INDIKATOR KEIMANAN: PENGAJIAN KITAB NASHOIHUL IBAD MAQOLAH KE-25 BAB TSULASTY

INDIKATOR KEIMANAN

PENGAJIAN KITAB NASHOIHUL IBAD MAQOLAH KE-25 BAB TSULASTY

Pengasuh: KH. CHUSNUL WARO, S.Pd. (Rois Syuriyah MWCNU Buduran)

 

Tempat            : Masjid Baiturrohim Desa Banjarkemantren Kecamatan Buduran

Waktu              : Ba’da Shalat Maghrib, Senin Legi 24 Syawal 1444 H/15 Mei 2023 M

 

Sebelumnya, mari kita bacakan Surat Al-Fatihah kepada junjungan kita Sayyidina Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam, seluruh muassis, masyayikh, kiai, guru, dan pengurus Nahdlatul Ulama, Penulis kitab Nashoihul Ibad yaitu Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani beserta seluruh yang bersambung dalam sanad ilmu dan amaliyah beliau, Penulis kitab al-Munabbihat ‘ala al-Isti’dad li Yaumi al-Ma’ad yaitu Syaikh Syihabuddin Ibnu Hajar al-Atsqolany beserta seluruh yang bersambung dalam sanad ilmu dan amaliyah beliau, orang tua kita semua, juga seluruh saudara dan sahabat warga Nahdliyyin dan umat Islam di manapun berada. Untuk mera semua, al-Fatihah.

Maqolah ke-25.

Diriwayatkan sesungguhnya Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari keluar menjumpai para sahabat beliau dan bertanya, “bagaimana keadaan pagimu?” (atau bagaimana keadaan kalian memasuki waktu pagi?) Para sahabat menjawab, “pagi kami (kami memasuki waktu pagi) dalam keadaan sebagai orang mukmin peda Allah (Yang Maha Agung dan Mulia). Maka Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “apa alamat (tanda) keimanan kalian?”. Lalu para sahabat menjawab, “kami bersabar atas bala (atau ujian dari Allah subhanahu wata’ala) dan kami bersyukur atas waktu lapang (atau kelapangan dalam ma’isyah) dan kami ridlo dengan qodlo (atau ketetapan hukum Ilahiyah dalam berbagai keadaan yang terjadi pada berbagai keadaan tersebut dari perkara-perkara ahwaliyah dari zaman azali sampai kemudian. Maka bersabdalah Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam, “kalian merupakan orang mukmin yang sebenarnya (atau iman kalian itu benar-benar cocok dengan kenyataan) demi Rob dari Ka’bah”.

 

Kiai pengasuh menjelaskan bahwa tanda syukur dari seseorang adalah keadaan shalatnya. Bila ada orang yang mengaku bersyukur atau karunia Allah subhanahu wata’ala, akan tetapi tidak diiringi dengan usaha melaksanakan shalat yang benar sesuai dengan ketentuan dan kesempurnaannya, maka pengakuan itu tidak memiliki bukti. Lebih jauh, ukuran dari sebuah masjid atau daerah pemukiman merupakan komunitas yang menjaga shalat adalah dengan melihat jamaah shalat subuh di masjid atau musholla dari pemukiman tersebut. Bila jamaah shalat subuh di sebuah daerah massif, ramai, dan antusias, maka itu menjadi tanda bahwa orang-orang di daerah atau pemukiman tersebut merupakan orang yang “ngopeni” shalatnya. Sebaliknya, bila pelaku jamaah shalat subuh di sebuah daerah tidak banyak, maka itu menjadi tanda bahwa daetah tersebut tidak begitui “ngopeni” shalat. Tentu keadaan hal ini berlaku pada keadaan normal dan tidak sedang terjadi sesuatu yang luar biasa seperti perang dan bencana alam.

Lebih lanjut, kiai pengasuh menjelaskan bahwa shalat wajib lima waktu sehari semalam mengandung beberapa isyarat. Pertama, merupakan ungkapan syukur dari seorang hamba pada Allah subhanahu wata’ala atas karunia lima indera, yaitu indera perasa, peraba, pelihat, pendengar, dan pembau. Artinya, ketika seseorang menjaga kewajiban shalat lima waktu dalam sehari semalam, maka itu merupakan tanda bahwa yang bersangkutan membuktikan rasa syukurnya atas karunia lima panca indera yang dianugerahkan Allah subhanahu wata’ala kepadanya. Kedua, merupakan isyarat adanya lima kiblat di alam dunia ini, yaitu Arsy yang merupakan kiblatnya malaikat Hafiin (QS. Al-Ghofir: 75), Kursi yang menjadi kiblatnya malaikan Muqorrobin, Baitul Ma’mur yang menjadi kiblatnya para malaikat (QS. Al-Thur: 4), Ka’bah kiblatnya orang mukmin (QS. Ali Imran: 96), dan Safar yaitu kiblatnya orang yang tersesat, sehingga ketika melaksanaan shalat dalam keadaan tersebut diperbolehkan memilih salah satu arah yang diyakininya sebagai kiblat (QS. Al-Baqarah: 115). Ketiga, merupakan isyarat shalat yang disyariatkan pada nabi dan rasul sebelumnya. Nabi Adam alaihissalam mendapat syariat shalat subuh saja, Nabi Dawud alaihissalam mendapat syariat shalat dluhur, Nabi Sulaiman alaihissalam mendapat syariat shalat ashar, Nabi Ya’qub alaihissalam mendapat syariat shalat maghrib, dan Nabi Yunus alaihissalam mendapat syariat shalat Isya. Jadi, ketika seorang mukmin menjalankan shalat lima waktu itu dia meneladani ibadah yang telah disyariatkan pada nabi dan rasul sebelumnya.

Di akhir pengajian, kiai pengasuh memberikan ijazah amalan yang dilakukan ketika menjawab bacaan “asyhadu anna Muhammadan Rasulullah” pada saat mendengar adzan. Setelah menjawab panggilan tersebut dari muadzin, agar membaca “marhaban bi habiby wa qurrota ‘ainiy Muhammadin shollallahu ‘alaihi wa sallam”, lalu mencecap dua ibu jari di sudut samping mulut lalu mengoleskan sisi dalam dari dua ibu jari itu pada kelopak mata sisi atas (ibu jari kanan pada kelopak mata kanan, ibu jari kiri pada kelopak mata kiri). Wallahu a’lam bi shawab.