KARAKTER PEKERJA NAHDLIYYIN: REFLEKSI MAY DAY

may day,karakter,pekerja,nahdliyyin,mei,aswaja,sosialis,marxian

KARAKTER PEKERJA NAHDLIYYIN: REFLEKSI MAY DAY

Oleh: Chabib Musthofa

Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran

 

Tanggal 1 Mei menjadi momentum peringatan hari pekerja atau buruh nasional maupun internasional. Dari perspektif internasional, peringatan 1 Mei bermula dari peristiwa demonstrasi 300 ribu pekerja dari 13 perusahaan di Chicago Amerika Serikat pada 1 Mei 1886 dengan tuntutan waktu kerja lebih sedikit, gaji lebih baik, dan jaminan keamanan. Tapi pada 3 Mei 1886 demo ini berakhir ricuh dan empat demonstran mati dan mereka divonis telah melakukan terorisme. Esoknya demo dilanjutkan di Haymarket Square dan berakhir sama, ricuh. Delapan demonstran ditangkap, tujuh dijatuhi hukuman mati, dan datu dijatuhi hukuman penjara 15 tahun. Kejadian ini memicu reaksi para pekerja di belahan negara lain, sehingga pada tahun 1889 Kongres Buruh Internasional di Paris menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional atau dikenal dengan sebutan May Day. Koalisi partai Sosialis Eropa bersatu. Pada tahun 1980 lebih 300 orang turun jalan mengenang “Martir Haymarket” dan memperingati hari buruh di London.

Di Indonesia, pada tahun 1916 terjadi mogok masal yang dilakukan para pekerja di Jambi, sehingga pemerintah kolonial panik dan membentuk Dewan Rakyat untuk mengakomodir tuntutan pekerja itu, namun pekerja menolak lembaga bentukan pemerintah kolonial ini. Pekerja pribumi waktu itu lebih suka menyuarakan keluh kesahnya pada berbagai organisasi perlawanan seperti Serikat Islam. Konsolidasi pekerja yang difasilitasi organisasi pergerakan ini melahirkan peristiwa mogok masal pada tanggal 1 Mei 1918. Inilah kali pertama hari buruh diperingati di Indonesia, sekaligus menandai hari buruh Asia. Tapi setelah itu peringatan yang sama sulit dilakukan karena tekanan kolonial Belanda yang punya kebijakan Rodi dan Jepang yang punya Romusha.

Baru pada tahun 1948 melalui Undang-Undang Kerja Nomor 12 Tahun 1948 pasal 15 ayat 2 presiden Soekarno menetapkan tanggal 1 Mei adalah hari kemenangan buruh, dan mereka dibebaskan dari bekerja. Pada masa Orde Baru, peringatan May Day ditiadakan karena dianggap memiliki kedekatan hubungan dengan gerakan G30S-PKI. Pasca reformasi 1998, demo buruh kerap terjadi di Indonesia dalam rangka memperingati May Day dan berjalan dengan relatif aman. Pada tahun 2013 presiden menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Nasional, walau secara resmi mulai diperingati pada tahun 2014. Walau para pekerja yang bernasib seperti Marsinah sampai kini masih dianggap belum mendapatkan keadilan yang benar. Tokoh ini menjadi figur utama buruh di Indonesia, di samping tokoh lain seperti Jacob Nuwa Wea, menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang berasal dari kalangan buruh dan memiliki terobosan dengan terbitnya Undang Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ada juga tokoh seperti Muchtar Pakpahan dan Thamrin Mosii.

 

Base-Struktur dan Super-Struktur Marxian

Gerakan buruh sering dianggap memiliki kedekatan dengan ideologi sosialis dan komunis. Secara historis memang tema buruh memang ditopang dengan kelompok yang mengadopsi ideologi tersebut, walau dalam konteks Indonesia tidak bisa dikatakan bahwa pekerja pasti menganut ideologi tersebut. Tapi marilah kita lihat bagaimana pendapat dan cara pandang pendiri ideologi tersebut dalam melihat buruh. Karl Marx sering dianggap sebagai bapak Sosialisme, walau ada banyak tokoh lain sepeninggalnya yang mengembangkan ideologi itu seperti Friedrich Engels, Saint Simon, Charles Fourier, Louis Blanc, dan Robert Owen. Mereka para penguasa yang berhalauan sosialis dan menterjemahkan ideologi ini dalam kekuasannya seperti Mao Ze Dong, JV. Stallin, Vladimir Lenin, Hugo Chavez, Nicolas Manduro, Evo Morales, Fidel Castro, Che Guevara, Salvador Allende, dan Dilma Roussef.

Paradigma yang dianut Karl Marx adalah dialektika materialism-histories. Gampangnya menurut Marx, di dunia ini ada yang disebut kesadaran manusia dan keadaan manusia. Rumusnya, bukan kesadaran yang menentukan keadaan, tapi keadaan yang menentukan kesadaran. Atas cara pandang ini, Marx menegaskan adanya kelas sosial dan membagi dunia dalam dua bagian, yaitu keadaan manusia yang disebut base-structure (dunia basis/bawah), dan kesadaran manusia yang disebut super-structure (dunia atas). Dunia bawah adalah dunia yang berisi keadaan manusia seperti kebutuhan, tanah, mesin, modal, dan sejenisnya, sedangkan dunia atas adalah dunia yang berisi kesadaran manusia seperti ideologi, agama, hukum, filsafat, pendidikan, politik, seni, budaya, dan media masa. Melalui rumusnya, Marx menyatakan bahwa kesadaran manusia tidak mampu mempengaruhi dan merubah keadaannya, tapi justru keadaan manusia mampu mempengaruhi dan merubah kesadaran manusia.

Bila cara pandang dan pemikiran Karl Marx tersebut memiliki “kedekatan”, “irisan”, dan bahkan “pengaruh” pada gerakan kaum buruh, maka paling tidak dapat ditarik beberapa dua. Pertama, terjadi konstruksi pada cara berpikir buruh untuk menjadikan pencapaian material adalah segalanya. Segala yang ada dalam base-structure menjadi orientasi dan ukuran segala sesuatu, sehingga seluruh kesempatan dalam kehidupan mereka habis “hanya” untuk meraih sesuatu yang bersifat material. Hidup adalah bekerja untuk mendapat upah, lalu mampu membeli serta memenuhi segala kebutuhan atau keinginan, dan inilah kemakmuran. Ukuran sejahtera adalah kepemilikan barang-barang material, dan jika pun sudah memilikinya maka prestasinya adalah menikmatinya itu sebagai kesenangan hidup.

Kedua, terjadi konstruksi berpikir bahwa super-structure adalah sesuatu yang tidak penting, karena itu semua tidak bisa merubah keadaan manusia. Soal bagaimana manusia menjaga tradisi dan budayanya, memahami dan menjalankan agamanya, menjaga etika dan moralitas berbasis kearifan lingkungannya, menjadi tidak penting dilakukan karena itu semua –dalam pandangan Marxisme yang terinfiltrasi pada gerakan buruh sosialis ini—tidak dapat merubah keadaan manusia. Maka dari itu Marxian menganggap agama adalah candu yang harus diberangus dari kehidupan manusia. Ketika mereka ditanya tentang apa yang bisa menggantikan agama, Marxian menjawab dengan “gantilah dengan teater”.

 

Pekerja Nahdliyyin

Berdasarkan rekomendasi Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-20 di Surabaya, berdirilah Badan Otonom (Banom) K-Sarbumusi (Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia) pada tanggal 27 September 1955 di pabrik gula Tulangan, Sidoarjo. Tentang mengapa pabrik gula Tulangan dipilih sebagai tempat pendirian, padahal di Buduran juga ada pabrik gula yang juga tergolong besar. Pasang surut keberadaan dan kiprah organisasi ini semenjak dibentuk sampai saat ini. Namun yang terpenting adalah bahwa K-Sarbumusi membawa misi persatuan dan kesatuan buruh, penegakan keadilan dan kebenaran, keterikatan dengan ahlussunnah wal jamaah (Aswaja), dan mengusahakan kesejahteraan bagi buruh dan rakyat Indonesia. Empat hal tersebut tereplikasi dalam lambang Banom. Warna putih mencerminkan kesucian, gigi roda 9 mencerminkan warga Aswaja, rantai melambangkan hubungan manusia di bawah hukum Allah subhanahu wa ta’ala, dan berwarna kuning emas melambangkan kebesaran hukum Allah subhanahu wa ta’ala.

Simbolisasi nilai pada lambang Sarbumusi ini tentu berbeda dengan narasi yang dipropagandakan kelompok Marxian pada komunitas buruh. Hal itu menjadikan para sahabat pekerja nahdliyyin yang ada dalam naungan Sarbumusi tentunya memiliki beberapa karakter pembeda dengan pekerja lain. Pertama, mengutamakan penguatan ukhuwah dalam konteks sebagai sesama pekerja. Konsep ini berbeda dengan ikatan sosial yang dikembangkan sosialisme Marxian yang sering kali cenderung melakukan gerakan massa yang berujung pada kekacauan, bahkan secara historis sering terlibat pada aksi-aksi revolusi dengan korban kemanusiaan yang tidak sedikit. Bila ikatan sosial dalam sosialisme lebih ditujukan pada pencapaian dunia material semata, tapi ukhuwah dalam Sarbumusi berada pada bingkai Aswaja al-Nahdliyyah. Bila ada istilah ukhuwah al-nahdliyyah, maka di dalamnya –dalam hal ini di Sarbumusi—ada istilah ukhuwah al-‘ummaliyah.

Kedua, adanya penegakan keadilan dan kebenaran sebagai satu paket perjuangan. Keadilan yang tidak benar akan melahirkan ketimpangan sosial, sedangkan kebenaran yang dijalankan dengan tidak adil akan melahirkan kezaliman. Maka para sahabat pekerja nahdliyyin bekerja dan berjuang di atas dua pondasi keadilan dan kebenaran ini, tentu dalam versi, definisi dan pemahaman yang sesuai dengan Aswaja al-Nahdliyyah. Ekspresi menjalankan keadilan berbingkai kebenaran dalam konteks bekerja adalah dengan melakukan segala sesuatu secara proporsional dengan tujuan dan cara yang dibenarkan.

Ketiga, memiliki kedekatan dengan Aswaja al-Nahdliyyah baik secara manhaji maupun ‘amali. Artinya, para sahabat di Sarbumusi mendasarkan tindakan personal maupun kegiatan organisasionalnya pada para ulama NU, baik dari sisi metode berpikirnya maupun dari sisi cara mengekspresikannya secara nyata. Atas dasar kedekatan itu, maka cara berpikir para sahabat pekerja nahdliyyin berbeda dengan para pekerja yang tidak ada dalam naungannya. Pekerja yang berstatus nahdliyyin tidak bekerja –sebatas—untuk mendapat upah, tapi bekerja adalah cara bermanfaat kepada pihak lain. Pekerja yang nahdliyyin tentu tidak melakukan pekerjaan yang melanggar aturan agama dan negara. Pekerja yang nahdliyyin tentu tidak mengesampingkan ajaran tawassuth, tasamuh, tawazun, dan i’tidal dalam pekerjaannya.

Keempat, kesejahteraan bukan semata diukur dengan kepemilikan barang-barang mewah, tapi pada keberkahan apa yang dikaruniakan. Tentu para pekerja yang nahdliyyin sadar betul bahwa bekerja tidak sama sekali menambah atau mengurangi rizki, karena rizki sudah ditentukan dan diatur Allah subhanahu wa ta’ala. Bekerja adalah salah satu ibadah dalam bentuk memberikan kemanfaatan diri pada pihak yang membutuhkan. Ketika hal itu memiliki konsekwensi dengan bertambah-kurangnya pendapatan, maka itu menjadi bagian dari ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala yang berjalan di dalam sunnatullah. Maka kesejahteraan dalam hal ini linier dengan kemanfaatan diri, bukan semata-mata linier dengan kepemilikan barang secara material.

Kelima, bekerja bukan menjadikan diri penghamba dunia, tapi bekerja adalah salah satu ekspresi peribadatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala melalui bermu’amalah dengan sesama. Melalui pandangan ini, tujuan utama dalam bekerja bukanlah gaji atau kepemilikan sesuatu yang bersifat duniawi. Akan tetapi bekerja adalah bagian mu’amalah diri dalam garis tujuan penghambaan menggapai ridla Allah subhanahu wa ta’ala. Maka kesejahteraan atau kemakmuran tertinggi bagi para sahabat pekerja nahdliyyin adalah ketika dengan pekerjaannya ia menjadi lebih bermanfaat pada orang lain, dan di saat yang sama semakin dekat pada Allah subhanahu wa ta’ala.

Walhasil, karakter ke-NU-an para pekerja nahdliyyin menjadi pembeda kualitas mereka dibanding pekerja-pekerja lain yang mengikuti cara berpikir, perilaku, dan kebiasaan ideologi di luar NU. Karakter itu berisi nilai yang tidak hanya bisa dilihat dan dirasakan di dunia, tapi juga dibawa sampai nanti di akhirat. Kita memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala semoga berkenan menganugerahkan aneka keberkahan pada semua orang yang beribadah dengan pekerjaannya dan bekerja dalam peribadatannya, al-Fatihah. Wallahu a’lam bishshawab.