BER-NU ALA SUHRAWARDI AL-MAQTUL (Bagian 2)
Oleh: Chabib Musthofa
Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran.
Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya berjudul Mengenal Syaikh al-Isyraq Suhrawardi al-Maqtul. Bila tulisan sebelumnya berusaha mengungkap sedikit gagasan dari Bapak Iluminasi Islam tentang pengetahuan al-haqqu al-yaqin, klasifikasi pencari kebenaran, cahaya, dan irisan pemikiran Suhrawardi al-Maqtul dengan definisi tasawuf versi Ghazalian. Maka sesi kali ini merupakan simulasi bila seandainya seseorang sekaliber Suhrawardi al-Maqtul menjadi bagian dari organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Pengandaian ini muncul tanpa tujuan, motif, dan cita-cita tertentu. Sifatnya insidental dan sporadis, semata-mata hanya membayangkan apa yang akan dilakukan seorang Suhrawardi al-Maqtul dengan gagasannya di atas ketika ia berada di dalam organisasi NU di masa kini. Tentu pengandaian ini tidak dalam rangka memposisikan pemikiran Suhrawardi al-Maqtul dengan doktrin ahlu al-sunnah wal al-jamaah (Aswaja) al-nahdliyyah secara dikotomis atau vis a vis, dan tentu juga bukan dalam rangka memaksakan pemikiran Suhrawardi al-Maqtul secara linier harus berada dalam bingkai doktrin Aswaja al-Nahdliyyah. Juga bukan mengandaikan Suhrawardi al-Maqtul dalam pengibaratan sebagai pengurus NU pada level tertentu dan lembaga atau badan otonom (Banom) tertentu.
Risalah ini hanya mengandaikan bilamana seorang Suhrawardi al-Maqtul menjadi warga NU biasa di masa kini dan hidup di tengah komunitas nahdliyyin yang menurut Mitsuo Nakamura disebut sebagai komunitas Islam tradisional yang moderat.
Ber-Aswaja Secara Haqqu al-Yaqin
Dugaan kali pertama yang muncul jika Surahwardi al-Maqtul seorang nahdliyyin adalah tentunya ia akan berupaya menemukan pengetahuan atas Aswaja al-Nahdliyyah sampai pada level pengetahuan yang haqqu al-yaqin. Seorang Suhrawardi al-Maqtul tidak akan main-main dengan apa yang akan dijadikannya sebagai pijakan kebenaran dalam berpikir dan berperilaku. Fakta historis maupun fakta empiris tentang Aswaja al-Nahdliyyah tidak cukup baginya menjadi jastifikasi kebenaran, karena itu hanya akan menyuplai gairah inderawi, yang dalam tradisi keilmuan Islam disebut dengan al-‘ilmu al-yaqin. Analisis dan kajian ilmiah dengan metodologi yang ketat tentang Aswaja al-Nahdliyyah juga tidak cukup baginya untuk mencapai kebenaran pemahaman, karena itu hanya sampai pemenuhan kebutuhan akal-budi, yang biasa disebut dengan al-‘ainu al-yaqin. Suhrawardi al-Maqtul akan berusaha menemukan pemahaman Aswaja al-Nahdliyyah sampai pada level haqqul al-yaqin yang mensyaratkan rihlah intuitif dan tentu dengan jiwa yang mendapat anugerah ‘irfani atau wijdani.
Bila Aswaja al-Nahdliyyah dimaknai sebagai manhaj al-fikr, maka Suhrawardi al-Maqtul akan berupaya menemukan kerangka pemahaman yang benar –paling tidak menurut subyektifitasnya—baik yang ushuliy dan furu’iy, yang mujmal dan mubayyan, yang hissiy dan ma’nawiy, yang qath’iy dan dhanniy, yang kulliy dan juz’iy, yang ‘am dan khas, yang haqiqiy dan majaziy, yang af’aliy dan ahwaliy, dan seterusnya. Penelurusan ini tidak berhenti pada pembacaan atas teks, pengajaran, dan doktrinasi dalam pengkaderan formal yang polanya adalah injeksi pengetahuan dari dimensi eksternal pada kesadaran internal. Tapi oleh Suhrawardi al-Maqtul kesemuanya itu dijadikan sebagai nutrisi awal dari proses berpengetahuan sebenarnya pada fase berikutnya yang berada pada kerja-kerja intuitif dan akal-budi dirinya secara internal.
Bila Aswaja al-Nahdliyyah dimaknai sebagai manhaj al-harakah, maka Suhrawardi al-Maqtul tidak hanya sebatas berada di bawah bayang-bayang prestasi gerakan di masa lalu, tanpa melakukan dan menemukan prestasi gerakannya sendiri. “Al-nahdlah” baginya tidak cukup ada hanya ada di retorika dan flyer yang terkadang lebih sering mengeksploitasi kebesaran para pendahulu demi untuk menginisiasi diri telah berada dalam jalur kebesaran tersebut. “Al-nahdlah” menjadi kata kunci sekaligus penciri ideologi gerakan yang dibuktikan dengan keterlibatan diri dalam khidmah berbasis pengetahuan yang haqqu al-yaqin atas Aswaja al-Nahdliyyah.
Maka ketika seorang seperti Suhrawardi al-Maqtul memainkan perannya sebagai warga nahdliyyin, maka ia tidak hanya berposisi sebagai penjelas, tukang promosi, atau agitator al-harakah al-nahdliyyah. Ia juga tidak akan menempatkan diri pada posisi pelaku yang asyik dengan dirinya sendiri dan abai pada ekosistem sosial di sekelilingnya dalam menterjemahkan Aswaja al-Nahdliyyah pada domain terkecil, yaitu hanya pada dirinya. Tapi Suhrawardi al-Maqtul akan memilih posisi sebagai pelaku Aswaja al-Nahdliyyah –baik itu dalam makna manhaj al-fikr maupun manhaj al-harakah—sekaligus menjadi penjelas. Misalnya, bila Suhrawardi al-Maqtul adalah seorang nahdliyyin yang berprofesi marbot masjid, maka ia melaksanakan profesi itu dengan pondasi pemahaman Aswaja al-Nahdliyyah yang mapan sekaligus memiliki kemampuan praktis implementatif dan terstandar dalam konteks kerja-kerja kemarbotan. Sehingga apa yang dilakukannya itu di satu sisi menjadi amal yang ilmiyah bagi dirinya (dalam hal ini ia menjadi pelaku), dan di sisi lain menjadi ilmu yang amaliyah bagi orang lain (di sini ia menjadi penjelas bagi yang lain).
Nahdliyyin Iluminatif
Lalu bagaimana dengan profiling Suhrawardi al-Maqtul sebagai nahdliyyin yang menterjemahkan iluminasi cahaya dalam perspektif sufistik. Pertama, pada dimensi lahir, nahdliyyin yang beridentitas Suhrawardi al-Maqtul ini akan tampil sebagai penerima sekaligus pemantul Nul Ilahiyah. Sebagai penerima ia menyadari betul bahwa statusnya adalah nahdliyyin yang mendapat terpaan Nur Ilahiyah dengan washilah dan berkah para ulama yang ada di NU, sehingga memunculkan responsibiltas al-khidmah al-shadiqah pada para ulama, NU, dan umat Baginda Nabi Muhammad sholallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Al-khidmah al-shadiqah adalah khidmah yang jujur secara keseluruhan, tidak terbersit untuk mendapat imbalan atau capaian tertentu layaknya anak kecil, dan khidmah yang terbebas dari cara berpikir untung-rugi sebagaimana dalam dunia perdagangan.
Kedua, pada dimensi batin, nahdliyyin seperti Suhrawardi al-Maqtul ini menyadari betul bahwa dirinya hanya sebatas cermin pemantul Nur Ilahi pada makhluk lain. Kesadaran bahwa diri hanya sebatas cermin, melahirkan sikap batin rendah hati sekaligus tidak rendah diri. Sikap bahwa diri penting, berkemampuan, menentukan, mewarnai, dan memiliki kelebihan, adalah sikap yang terus diperangi dan diberangus, bahkan sampai pada titik nir sikap itu semua. Sebagai nahdliyyin yang sadar betul bahwa dirinya adalah cermin yang rentan dan rawan pecah, maka fokusnya adalah menjaga diri agar tidak sampai pecah. Sebagai nahdliyyin yang sadar dirinya hanya cermin, sedangkan cermin akan bisa menjadi pemantul gambar lain bila permukaannya bening dan tidak tertutup kotoran. Maka fokusnya adalah membersihkan diri dari segala kotoran sehingga permukaan kacanya tetap bening dan tidak tertutup kotoran.
Cermin tidak pernah berbohong pada siapapun yang berkaca padanya, walau bayangan yang ditampilkannya tidak se-presisi benda aslinya. Cermin juga tidak punya kepentingan untuk menentukan arah mana bayangan benda akan dipantulkan, karena yang otoritatif memilihkan arah pantulan adalah pemilik cermin. Cermin tidak pernah membalas umpatan atau pujian orang yang berkaca padanya ketika mereka tidak siap melihat kelebihan atau kekurangan yang dipantulkan cermin. Begitulah kira-kira ketika membayangkan Suhrawardi al-Maqtul menjalankan perannya sebagai nahdliyyin.
Walhasil, uraian ini hanyalah simulasi. Tidak perlu dipahami dengan serius, apalagi mengkalkulasi diri dan orang lain setelah menikmatinya. Bersepakat atau tidak, bukanlah persoalan. Karena paling tidak telah tertulis dan terbaca. Artinya, Allah subhanahu wa ta’ala telah menakdirkan kita semua belajar, karena esensi belajar adalah membaca dan menulis. Akhirnya, dengan berwashilah pada Suhrawardi al-Maqtul dan para ulama NU, kita bermohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar berkenan menjadikan kita sebagai cermin bening yang pantas menerima dan memantulkan Cahaya Ilahi sebagai rahmat bagi diri, keluarga, jama’ah, jam’iyah dan semesta, al-Fatihah. Wallahu a’lam bishshawab.
A’wan MWC NU Buduran | Tukang Sapu Langgar
Mahabbah gak kenal wayah
سبحان الله والحمد لله ولا اله الا الله والله اكبر ولاحول ولا قوة الا با لله العلي العظيم