Oleh: Chabib Musthofa*
Iklan Politik
Bila tidak ada aral melintang, tahun 2024 merupakan masa kontestasi politik bagi kita yang menyandang status sebagai warga negara Indonesia. Secara resmi website KPU mempublikasikan bahwa tahapan pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024 dimulai pada 14 Juni 2022 dengan agenda perencanaan program anggaran, sampai 20 Oktober 2024 dengan agenda pengucapan sumpah/janji presiden dan wakil presiden.
Meskipun masa pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 sedianya akan dilaksanakan pada 14-15 Februari 2024, kiranya mulai kini tidak sulit kita melihat berbagai warta yang lebih menjadi “iklan politik” dari pasangan atau figur tertentu yang agaknya akan berkontestasi pada Pemilu 2024 tersebut. Padahal seperti kita tahu bahwa bulan ini (Oktober 2023) belum memasuki masa kampanye. Baru nanti pada 28 November 2023 sampai 10 Februari 2023 terjadi kampanye yang pada saat itulah mudah kita jumpai para kontestan Pemilu–mendadak—harus belajar mempermak gesture dan kemampuan public speaking-nya demi meraup simpati dan suara pemilih.
Jangankan di sepanjang jalan, di papan iklan, atau di pohon, tembok, atau pada tiang listrik, pose menjanjikan atau lebih mirip “iklan politik” dari –yang katanya akan menjadi—para kontestan Pemilu 2024 baik itu legislatif maupun eksekutif juga memasuki ruang-ruang media komunikasi komunitas seperti WhatsApp Group (WAG) atau media sosial lain. Ada yang disebarkan orang lain, entah itu tim sukses atau tim kompetitornya. Bahkan ada yang menyebarkan iklan dirinya sendiri, entah atas alasan efisiensi atau memberi keteladanan dalam mempromosikan kebaikan diri sendiri.
Catatan ini tidak hendak membahas benar-salah atau baik-buruknya fakta tersebut. Namun ingin sedikit mencermati varietas “iklan politik” –dari yang katanya—calon kontestan Pemilu 2024 dari sudut pandang kesalahan berpikir dalam teori argumentasi, lalu bagaimana kita menyikapinya. Paling tidak, apa yang pantas kita lakukan dengan perspektif normatif-historis.
Argumentasi Ad Populum dan Post Hoc
Ad populum fallacy merupakan kesalahan argumentasi yang membangun kebenarannya berdasar pada kepercayaan umum, lalu –kepercayaan umum itu—dipaksakan/digunakan untuk menjastifikasi kebenaran khusus dirinya yang sedang atau akan dipropagandakan. Ketika seorang –calon, pelaku, atau politisi—mengiklankan dirinya dengan mendasarkan pada kebenaran opini publik, lalu kebenaran itu ditungganginya dengan mengajukan kebenaran bahwa dirinyalah pilihan terbaik dalam kontestasi politik nanti, maka ini indikator sederhana bahwa ia melakukan ad populum fallacy.
Misalnya, pemeluk agama tertentu meyakini bahwa agamanya merupakan agama terbenar, lalu ada kontestan politik yang memeluk agama tersebut menggunakan keyakinan publik atas kebenaran agamanya tersebut sebagai iklan politik agar pemeluk agama yang sama memilihnya, maka ini contoh ad populum. Kebenaran opini publik di sini bukan hanya agama, tapi bisa juga kelompok, aliran, suku, organisasi, dan bahkan variabel sosial lain seperti hobi dan keluarga. “Agama A benar, dan saya beragama A, maka memilih saya adalah kebenaran,” kira-kira begitulah contohnya secara sederhana. Dan itu jelas argumentasi yang salah. Besar kemungkinan para kontestan Pemilu nanti tidak menggunakan statemen tersebut sebagai jargon kampanyenya.
Berikutnya adalah post hoc fallacy yang lengkapnya adalah post hoc ergo propter hoc fallacy. Post hoc adalah argumentasi yang membangun kebenarannya pada keterkaitan dua hal atau peristiwa dalam bingkai hubungan yang saling mempengaruhi secara integral dan kausalistik, padahal belum tentu keduanya memiliki hubungan sebab-akibat. Jika ada A, lalu muncul B, maka A menyebabkan B atau B disebabkan A. Demikian contoh cara operasional berpikir post hoc secara sederhana.
Misalnya, saya dan Anda sama-sama pengurus organisasi ini, sedang saya kini mencalonkan diri pada Pemilu, maka –harusnya—Anda memilih saya pada Pemilu nanti. Itu statemen sederhana cara berpikir post hoc, dan itu termasuk kesalahan. Fakta pertama, saya dan Anda sama-sama pengurus organisasi ini. Fakta kedua, sedang saya kini mencalonkan diri pada Pemilu. Kesalahan argumennya, maka –harusnya—Anda memilih saya pada Pemilu nanti. Kiranya kalimat ini mulai sering memasuki rongga telinga kita masing-masing.
Dua kesalahan argumentasi ini mungkin sering kita jumpai dalam iklan politik yang terbaca di baliho, banner, flyer, videografis, atau produk media popular yang bisa disebut “iklan politik” dan hari-hari ini merebak bak jamur di musim hujan. Membawa simbol atau identitas kelompok mayoritas seraya menjastifikasi dirinya bagian dari itu semua, membangun argumen bahwa memilih dirinya merupakan keniscayaan tersebab kesamaan organisasi, paling tidak itu tanda adanya argumentasi ad populum dan post hoc. Walaupun tentu terjun sebagai politisi merupakan salah satu pilihan yang patut diacungi jempol karena politik merupakan salah satu dari sekian banyak medan perjuangan yang mulia dan sangat menentukan.
Cerminan Pemimpin
Mengutip catatan Imam Ibnu al-Atsir al-Jaziri dalam Jami’ al-Ushul min Ahadits al-Rasul yang ditahqiq Abdul Qadir al-Arnauth (1969) yang mengilustrasikan penggalan pidato pertama Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq radliyallahu ‘anhu setelah dibai’at kaum Muhajirin dan Anshor rodliyallahu ‘anhum ajma’in sebagai khalifah di saqifah Bani Sa’adah. Pidato tersebut sebagai berikut: “…Ayyuhan naas, haadzaa amrukum, ilaikum tawallauw man ahbabtum ‘alaa dzalik, wa akunu ka-ahadikum. Yaa ayyuhan naas, ayyumaa rojulin nadima ‘ala bay’atiy lamaa qooma ‘alaa rijlaiyhi…” Terjemahan bebasnya kira-kira: “…Wahai kalian semua umat manusia, soal kepemimpinan ini adalah hak kalian. Tanggung jawab kalianlah untuk menyerahkannya kepada siapa yang kalian inginkan. Sementara aku ini tidak berbeda jauh dengan kalian. Wahai kalian semua umat manusia, barangsiapa di antara kalian yang merasa menyesal karena telah membaiatku, maka silahkan saja berdiri (mencabut baiatnya padaku)…”
Selang sehari berikutnya, Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq radliyallahu ‘anhu mengumpulkan umat Islam di masjid dan berpidato sebagaimana diriwayatkan oleh Abdul Mulk bin Hisyam bin Ayyub al-Humairi dalam al-Sirah al-Nabawiyah yang ditahqiq Musthafa al-Saq (1955) Jilid 4 halaman 240, dan Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Dinawari dalam ‘Uyun al-Akhbar (1925) Jilid 2 halaman 234. Penggalan pidato beliau sebagai berikut: “…Ayyuhan naas, fa-inniy qod wulliytu ‘alaikum wa lastu bi-khoirikum. Fa-in ahsantu fa-a’iinuuniy. Wa-in asa’tu fa-quumuuniy. Al-shidqu amanatun wa al-kadzibu khiyanatun…” Kira-kira terjemah bebasnya adalah: “…Wahai kalian semua umat manusia, aku telah diberi wewenang memimpin kalian, tapi aku bukan orang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik maka bantulah aku. Jika aku berbuat salah maka tegurlah aku. Kejujuran adalah amanah, dan kebohongan adalah penghianatan…”
Mencoba membaca dan memahami dua penggalan pidato Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq radliyallahu ‘anhu di masa awal kepemimpinan beliau pasca dibai’at umat Islam menjadi khalifah pertama, dalam konteks membeludaknya narasi iklan politik bergenre ad populum dan post hoc tentu sangat bermanfaat. Pertama, bagi Anda produsen dan distributor iklan politik bergenre ad populum dan post hoc, berhentilah dan mulailah belajar memproduksi iklan politik yang mencerdaskan dalam wadah kebenaran. Kedua, bagi Anda konsumen produk iklan politik bergenre ad populum dan post hoc, marilah buat endapan atau serapan personal-internal dengan tidak mudah meng-copy-paste-nya pada pihak lain agar sedimen kesalahan argumentasi itu tidak malah bercampur dengan hasrat konsumerisme politik diri kita sendiri. Ketiga, bagi Anda para pengamat iklan politik bergenre ad populum dan post hoc, marilah lebih sering berkaca diri, tentu bukan untuk bersolek, tapi untuk lebih mawas diri seraya belajar mengekang dan mendidik syahwat berlevel tinggi, yaitu hasrat berkuasa dan menguasai.
Moga Allah subhanahu wata’ala karuniakan para pemimpin yang adil, rakyat yang taat, dan negeri yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur. Aamiin.
*Penulis adalah A’wan MWCNU Buduran dan Ketua ISHARI NU Banjarkemantren
A’wan MWC NU Buduran | Tukang Sapu Langgar
Mahabbah gak kenal wayah