APAKAH BERCERAMAH ITU PASTI BERDAKWAH? (BAGIAN 1)

substansial,formal,struktural,kultural,islam politik,islam kultural,ceramah,dai,dakwah

APAKAH BERCERAMAH ITU PASTI BERDAKWAH? (BAGIAN 1)

Oleh: Chabib Musthofa

Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran

 

Dua Model

Pemikiran yang berpandangan bahwa Islam secara formal harus dapat diterima, legal, dan ditaati oleh satu entitas kelompok manusia disebut dengan Islam Formalis. Pemikiran semacam ini biasanya lebih menggunakan kekuatan ekonomi, politik, militer, dan lini struktur kekasaan sebagai instrumen perjuangannya. Pengikut gagasan ini biasanya aktif dalam berbagai struktur kekuasaan demi melaksanakan misinya, sehingga disebut juga Islam Strukturtalis. Tapi bila mereka tidak berada dalam struktur kekuasaan, tidak jarang mereka melakukan gerakan revolusi demi memenuhi target utamanya, yaitu mengupayakan Islam sebagai penguasa kekuasaan. Padahal, bila ditelisik lebih mendalam, sebenarnya para aktifis penganut pemikiran ini sebenarnya memperjuangkan Islam ataukah sedang memperjuangkan “kepentingan” diri mereka sendiri tapi dengan jubah dan jargon memperjuangkan Islam.

Lawan dari pemikiran Islam Formalis adalah Islam Substansialis. Bila Islam Formalis menandai keberhasilan perjuangan ketika Islam –atau lebih tepatnya mereka yang mengaku orang paling Islam—berada pada puncak kekuasaan politik, maka Islam Substansialis menandai keberhasilan gerakan perjuangannya ketika nilai-nilai Islam merasuk pada sistem kesadaran dan perilaku manusia dan terekspresikan dalam sendi kebudayaan. Islam substansialis lebih mengedepankan upaya pendampingan kemanusiaan agar mereka mengalami pencerahan akal-budi akan kebenaran Islam, di samping juga tidak meletakkan Islam secara konfrontatif dengan tradisi lokal. Aliran pemikiran Islam Substansialis lebih memilih jalur perjuangan kultural karena dengan begitu mereka dapat lebih mudah berinteraksi dengan manusia di sekitarnya, dan juga lebih jitu dalam mendialogkan nilai Islam dengan nilai budaya. Bila Islam Formalis disebut juga dengan Islam Struktural atau Islam Eksklusif, maka Islam Substansialis disebut Islam Kultural atau Islam Inklusif.

 

Sebagai Pilihan Perjuangan

Kepiawaian para ulama Nusantara menyinergikan nilai Islam dengan nilai budaya masyarakat setempat menjadi salah satu prestasi yang diakui masyarakat dunia internasional. Islam tidak dipaksakan menjadi kebenaran mayoritas yang dilegitimasi oleh struktur kekuasan, karena cara berpikir seperti ini mensyaratkan kepemilikan kekuasaan politik yang secara legal otoritatif mengatur segala hal yang menjadi pemenuhan hajat hidup manusia dalam satu kawasan. Pilihan untuk meletakkan Islam tidak secara vis a vis dengan kekuasaan, tapi menyejajarkan keduanya secara dialogis menjadi efektif dalam islamisasi, sehingga atsar dakwah mengakar kuat pada sistem kebudayaan umat Islam Nusantara.

Dua pendekatan dakwah ini sama penting dan tidak perlu dikonfrontasikan, karena keduanya memiliki keunggulan dibanding lainnya. Gerakan Islam struktural menjadi sangat efisien dalam konteks dakwah karena memiliki peluang untuk menyebarkan Islam dengan adanya wewenang membuat kebijakan politik yang diakui secara legal. Apalagi dengan adanya dukungan jaringan instrumen kekuasaan yang luas dan dana yang besar, maka kegagahan Islam menjadi sangat terang terlihat dalam gebyar panggung sosial. Ciri para aktifis Islam struktural ini biasanya jarang berinteraksi dengan warga sekitarnya, sibuk “memperjuangkan Islam” pada ruang-ruang kekuasaan, dan ngopeni berbagai basis politik serta jaringan kekuasaannya. Perlente dengan sandangan barang-barang mewah, dan memiliki relasi luas. Tapi bila terjadi prahara politik pada para aktifisnya, biasanya Islam mendapat negative side-effect karena keberadaan dan keadaan yang menimpa mereka diklaim sebagai representasi dari Islam itu sendiri.

Gerakan Islam kultural menjadi sangat luar biasa dalam menancapkan akar nilai Islam dalam sistem kesadaran manusia dalam konteks kebudayaannya. Walaupun gerakan ini kerap tidak diatraksikan dalam gebyar propaganda politik dengan dukungan dana yang besar serta aparatur pemerintahan yang berseragam lengkap, namun para aktifisnya biasanya memiliki ketelatenan, daya adaptasi, dan keterpercayaan luar biasa dari orang-orang di sekitarnya. Ciri para aktifis penganut pemikiran Islam kultural ini biasanya lebih istiqamah mendampingi umat di masjid, mushola, aneka pengajian, dan terlibat pada berbagai kegiatan budaya dari umat Islam di sekitarnya. Figurnya biasa saja dengan sandangan barang-barang sederhana, dan terkadang hanya dikenal dalam batasan kampung atau maksimal se-kecamatan.

Di Nusantara, dua pendekatan ini tampil sebagai pemuka arus gerakan dakwah. Berdirinya berbagai kesultanan seperti Samudera Pasai, Aceh, Malaka, Banten, Cirebon, Demak, Mataram Islam, Gowa, Tidore, Bacan, Jalilolo, Buton, Banggai, Gowa Tallo, Bone, Konawe, Bima, Sumbawa, Dompu, Selimbau, Mempawah, Tanjungpura, Landak, Tayan, dan Paser, merupakan bukti bahwa pemikiran Islam Formalis telah mengukirkan prestasinya. Tapi berdirinya kesultanan itu tidak tiba-tiba karena didahului dengan adanya tatanan sosial-kebudayaan masyarakat yang mapan dengan pemahaman dan penerapan prinsip Islam, dan itu terjadi karena prestasi gerakan Islam Substansialis. Oleh karena pada satu kawasan tertentu Islam telah terinfiltrasi dalam sistem kebudayaan dan tradisi masyarakatnya, ditambah dengan tuntutan yang lebih luas yaitu kebutuhan akan perlindungan keamanan dan institusi dengan kewenangan formal yang menjadi representasi politik ketika berhadapan dengan pihak luar daerah, maka didirikanlah berbagai kesultanan tersebut.

Bila diteruskan, basis kebudayan dan kekuasaan yang diwariskan gerakan Islam Kultural dan Islam Struktural inilah yang mewarnai masyarakat muslim Nusantara sampai kini. Bahkan ketika pasca kemerdekaan tiap kesultanan sudah tidak lagi menjalankan fungsi politik dan militer, melainkan sebagai penjaga warisan budaya. Akan tetapi kebudayaan dan nilai-nilai Islam tidak pudar dan masih kuat mengakar sampai kini. Inilah yang menjadi salah satu ciri prestasi dakwah ulama di masa lalu.

 

Bagaimana Kemudian?

Pertanyaannya, lalu bagaimana ke depan model dakwah yang dijalankan oleh para muharrik ini, baik mereka yang kini Allah subhanahu wa ta’ala tempatkan pada jalur struktural maupun kultural. Apakah kontekstualisasi perjuangan struktural di masa kini merupakan copy-paste dari perjuangan struktural di masa lalu, perlukah modifikasi atau justru malah terjadi derivasi. Apakah perjuangan kultural masa kini lebih sebatas menjaga hasil perjuangan tanpa perlu melakukan inovasi, atau bahkan gerakan Islam kultural hari ini justru malah tidak berorientasi pada inklusifitas Islam itu sendiri.

Kiranya satu hal yang dapat disepakati, bahwa pemikiran dan gerakan dakwah harus tetap berjalan, karena itu merupakan bagian dari mandat keagamaan bagi siapapun yang mengaku dirinya muslim. Tentu pemikiran dan gerakan dakwah itu akan berbeda bila dilaksanakan secara sendirian dan berkelompok. Ketika Anda diminta memberikan ceramah agama dalam kapasitas Anda dianggap sebagai orang yang ahli agama, maka –idealnya—pada saat itu Anda tampil sebagai penceramah yang mengutamakan kepentingan dakwah Islam kultural, bukan tampil dengan kepentingan penjagaan figur Anda yang sudah terlanjur dianggap ahli agama. Ketika Anda diminta memberikan kontribusi pemikiran dan tindakan dalam sebuah kelompok atau organisasi keagamaan dengan tujuan kebaikan, maka –idealnya—pada saat itu Anda tampil sebagai muharrik gerakan Islam yang mengutamakan kepentingan dakwah Islam struktural, bukan menjadi aktifis dengan kepentingan mendapatkan tujuan pribadi melalui organisasi. Kedua kesempatan yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala ini (menjadi penceramah agama dan aktifis organisasi sosial keagamaan) tentu tidak diberikan pada semua orang. Artinya, Anda yang menjadi salah satu atau menjadi keduanya adalah orang-orang pilihan.

Nah, pada posisi sebagai orang pilihan inilah Anda akan dihadapkan pada irisan dan tarikan yang seru-seru sedap. Tiap kali akan berceramah atau berangkat melaksanakan mandat organisasi, Anda akan berhadapan dengan kejelasan irisan orientasi, apakah saat (berceramah atau aktif di organisasi) itu Anda sedang bekerja untuk Allah subhanahu wa ta’ala atau sedang bekerja untuk diri sendiri? Anda sedang ditarik magnet kepentingan memperjuangkan kebenaran agama, ataukah Anda sedang tertarik magnet kepentingan memperjuangkan kebenaran diri Anda sendiri sebagai orang yang dianggap ahli agama tau muharrik? Apa jurus andalan Anda menghadapi dua irisan dan tarikan itu? Pastinya, ceramah agama menjadi salah satu metode dakwah, tapi apakah ceramah Anda itu dakwah. Kebenaran agama diperjuangkan bisa melalui organisasi, tapi apakah klaim Anda sebagai pengurus dan muharrik agama melalui organisasi itu memang memperjuangkan kebenaran agama? Lalu bagaimana seharusnya, mari belajar tentang pemikiran dan gerakan dakwah pada para ulama yang al-da’i ilallah. Wallahu a’lam bishshawab.