APA YANG TERJADI PADA TANGGAL 20 RAMADLAN?

APA YANG TERJADI PADA TANGGAL 20 RAMADLAN?

 

Oleh : Chabib Musthofa

Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran

 

Pada bulan Jumadil Ula tahun 8 hijrah umat Islam bersedih karena karena tiga pahlawan utama mendapati syahid ketika menjalankan perintah Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam sebagai panglima di perang Mu’tah. Tiga tokoh besar dari kalangan sahabat itu adalah Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib, Sayyidina Zaid bin Harits, dan Sayyidina Abdullah bin Rawahah rodliyallahu ‘anhum. Perang inilah yang menjadi saksi betapa mahabbah Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib RA pada Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam mampu menembus batas derita sakaratul maut. Oleh sebab sebelum wafatnya, Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib ditanya Jibril tentang apa yang diinginkannya. Beliau memberikan jawaban bahwa keinginannya saat itu adalah bertemu dengan Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Padahal kedua tangan mulia sahabat utama tersebut telah putus dan badannya tertembus tombak. Kiranya Allah SWT memperkenankan permintaan terakhir ini dan mengirimkan beliau menjumpai Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam di Madinah dan menggantikan kedua tangan mulia beliau dengan dua sayap. Inilah yang menandai beliau dikenal dengan gelar Ja’far al-Thoyyar RA. Beliau juga sahabat yang juga ditugasi menjadi pemimpin umat Islam untuk hijrah ke Habasyah dan memenangkan diplomasi melawan utusan kafir Quraisy waktu itu, yaitu Amr bin Ash di hadapan raja Najasyi yang beragama Nasrani.

Pada hari ke-10 bulan Ramadlan tahun ke-8 dari hijrah, Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam berangkat dari Madinah al-Munawwarah menuju Makkah. Alasannya adalah karena kaum Quraisy telah melanggar beberapa perjanjian yang telah disepakati dengan Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam di Hudaibiyah pada bulan Shafar tahun 8 hijrah. Pada perjalanan ini tokoh seperti Khalid bin Walid, Amr bin Ash, dan Utsman bin Thalhah sudah memeluk Islam dan berada dalam rombongan Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Bahkan, menjelang kedatangan Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam di Makkah, pimpinan Quraisy waktu itu juga menyatakan keislamannya beserta istrinya. Dialah Abu Sufyan bin Harb dan Hindun binti Utbah.

Para ahli sejarah mencatat bahwa Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam memasuki Makkah pada hari ke-20 dari Ramadlan tahun 8 hijrah. Mengutip Ibnu Ishaq, Ibnu Hisyam dalam al-Sirah al-Nabawiyyah (1997, jilid 4: 54-55) menerangkan bahwa umat Islam waktu memasuki Makkah dari beberapa jalur. Sayyidina Zubair bin Awwam RA diperintahkan memasuki Makkah melalui Kuda yang berada di sisi kiri Makkah, Sayyidina Sa’ad bin Ubadah RA diperintahkan memasuki Makkah dari Kada’, sedang Sayyidina Khalid bin Walid RA dititahkan memasuki Makkah melalui dataran rendah di sisi kanan Makkah, sedangkan Sayyidina Abu Ubaidah bin Jarrah RA mengawal rombongan Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam memasuki Makkah dari arah tengah. Padahal di saat bersamaan, beberapa tokoh Quraisy seperti Shofwan bin Umayyah, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Suhail bin Amr masih belum beriman dan berkumpul di sebuah tempat yang disebut Khondamah untuk memerangi Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Namun pada akhirnya ketiganya masuk Islam dan menjadi pembela Baginda Muhammad shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dengan gigih.

Setelah memasuki kota Makkah, disaksikan oleh umat Islam dan orang-orang yang belum beriman, Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam berdiri di depan pintu Ka’bah dan bersabda. Sabda monumental ini dicatat Ibnu Hisyam dari Ibnu Ishaq pada kitab yang sama di halaman 60-61. Kira-kira, –dalam terjemahan bebasnya—beginilah sabda Baginda Rasulullah saat Fathu Makkah itu:

“Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah SWT, tiada sekutu bagi-Nya, yang telah membenarkan janji-Nya, menolong hamba-Nya dan Dia sendiri yang mengalahkan musuh-musuh-Nya.

Ketahuilah bahwa segala kekuasaan, kemuliaan atau darah, atau kekayaan itu berada di bawah kedua kakiku ini, kecuali Sadanah (pelayan) Ka’bah dan pemberi minuman kepada jamaah haji. Ketahuilah, korban pembunuhan karena ketidaksengajaan itu sama dengan pembunuhan seperti membunuh dengan cambuk atau tongkat, maka diyatnya diperberat yaitu berupa seratus unta. Empat puluh ekor di antaranya harus dalam keadaan hamil.”

“Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya Allah telah mengenyahkan semangat jahiliyah dan mengagung-agungkan leluhur, karena semua manusia berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah.”

Kemudian beliau membaca firman Allah SWT QS: al-Hujurat ayat 13

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami mencipta kan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha MengenaI.”

Lalu beliau meneruskan sabdanya:

“Wahai orang-orang Quraisy, apa pendapat kalian tentang apa yang kuperbuat pada kalian?” tanya Nabi.

Orang-orang Quraisy pun menjawab. ”Kebaikan, engkau adalah saudara yang mulia, dan putera dari saudara kami yang mulia.”

Lalu Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda:

Pergilah, kalian bebas.”

Sabda ini sangat bersejarah dan menjadi monumen bahwa Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam memang merupakan rahmat Allah SWT bagi semesta, termasuk yang memusuhinya. Pada waktu Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam menggenggam kekuasaan Makkah dan mampu melakukan apapun–seperti yang biasanya para penguasa dunia melakukannya yaitu balas dendam—pada orang-orang yang dulu menindas beliau. Tapi pada saat itu Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam menunjukkan bahwa beliau benar-benar teladan terbaik yang memiliki sifat hilmuhu yasbiqu ghadlabuhu (sabar/welas asihnya –pada musuh—mendahului marahnya –pada musuh—). Ada yang berpendapat bahwa al-hilm adalah lapang dada, mampu menahan kemarahan, dan sabar pada musuh. Apapun pemaknaan itu, pastinya peristiwa di atas menggambarkan bahwa Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam merupakan pemimpin yang tidak hanya menyayangi pengikutnya, tapi juga orang yang memusuhinya, dan bahkan dulu memeranginya.

Jika pada hari ke-20 Ramadlan tahun 8 hijrah menjadi saksi historis akan tampilnya cahaya al-hilm al-nabawiyyah (kasih-sayang kenabian) dari Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam pada kelompok yang dulu memeranginya, maka bagaimana dengan diri kita menjalani hidup sebagai umat Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam pada saat yang sama di tahun ini? Apakah ada semangat, upaya, kiat, niat, atau paling tidak ‘azam dalam upaya meneladani al-hilm al-nabawiyyah tersebut pada ruas-ruas kecil nan sederhana dalam kehidupan kita? Ataukah justru menjelang 20 hari menjalankan puasa Ramadlan, justru dorongan kemarahan dalam diri makin menggelora dan kerap meletup seiring dengan lapar dan dahaga yang terus meronta-ronta?

Akhirnya, kutipan dua baris akhir dari empat belas baris syair yang didendangkan Abdullah bin al-Ziba’ro setelah menyatakan keislamannya bisa mewakili pujian kita pada Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dalam bingkai semangat meneladani al-hilm al-nabawiyyah sebagai pesan spiritual pada tanggal 20 Ramadlan ini.

Dan Allah SWT menyaksikan bahwa Ahmad Musthofa menyandang kemuliaan tertinggi di antara para shalihin. Beliaulah pemimpin mulia berasal dari istana Bani Hasyim yang pendar cahayanya mencapai puncak tertinggi kemuliaan.”

Wallahu a’lam bishshawab.