Mengupas Makna Halal Bihalal – MDS Rijalul Ansor Ranting Pagerwojo

Pagerwojo – PR GP Ansor Pagerwojo lewat lembaganya MDS Rijalul Ansor untuk pertama kalinya di bulan Syawal memulai lagi kajian Aswaja setelah libur satu bulan. Kajian Aswaja yang dibalut dengan nuansa Halal Bihalal diselenggarakan di Masjid Al Ihsan Desa Pagerwojo pada hari selasa, 23 April 2024.

Cuaca yang sedikit kurang mendukung karena diguyur hujan tidak menghalangin semangat para sahabat-sahabat Ansor, Rijalul Ansor, Banser, Tim Banjari, serta para warga Desa Pagerwojo untuk ikut menghadiri acara tersebut. Pra Acara di mulai dengan pembacaan shalawat dari adik-adik tim banjari Desa Pagerwojo, kemudian dilanjutkan pembacaan Istighosah bersama yang dipimpin oleh Ketua MDS Rijalul Ansor Ranting Pagerwojo Muhammad Assegaf Ba’alwi, M.Pd.

Acara MDS Rijalul Ansor yang bertajuk Halal Bihalal di ranting Pagerwojo ini menjadi kegiatan perdana selepas bulan Ramadhan se-ranting Buduran. Dihadiri pula Ketua PAC GP Ansor Buduran Mahrus Suyuti, S.Hum beserta jajaran dari pengurus harian.

Dalam kajian Aswaja yang diisi oleh Drs. KH. Syaiful Hadi, M.Pd.I mengupas tentang tradisi Halal Bihalal yang ada di negara Indonesia melalui sudut pandang Aswaja serta sejarah yang melatar belakanginya.

Istilah Halal Bihalal kalau dilihat dari segi tata bahasa Arab mungkin agak terdengar kurang tepat. Ternyata istilah tersebut dipopuerkan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah pada tahun 1948. Dimana saat itu sedang terjadi gejolak politik di Negara Indonesia. Presiden Soekarno yang kala itu menjadi pemimpin negeri meminta pendapat kepada KH. Abdul Wahab Chasbullah terkait situasi politik Indonesia yang tidak sehat saat itu. Kemudian KH. Abdul Wahab Chasbullah memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahim. Sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, di mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahim.

Lalu Bung Karno menjawab, “silaturahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain”. “Itu gampang,” kata Kiai Wahab. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah halal bihalal,” jelas Kiai Wahab Chasbullah.

Drs. KH. Syaiful Hadi, M.Pd.I memberi nasehat kepada para Jama’ah, “Agar sukses dalam menjalani Idul Fitri, Silaturahmi, dan Halal Bihalal hendaknya kita memakai ilmu salah”. Beberapa dari kita masih memiliki pola pikir yang keliru, setelah bersilaturahmi dan berjabatan tangan kita menganggap diri kita sudah bersih. Istilah populernya “antara kita sudah kosong-kosong (0-0)” atau “mulai dari nol” seperti halnya sambutan para petugas SPBU ketika hendak mengisi bahan bakar. Kemudian kalau sudah bersih dengan seenaknya membuat kesalahan lagi.

Orang yang memakai ilmu “salah” biasanya itu berkah, namun kalau tidak bisa mengelolahnya bisa timbul musibah. Maksud dari ilmu salah jika dianalogikan seperti ini, saya mengakui kesalahan pada si fulan yang bersalah akhirnya kami berdua saling instropeksi diri lalu saling memaafkan, ini yang dinamakan berkah. Namun kalau sebaliknya, jika kita tidak rendah hati mengakui kesalahan meskipun kita tahu diri ini benar adanya pada orang yang bersalah maka tidak akan ada kata maaf dari kedua belah pihak dan perselisihan akan terus berlanjut, ini yang disebut musibah.(zul)