat dari beliau.

Mencermati kisah singkat dari peristiwa ini, terutama surat teguran dari sang khalifah kepada sang panglima besar dapat kita tarik beberapa pemahaman yang sangat mendasar tentang relasi sosial-spiritual para sahabat yang menjadi stereotype terbaik dari umat Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Bahwa surat teguran atau peringatan tersebut mengajarkan pada kita beberapa hal.

Pertama, gairah melaksanakan ibadah personal tidak dapat –atau tidak boleh dijadikan dasar—mengalahkan tugas yang telah dimandatkan oleh pimpinan. Para sahabat rodliyallahu ‘anhum ajma’in adalah generasi emas umat Islam yang berada di bawah tarbiyah langsung Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Mereka mulia karena bukan karena –mohon maaf—eksistensi mereka, tapi mereka mulia karena terkena luberan berkah kemuliaan pengasuhnya, yaitu Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Bahkan, dalam pemahaman Islam ahlussunnah wal jamaah, wali teragung di zaman berikutnya tidak dapat disamakan dengan tingginya kedudukan spiritual dari seorang sahabat pun, walau itu –mohon maaf—merupakan sahabat yang “biasa-biasa saja” di eranya. Berangkat dengan segala keutamaan para sahabat, tentu mereka memiliki pemahaman dan pengalaman terbaik atas substansi agama Islam. Sebagai sebuah pilihan tindakan, pilihan terbaik sang panglima besar untuk meninggalkan pos tanpa izin dan melaksanakan ibadah haji tidak dibenarkan oleh sang khalifah.

Kedua, prestasi perjuangan tidak bisa menjadi dasar kebolehan melakukan pelanggaran tugas. Bahwa kurang apa prestasi sang panglima besar Khalid bin Walid RA dalam menjalankan misi pembebasan menuju tiap wilayah kerajaan Persia, dan sebelumnya dimulai dengan penumpasan gerakan riddah yang dipelopori Musailamah al-Kadzdzab dan istrinya, Sajah Tamimiyah yang juga mengaku sebagai nabi perempuan. Bahkan di periode berikutnya sang panglima besar kebanggaan umat Islam ini juga berhasil membebaskan Bizantium dengan jumlah pasukan yang jauh lebih kecil. Bahwa ketika panglima Khalid bin Walid RA berhaji beliau sudah memastikan seluruh daerah yang baru dibebeaskan tetap berada dalam kendali keamaan umat Islam, tentu itu sudah dilakukan. Segala macam kalkulasi keamanan dan ketertiban sudah diukur sedemikian detail, sehingga beliau berkenan melaksanakan haji. Tapi prestasi itu semua tidak lantas membolehkan sang panglima besar melakukan tindakan tanpa mendapat izin dari pimpinan tertingginya.

Ketiga, adanya tarbiyah spiritual-personal sang khalifah pada sang panglima besar. Bila mencermati bagian akhir surat teguran khalifah Abu Bakar al-Shiddiq RA pada sang panglima besar Khalid bin Walid RA, kita temui peringatan atau larangan untuk menjaga diri dari sifat ‘ujub yang menjadi salah satu penyakit hati paling membahayakan kualitas kesalehan spiritual seseorang. Sebenarnya, –pada peristiwa ini, mohon maaf—‘ujub atau tidak merupakan hak dan tanggung jawab personal dari sang panglima Khalid bin Walid RA, toh bila pun itu nanti akan ada penghitungan dari Allah subhanahu wata’aala, subyek yang akan dihisab adalah sang pang lima. Urusan antara Khalid bin Walid RA dan khalifah Abu Bakar al-Shiddiq RA adalah hubungan atasan-bawahan. Selebihnya, merupakan persoalan pribadi yang berkonsekwensi tanggung jawab personal. Namun tentu tidak sesederhana itu. Misi pembebasan yang dimandatkan sang khalifah kepada sang panglima adalah misi suci yang harus dilaksanakan dengan tindakan fisik (af’aliyah) dan perilaku batin (ahwaliyah) yang benar. Maka sudah menjadi hak Abu Bakar al-Shiddiq RA sebagai khalifaturrasul untuk memastikan armada perangnya –terutama para panglimanya—menjalankan kesalehan af’aliyah dan ahwaliyah selama melaksanakan misi pembebasan tersebut.

Keempat, ekspresi kasih sayang spiritual para sahabat rodliyallahu ‘anhum ajma’in. Para sahabat rodliyallahu ‘anhum ajma’in adalah generasi terbaik dengan soliditas dan ikatan yang sangat kuat. Di antara mereka terjalin pertautan batin yang sangat istimewa. Peringatan khalifah Abu Bakar al-Shiddiq RA pada panglima besar Khalid bin Walid RA bukan sebagai bentuk kebencian, tapi merupakan kasih sayang sebagai sesama sahabat Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Bahkan, peristiwa ini mengajarkan pada kita semua betapa kasih sayang spiritual khalifah Abu Bakar al-Shiddiq RA pada panglima Khalid bin Walid RA agar tidak sampai terjerumus pada sikap jumawa atas diri sendiri karena diberikan anugerah kegemilangan sebagai pimpinan militer umat Islam. Sang panglima sendiri taslim atas teguran itu, berterima kasih pada sang khalifah, dan tidak lantas surut perjuangannya sehingga pada periode berikutnya umat Islam diberi kemenangan membebaskan Bizantium Romawi.

Wa akhiron, antara misi pribadi dan misi organisasi; antara prestasi pribadi dan prestasi organisasi; antara tarbiyah spiritual-personal dan pengkaderan lahiriyah-komunal; serta kasih-sayang spiritual, merupakan bagian kecil yang bisa diekstraksi dari peristiwa lahirnya surat teguran ini. Pastinya, marilah kita teladani kualitas kasih-sayang para sahabat sebagaimana diabadikan dengan diksi “ruhama-u baynahum” dalam QS. Al-Fath ayat 29. Moga Allah subhanahu wata’ala menganugerahkan kasih-sayang yang sebenarnya di hati kita semua. Aamiin. Wallahu a’lam bishshawab.