Sosok Kiai Hasyim Asy’ari pendiri Tebuireng tentu tidak asing di telinga masyarakat Indonesia, khususnya jika dikaitkan dengan berdirinya Nahdlatul Ulama, Resolusi Jihad. Sebab dari beliau api semangat rakyat berkobar untuk melawan penjajah. Juga, perlawanan membentengi masyarakat dari paham modernis yang menyuarakan kembali kepada al-Quran hadis tanpa ijmak qiyas.
Akhir abad 19 atau lebih tepatnya memasuki awal abad 20 merupakan era suburnya gerakan modernis yang diprakarsai oleh Muhammad Abduh di Mesir. Gerakan ini lebih ke arah memurnikan ajaran Islam dengan cara kembali ke al-Qur’an hadis, menekankan anti taqlid, melawan dominasi Barat.
Sejalan dengan gerakan di atas, di tanah air muncul Gerakan modernis yang dibawa oleh Ahmad Soorkati (Jamiyyatul Khair), A. Hassan (Persis), yang menentang segala praktek kaum tradisionalis dengan tuduhan bid’ah khurafat.
Beberapa tokoh modernis lain di masa itu (1910-1925) di antaranya adalah H. Zamzam dan M. Yunus pendiri organisasi Persis. Gagasan-gagasan mereka menjadi rujukan dalam penyebaran gerakan pembaharuan Islam (modernis). Tak ayal jargon yang mereka usung dengan narasi “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah” berdampak pada perbedaan dalam persoalan ubudiyah.
Dari sini menurut Zamakhsyari Dhofier, selain faktor kolonialisme, lahirlah kebangkitan para tokoh tradisionalis atau Jamiyyah Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 yang dikomandoi Kiai Hasyim Asy’ari beserta para ulama untuk membentengi dan menjaga tradisi dengan tetap merujuk al-Qur’an hadis ijma’ qiyas.
Meskipun demikian, Kiai Hasyim Asyari memuji rasionalitas Abduh berkaitan dengan semangat melawan penjajahan, namun beliau tidak menganjurkan murid-muridnya untuk membaca karya Abduh. Pasalnya, Muhammad Abduh mengejek dan mengolok-olok ulama tradisonal yang masih belum bisa melepaskan tradisi dan praktek-praktek yang tidak dapat diterima.
Kiai Hasyim Asy’ari dalam Risalah fi Taakkud al-Akhdz bi Madzahib Al-Arba’ah menegaskan bahwa seseorang tidak mungkin memahami al-Qur’an hadis, tanpa memahami pemikiran para ulama madzhab. Penolakan terhadap mazhab akan berdampak pada pemutarbalikan ajaran Islam.
Dengan demikian, bila ditarik benang merah, maka sesungguhnya Kiai Hasyim Asy’ari sangat gigih mempertahankan pentingnya bermadzhab, karena umat Islam membutuhkan piranti berupa pendapat serta penjelasan ulama. Sangat berbahaya jika memahami al-Quran dan hadis tanpa merujuk pendapat ulama. Terlebih para ulama madzhab memiliki kapasitas sebagai mujtahid mutlaq.
Source : https://jatim.nu.or.id/
Pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Buduran