BANALITAS HUJATAN DI MEDIA SOSIAL

banalitas,media sosial,NU,nahdliyyin,hujatan,Aswaja,amar ma'ruf,nahi mungkar

BANALITAS HUJATAN DI MEDIA SOSIAL

Oleh: Chabib Musthofa

Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran

 

Sudah saatnya mencari sosok pemimpin bukan dari ***/yang menamakan wong NU partainya kudu ***, saya masyarakat sudah faham beberapa kali ****** dari ***, berakhirnya di jeruji besi,,, Apa masih belum sadar saja nek selama ini orang yang bersorban tidak harus jadi panutan, agama hanya dijadikan sebagai kedok untuk keserakahan pribadi.”

 

Di atas adalah sebuah kiriman pesan dari seorang sahabat melalui aplikasi WhatsApp, dan khusus pada penggalan kalimat terakhir bercetak tebal. Pesan itu diiringi dengan pesan berikutnya berbunyi: “yok nopo niki [bagaimana ini] menanggapinya?” Ternyata pesan pertama bukan bersumber dari sahabat itu, tapi dari salah seorang –entah siapa—yang mengirimkannya di sebuah WhatsApp Group (WAG) di mana sahabat berada di dalamnya. Belakangan, WAG tersebut memang banyak berisi pesan-pesan hujatan yang disinyalir mengarah pada kelompok tertentu. Ternyata, para penghuni WAG itu terbelah menjadi beberapa kelompok yang saling berseberangan sikap atas beberapa persoalan, dan kini mulai hobi memberikan hujatan antara satu dengan lainnya. Kiranya pesan tersebut membuat jengah sang sahabat dan mengirimkan ulang pada pihak lain seraya meminta pertimbangan untuk menanggapinya. Kalimat pesan yang tertulis di atas tidak persis seperti pesan aslinya, karena beberapa kata sengaja diganti dengan simbol untuk kerahasiaan pihak tertentu.

Kasus saling menghujat seperti ini tidak hanya terjadi di WAG yang diikuti sahabat itu, tapi mungkin banyak terjadi di berbagai WAG. Bahkan, di media sosial sering kita jumpai banyak hujatan dari satu pihak pada pihak lain dengan berbagai variasi dan kreatifitas cara menghujat. Pihak yang dihujat membalasnya melalui media sosial, dan begitulah fenomena ini terus berlangsung entah sampai kapan akan berakhir. Biasanya, fenomena ini kerap terjadi ketika mendekati momentum politik seperti pilpres, pilkada, atau pemilukada. Anehnya, kini muncul gejala bahwa pelaku hujatan memandang apa yang dilakukannya adalah kebenaran, atau paling tidak mereka merasa berada dalam jalur sedang memperjuangkan kebenaran, padahal belum tentu juga apa yang mereka lakukan itu adalah kebenaran. Lalu apakah tiap kesalahan harus dirubah dengan melakukan hujatan?

 

Banalitas Para Pembantai

Raymond Westerling, pimpinan pasukan bayaran yang telah membantai ribuan rakyat Indonesia merasa tidak bersalah karena dia menganggap apa yang dilakukannya adalah kebenaran. Orang inilah yang menjadi operator berbagai pemberontakan di awal kemerdekaan sehingga stabilitas keamanaan NKRI goncang. Kegoncangan NKRI di awal kemerdekaan inilah yang oleh pemerintahan kolonial menjadi alat propaganda di dunia internasional dengan menyatakan bahwa Indonesia belum siap merdeka dan tidak layak disebut negara. Sehingga Netherlands Indies Civil Administration (NICA) dengan gabungan tentara sekutu kembali ke Indonesia dan melakukan agresi militernya. Raymond Westerling adalah agen yang dibiayai NICA untuk melakukan berbagai kerusuhan di Indonesia, dan bahkan melakukan genosida.

Orang ini yang menyebabkan Bandung mengalami kerusuhan sehingga terjadi peristiwa Bandung Lautan Api. Sebagai pimpinan Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL), Westerling menggunakan jargon messiah untuk mengklaim perilakunya. Dia menyatakan dirinya adalah Ratu Adil yang ditunggu-tunggu bangsa Nusantara, sedangkan NKRI adalah musuhnya. Ketika Westerling diwawancari Prof. Anhar Gonggong Nasution dan ahli sejarah itu menginformasikan bahwa ayahnya dibunuh Westerling, di hadapan anak yang bapaknya telah dibantainya dia tetap mengaku merasa tidak bersalah dan tidak berdosa atas apa yang telah dilakukannya. Padahal, Westerling telah membantai ribuan jiwa di Kariano, kerajaan yang dipimpin ayah Prof. Anhar Gonggong Nasution yang kini jadi desa di Sulawesi Selatan.

Pada kasus lain, Adolf Eichmann seorang tentara Jerman garis keras yang menganggap bahwa Jerman selalu berada dalam kebenaran. Orang ini salah satu aktor terjadinya holocaust, di mana terjadi pemusnahan massal orang Yahudi oleh tentara NAZI pada Perang Dunia II. Eichmann adalah orang yang memimpin salah satu departemen yang bertanggung jawab mendeportasi 1,5 juta orang Yahudi dari Eropa. Eichmann juga mengikuti konferensi Wansee yang menyepakati perencanaan pemusnahan Yahudi Eropa. Anehnya, dalam persidangannya Eichmann mengaku merasa tidak bersalah atas apa tang dilakukannya. Pada kesehariannya, Eichmann merupakan perwira yang patuh dan tidak memiliki kesan sebagai pembantai. Performennya seperti halnya para tentara pada umumnya, dan tidak memiliki kesan sebagai orang yang kasar dan berangasan.

Figurasi Adolf Eichmann inilah yang mendorong Hannah Arendt untuk mewawancainya dan melahirkan buku berjudul Eichman in Jerusalem: A Report on The Banality of Evil yang terbit tahun 1963. Hannah Arendt punya hubungan baik dengan filsuf Jerman penganut eksistensialisme yaitu Martin Heiddeger, dan dia pernah belajar di Freiburg dalam asuhan Edmund Husserl. Melalui reportase dan analisis terhadap Adolf Eichmann inilah Hannah Arendt kemudian dikenal sebagai orang yang memiliki teori tentang banalitas kejahatan.

 

Banalitas Hujatan Media Sosial

KBBI mengartikan banalitas dengan makna dangkal, kasar, tidak elok, dan biasa. Banalitas kejahatan dalam versi Hannah Arendt adalah tampilnya kejahatan melalui figurasi yang biasa, dan jauh dari kesan kegaranganya. Bila kejahatan identik dengan syetan dengan aneka rupa seramnya, maka kejahatan yang mengalami banalisasi adalah kejahatan yang tampil tidak dari wajah menyeramkan. Bahkan bagi pelakunya sendiri, kejahatan dianggapnya sebagai hal biasa karena ada kebenaran lebih tinggi yang sedang diperjuangkannya.

Kembali pada persoalan pesan WA di atas. Secara tekstual pesan itu menyebut beberapa organisasi, pejabat, klaim bahwa pengirimnya adalah bagian dari masyarakat, dan tuduhan sekaligus ajakan untuk tidak lagi menjadikan orang yang bersorban sebagai panutan. Secara substansial adalah penggiringan opini pembaca untuk meninggalkan satu pilihan politik pada pilihan politik lainnya. Tapi anehnya, propaganda melalui WA ini dilakukan dengan cara memberikan tuduhan pada pihak dengan atribut tertentu dengan kalimat yang provokatif.

Meskipun mungkin pesan-pesan bernada seperti itu sudah banyak berseliweran, tapi tidak ada salahnya bila mencermatinya dari kacamata banalitas kejahatan versi Hannah Arendt. Paling tidak, banalitas kejahatan pelaku genosida dan holocaust di atas terjadi karena dua hal, yaitu ideologi dan kepentingan. Pertama, tuduhan, hujatan, dan provokasi seperti isi pesan WA itu terjadi karena penikmat media sosial membiarkan berbagai hujatan melintasi gadget mereka. Ketika tulisan, tampilan, gambar, videografis, berita, dan segala bentuk informasi yang menyuarakan kejahatan, tuduhan, hujatan, dan fitnah dibiarkan mewarnai tiap wajah media sosial dan menginjeksi nutrisi keburukan pada penggunanya. Maka lambat laun pengguna media sosial akan menganggapnya bahwa hal semacam itu adalah biasa, wajar, dan benar. Selanjutnya, pada periode berikutnya konsumen informasi yang berisi keburukan semacam ini akan –sangat potensial—menjadi produsen informasi keburukan bagi lainnya. Artinya, lingkungan cybernetik yang buruk membentuk pribadi yang buruk.

Kedua, tuduhan, hujatan, dan provokasi seperti isi pesan WA itu terjadi karena pelakunya merasa punya keyakinan, pemikiran, misi, atau agenda tertentu yang dianggapnya lebih benar daripada yang dihujat. Pada kasus Westerling dan Eichmann, ideologi kerajaan dan ras Arya menjadi alasan utama keduanya merasa tidak bersalah dalam pembantaian yang dilakukan. Jelas, alasannya keduanya adalah ideologi. Sedangkan pengirim pesan WA di atas –yang berani menuliskan atau menyebut NU—, apakah yang bersangkutan adalah warga, anggota, kader, atau pengurus NU, sehingga merasa benar dan pantas mencatut NU dalam provokasinya? Melihat isi pesannya, agaknya si pengirim bukanlah warga, anggota, kader, atau pengurus NU, karena di NU tidak pernah ada ajaran, pembelajaran, dan materi pengkaderan yang mengajarkan penulisan pesan seperti itu. Nah, jika memang bukan warga, anggota, atau pengurus NU, mengapa begitu berani mencatut NU? Apalagi mengarahkan pembaca pesannya untuk tidak harus menjadikan orang bersorban sebagai panutan, dan –menuduh orang-orang bersorban ini—sebagai orang yang menjadikan agama sebagai kedok untuk keserakahan pribadi.

Mungkin penulis asli pesan itu lupa bahwa tidak harus bukan berarti tidak boleh, dan bisa jadi dirinya juga punya keserakahan yang harus dijinakkannya daripada menghujat pihak lain. Mungkin penulis asli pesan itu lupa bahwa kebenaran tidak boleh dilakukan dengan cara yang tidak benar. Mungkin penulis asli pesan itu lupa bahwa amar ma’ruf nahi mungkar harus dilakukan dengan ma’ruf, bukan dengan cara mungkar. Mungkin penulis asli pesan itu lupa jika tiap kata, tiap tulisan, tiap perbuatan, dan bahkan tiap motif atau tujuan yang disembunyikan nanti akan dimintai pertanggung jawaban di hari kemudian. Mungkin bila penulis asli pesan itu membaca artikel ini bisa jadi ia akan murka, meskipun artikel ini ditulis dan dipublikasi setelah penulisnya mendoakan kebaikan pada pengirim pesan itu tanpa kebencian sedikitpun dan menganggapnya sebagai saudara.

Walhasil, di NU tidak ada ideologi dan ajaran hujatan. Tapi di satu sisi NU harus beradaptasi dengan kemajuan zaman, salah satunya perkembangan teknologi informasi dan media sosial. Maka memakmurkan akun-akun media sosial komunitas yang dimiliki NU –baik secara struktural maupun kultural di berbagai tingkatnya—dengan konten yang positif, produktif, solutif, dan menyejukkan dalam bingkai pemahaman ahlussunnah wal jamaah al-nahdliyah merupakan agenda yang tidak bisa ditawar dan harus didukung secara nyata oleh semua pihak. Tentu kita tidak ingin ada orang atau pihak-pihak yang dengan seenaknya mencatut nama NU dalam hujatannya, apalagi dengan agenda, misi, motif, tujuan, dan kepentingan yang berlawanan dengan tujuan NU didirikan. Tentu kita juga tidak perlu membenci orang atau pihak-pihak yang punya kesenangan dan hobi seperti itu, karena NU tidak mengajarkan warganya untuk benci kepada sesama umat manusia. Kita hanya mendoakan kebaikan pada orang atau pihak-pihak seperti itu, seraya mengajaknya untuk mengalihkan potensi, bakat, dan hasrat kepenulisannya di media sosial menjadi lebih positif, produktif, dan mencerahkan. Moga Allah subhanahu wa ta’ala menolong dan memudahkan kita semua sehingga omongan, tulisan, perbuatan, dan getar suara hati kita merupakan amal yang bernilai ibadah di sisi-Nya, aamiin. Wallahu a’lam bishshawab.