Bingkisan Lebaran

LP Al Khoziny Buduran

Lebaran Idul Fitri menjadi sangat spesial, di samping memang secara substansial peristiwa tersebut bukan semata-mata dapat dipahami sebagai momentum keagamaan, tapi juga bisa dicermati sebagai peristiwa kebudayaan. Ketika sebuah ritual keagamaan telah dipahami dari perspektif kebudayaan, maka ritual tersebut terkait erat dengan berbagai atribut, alat, gagasan, prosedur, dan nilai-nilai yang secara antropologis menjadi domain kreatifitas manusia sebagai kreator budaya. Memahami lebaran sebagai peristiwa kebudayaan, tentu akan membuka ulasan terkait relasi lebaran itu dengan kreatifitas manusia memaknai dan mereplikasikannya dalam perilaku di tengah kebudayaannya.

Salah satu yang menjadikan Idul Fitri tahun 1444 H ini istimewa adalah adanya kesempatan untuk sowan pada para masyayikh LP Al-Khoziny dan PP Al-Falah Siawalanpanji. Ahad 2 Syawwal 1444 H bertepatan 23 April 2023 sekitar jam 07.30 saya nderek-ke Kiai Machrus, Kiai Jalisil Ulama, Gus Faiz, dan beberapa keluarga beliau –acabis atau nyabis dalam istilah orang Madura– ke para ulama tersebut. Rombongan itu berjumlah 9 orang dan dengan bersepeda motor kami menuju lokasi. Tujuan pertama adalah KHR. Abdul Muid.

sowan,pisowanan,lebaran,riyayan,Buduran,Siwalanpanji,Al Falah Siwalanpanji,Al Falah Panji,KHR. Abdussalam,KHR. Abdul Muid,KHR. Abdul Mujib,KHR. Abdussalam Mujib,KHR. Abdul Muid Mujib. KH. M. Nurul Huda Nawawi,Gus Ahmad,Gus Ahmad Panji,Gus Ahmad Siwalanpanji,Agus Ahmad Abdul Muntaqim,Ahmad Abdul Muntaqim,Siwalanpanji Buduran Sidoarjo,Lembaga Pesantren,Pondok,Pesantren,Pondok Pesantren,Ponpes,Al Khoziny,Al Falah

Ma’had Al Mustarsyidin Al Khoziny. Sumber: Laduni.ID

Sampai di depan ndalem, tampak pagar modifikasi seng adan kayu masih tertutup. Lalu ada seseorang yang membukakan pagar dan menginfokan bahwa tuan rumah sedang istirahat. Kami pun berjalan kaki sowan ke KHR. Abdussalam. Saya tahu di antara kami banyak yang perokok berat, tapi dari semenjak berangkat dari ndalem Kiai Machrus sampai waktu itu, belum ada seorangpun yang ngudut.

Ndalem beliau menghadap selatan dan berada di komplek pemondokan santri LP Al-Khoziny itu serambinya tertutup kèré (semacam tirai dari bambu). Tak berselang lama setelah bersalam, kami dipersilahkan masuk. Rais Syuriah PCNU Sidoarjo itu mempersilahkan dan ngeladeni sendiri pada kami, walau terlihat beliau kadang tertatih-tatih dengan bertelekan tongkatnya. Bahkan sebelum menanyakan kabar, beliau mengangkat sekaleng roti dan menyuguhkannya pada kami secara bergantian. Kami pun mengambil dan mencicipinya. Makan dulu lalu berbincang-bincang.

Beliau menanyakan kabar kami, ihwal lebaran masyarakat di lingkungan sekitar kami, dan juga tentang NU. Kami juga meminta doa restu beliau, terutama pada para generasi mendatang yang menjadi penyambung khidmah. Di antara dawuh beliau adalah agar menjaga kerukunan dengan sesama umat Islam dan terus menjaga tradisi ilmu di keluarga, jam’iyah dan jama’ah. Menurut beliau, organisasi itu akan menurun kualitasnya bila mengalami krisis orang alim di dalamnya. Sebelum pamitan, beliau berdoa menuruti request tamunya yang sepagi itu sudah menyita waktu.

Pisowanan berikutnya kami kembali ke ndalem KHR. Abdul Muid, dan baru setelah sampai di depan pagar modifikkasi seng dan kayu itu di antara kami “berani” ngudut. Seperti semula, pintu-jendela depan masih tertutup dan sepi, walau ada info beliau ada di ndalem dan sedang istirahat. Kami pun menunggu di halaman ndalem beliau yang terlihat seperti rumah kuno itu sambil sesekali memperhatikan ayam cemani yang terlihat gelisah karena banyak orang, burung puter yang asyik merayu pasangannya, burung dara yang terus mbekur, dan pohon nangka serta sukun yang menambah keasrian suasana. Sebatang, dua batang, sampai berbatang-batang rokok habis terbakar. Mode berdiri, jongkok, jalan-jalan, dan bersenam ringan, tak kunjung ada tanda jawaban sang tuan rumah. Tapi kiranya kami terus bertahan. Sampai pintu model kupu tarung bercat coklat itu terbuka, dan oleh tuan rumah kami dipersilahkan masuk.

Sama dengan tuan rumah sebelumnya, tuan rumah kali ini tak kalah rahap memuliakan tamu yang –mungkin– telah menyita waktu istirahatnya. Toples-toples makanan beliau buka dan mempersilahkan kami mencicipinya setelah terlebih dulu membagikan air mineral dan menyiapkan beberapa asbak. Sambil ngudut beliau memberikan dawuh. Di antara dawuhnya adalah perlunya menyambung hubungan sanak famili dan juga harus diiringi dengan upaya menjaga pendidikan generasi penerus agar keduanya terjaga dengan baik dan saling bersinergi. Sampai menjelang masuk waktu zuhur beliau menerima kami, lalu berdoa dan meluluskan kami saat berpamitan.

PP Al Falah Siwalanpanji

PP. Al Falah Siwalanpanji. Sumber: Yayasan Al Falah Panji

Tujuan berikutnya adalah KH. Abdul Khobir Al-Huda di Pesantren Al-Falah Siwalanpanji. Setelah melewati jalan kampung dan melintas di depan masjid Mbah Nanggul, kami sampai. Terlihat komplek pesantren tersebut lengang karena memang para santri pada pulang untuk merayakan lebaran di rumahnya masing-masing. Saat itu kami ditemui oleh Agus Ahmad Abdul Muntaqim di serambi sisi barat ndalem beliau, orangnya masih muda, tampan, ramah, dan tentu kesopanan serta kesantunannya sangat istimewa dan bak priyayi. Beliau sendiri nyaosi kami dengan menyuguhkan air di hadapan kami masing-masing dan mempersilahkan menikmatinya.

Di antara dawuh beliau, adalah pentingnya mengingat jasa orang-orang yang telah berkontribusi pada perjuangan li I’lali kalimatillah, serta pentingnya terus istiqomah belajar saat nyantri walau merasa tidak kerasan. Santri PP Al-Falah Ploso ini menyampaikan bahwa saat bermukim di pondok Ploso selama 9 tahun beliaunya tidak pernah kerasan, tapi seiring dengan itu beliau terus berusaha nyantri. Setelah memimpin doa –walau awalnya enggan–, beliau menerima pamitan kami. Saat itu terdengar azan dari masjid Mbah Nanggul.

Pada perjalanan pulang itu paling tidak tercatat beberapa hal sebagai bahan refleksi. Pertama, ulama panutan kita di Buduran ini mengajarkan bagaimana praktek dari prinsip bahwa “al-‘ulama umana-uhum wa khodimuhum”, yang disebut ulama adalah orang terpercaya dan pelayan bagi umatnya. Terpercaya ilmu, amal, dan khidmahnya, juga melayani siapapun yang datang memerlukan pertolongan tanpa merendahkannya. Kedua, nasehat dan wasiat agar selalu berpegang pada kebenaran dengan memilih cara-cara yang baik, merupakan hal yang tak lepas dari para ulama kita. Keluhan atau pertanyaan apapun yang dikonsultasikan, direspon para ulama kita dengan solusi yang penuh hikmah. Ketiga, pentingnya menjaga robithoh antara santri dan kiai pada berbagai konteks apakah itu dalam bingkai pesantren, wadah jam’iyah, ataukah relasi sosial kemasyarakatan. Robithoh inilah yang menjadi modal utama –terutama bagi santri—dalam menjalani kehidupannya. Kuatnya hubungan dengan kiai ini bagi santri ibaratnya seperti golden way yang akan menjadi rel keselamatan.

Tulisan ini tidak ingin mengilustrasikan pisowanan di atas bak novel, dan juga tidak berupaya mengeksplanasinya dalam narasi yang berisi proposisi atau konseptualisasi atas fenomena dengan pendekatan serta perspektif lebih ilmiah. Tapi ulasan ini hanya ingin merefleksikan sikap beliau-beliau para kiai dan gus saat singkatnya pisowanan tersebut, paling tidak dengan kedangkalan pemahaman kami –lebih tepat saya yang baru belajar– sebagai santri. Agar paling tidak, bila boleh diibaratkan beliau-beliau sebagai cermin bening, kita bisa berkaca pada mereka itu dengan kapasitas dan posisi kita masing-masing. Artinya, bingkisan lebaran 1444 H ialah cermin bening ulama kita berupa: umana-u wa khodimul ummah, nasehat dan wasiat akan kebenaran dengan kebaikan, serta menjaga robithoh al-nahdliyah.

Robbi fanfa’na bibarkatihim, wahdinal husna bi hurmatihim.

Wa amitna fi thoriqotihim, wa mu’afatin minal fitani.

Wallahu a’lam bishshowab.