ISHARI NU: RITUALISASI DAN SPIRITUALISASI

JATMAN,MATAN,WATHONAH,ISHARI NU,RODAT,DREK,HADI,MUHUD,TERBANGAN,SPIRITUAL,RITUAL

ISHARI NU: RITUALISASI DAN SPIRITUALISASI

Oleh: Chabib Musthofa

Wakil Katib Majelis Hadi PC ISHARI NU Sidoarjo; dan

Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran

 

Pada saat seseorang bershalawat, maka Allah ﷻ telah mencintai dan memuliakan orang itu dengan mengizinkan, serta memilihnya untuk bershalawat kepada kekasihNya yang mulia yaitu Baginda Nabi Muhammad ﷺ. Bila pun ada motif atau tujuan lain –duniawi maupun ukhrawi—dalam shalawatnya, Allah ﷻ dan Baginda Nabi Muhammad ﷺ yang berhak mengurus motif dan tujuannya. Menjadi pengurus organisasi shalawat seperti ISHARI NU berarti dipilih dan dimuliakan Allah ﷻ dengan melayani orang-orang yang bershalawat pada Nabi Muhammad ﷺ. Bahwa ketika menjadi pengurus ISHARI NU kemudian memiliki motif dan tujuan pribadi selain penguatan mahabbaturrasul ﷺ di organisasi peninggalan para aulia seperti ISHARI NU, maka Allah ﷻ Nabi Muhammad ﷺ yang berhak mengurus motif dan tujuannya.

 

Ahad, 12 Syawal 1445 H bertepatan 21 April 2024 M di masjid Al-Manshur Bohar diadakan pembacaan sholawat Nabi Muhammad ﷺ bil-hadrah sesuai amaliyah ISHARI NU sebagai salah satu rangkaian peringatan khaul Sayyid Hasan Madinah ke-35 dan Bersih Desa Bohar. Membacakan sholawat kepada Baginda Nabi Muhammad ﷺ dengan iringan hadrah dalam bentuk amaliyah ISHARI NU ini biasa disebut dengan terbangan. Sebutan itu sebagai penanda bahwa pembacaan sholawat tersebut disertai dengan tabuhan duf, rebana, atau dalam istilah Jawa disebut terbang.

Lebih 1000 orang jamaah yang hadir dan secara bergantian membawakan bacaan sholawat, mulai dari muhud ibtida’, bi syahri, tanaqqol, wulidal habib, shola ‘alaika, badat lana, mahallul qiyam, dan habibin wa takhtim. Tentu sebelumnya dimulai dengan tawassul dan diakhiri dengan doa sholawat seperti yang tertulis dalam maulid Syaroful Anam karya al-Syaikh al-Imam Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Qasim al-Maliki al-Bukhari al-Andalusi al-Hariri. Syaikh Nawawi al-Bantani menuliskan syarah dari maulid Syaroful Anam ini dengan judul Fathu al-Shomad al-‘Alimi ‘ala Maulid al-Syaikh Ahmad bin al-Qasimi. Jamaah ISHARI NU itu tidak hanya berasal dari wilayah kecamatan Taman dan Sidoarjo, tapi ada jamaah yang dari Surabaya, Gresik, dan Jombang.

Ketika melihat, mengikuti, mencermati interaksi sosial para jamaah ISHARI NU –minimal pada saat momentum terbangan di Bohar ini—tampak betul kekhasan relasi sosial mereka. Kekhasan relasi sosial itu tampak di dalam majelis hadrah ketika membacakan sholawat pada Baginda Nabi Muhammad ﷺ, dan pada saat di luar majelis hadrah ketika mereka sedang i’tikaf di serambi masjid, atau sekedar kongkow di warung-warung kopi setempat. Relasi sosial antara jamaah ISHARI NU ini menjadi mediasi terjadinya dua hal selama pelaksanakaan pembacaan hadrah, yaitu mediasi atau peristiwa ritual dan mediasi atas peristiwa spiritual.

 

Mediasi Ritual

Ketika muqossimu al-awqot menyampaikan pengumuman petugas hadrah satu sesi muhud yang terdiri dari sang pimpinan yang disebut Hadi, penabuh terbang sisi kanan-kiri, dan jamaah rodat, maka nama atau kelompok yang disebut menyiapkan diri sesuai instruksi tersebut, lalu menempatkan diri pada posisi yang telah ditentukan di dalam majelis. Sering terjadi antara hadi, penabuh terbang, dan jamaah rodat berasal dari daerah yang berbeda. Pada majelis hadrah muhud ibtida’ dan bi syahri di Bohar misalnya. Jamaah rodat dan penabuh terbang dari keseluruhan ISHARI NU Ancab Taman, sedang hadi ibtida’ adalah KH. Mahmud Sami’ al-Khushory dari Jombang dan hadi bi syahri adalah kyai Ghufron Muhammad dari Sepanjang. Pada muhud takhtim, hadi Gus Mu’in dari Madura, rodat dari Rungkut Surabaya, penabuh terbang sisi kanan dari PC ISHARI NU Sidoarjo dan penabuh terbang sisi kiri dari Gedangan.

Artinya, pada satu sesi pembacaan sholawat pada Baginda Nabi Muhammad ﷺ dilakukan oleh petugas yang gaya dan corak amaliyahnya berbeda. Perbedaan di sini tentu bukan dalam pemahaman yang vis a vis atau berlawanan, tapi hanya sekedar berbeda gaya atau cara dalam satu pakem kaidah amaliyah yang sama. Cara menabuh terbang, cara membawakan qosidah, cara drek dan rodat, cara pimpinan rodat –yang biasa disebut As—memimpin jamaahnya akan dimafhumi oleh jamaah yang ada dalam satu kelompoknya. Tapi bisa jadi dirasakan tidak biasa ketika ada jamaah kelompok lain yang meleburkan diri dalam satu kelompoknya. Bahkan kondisi ini lebih “seru” ketika terjadi peralihan tugas membacakan qosidah dari hadi ke rodat dan penabuh terbang, atau saat rodat mengiringi bacaan dengan drek. Tentu peluang “tidak pas” dalam beramaliyah terbuka lebar.

Nah, ketika adanya perbedaan dari praktek amaliyah ISHARI NU entah dalam memanjatkan syair-syair qosidah, menabuh terbang, drek, dan rodat atau “keseruan” menjalan tugas dalam majelis hadrah, para jamaah ISHARI NU yang berbeda kelompok itu seakan terkonstruksi untuk saling melengkapi dan menemukan keserasian dalam beramaliyah. Bahkan pada saat ada yang kurang tepat –dalam istilahnya disebut ketatil—mereka seakan digerakkan untuk kembali on the track. Pada momentum inilah jamaah ISHARI NU –seolah-olah—digerakkan untuk mencari keselarasan, ketepatan, dan keindahan dalam menjalankan amaliyah ISHARI NU. Artinya, skill amaliyah ISHARI NU dari hadi, penabuh terbang, dan rodat pada saat itu terkonstruksi untuk saling bersenyawa menemukan dan membentuk irama keserasiannya.

 

Mediasi Spiritual

Sholatun wa taslimun ‘ala khoiri man yu’la, Nabiyyun Karimun dzikruhu lam yazal yutla.” Begitulah qosidah awal yang dibawakan Kyai Ghufron Muhammad ketika memimpin muhud bi syahri yang kemudian diiringi dengan tabuhan terbang irama juz dan gerakan rodat yang melafadzkan nama Baginda Nabi Muhammad ﷺ pimpinan As Mas Feri dari Ngelom didampingi Gus Yusuf bin Ghufron Muhammad. Pada momen berikutnya sang hadi yang juga sebagai Rois Majelis Hadi PR ISHARI NU Sidoarjo ini membawakan qosidah yang sama tapi dalam irama lagu yang berbeda, dan disambut dengan drek berkode jempol dan disambung dengan gerakan rodat dengan iringan pukulan rebana irama yahum, tentu dengan adanya tashfiq di sela-sela momentum tersebut.

Hal semacam ini terjadi mulai muhud ibtida’ di awal sampai muhud takhtim dan doa di akhir. Bahwa tiap bacaan qosidah adalah madh dan doa, gerakan rodat, pukulan terbang, serta tepukan drek merupakan manifestasi dan simbolisasi doa dan zikir yang mengiringinya. Maka pada momentum pembacaan sholawat pada Baginda Nabi Muhammad ﷺ di majelis hadrah ISHARI NU terjadi konstruksi spiritualitas pada diri pengamalnya. Pembentukan spiritualitas ini bahkan terjadi pada ruang kesadaran diri jamaah dan melintasi dimensi kesadaran fisiknya dalam mempraktekkan amaliyah. Atau dapat juga dikatakan bahwa kesadaran spiritual pada diri jamaah ISHARI NU itu tumbuh dalam wadah pemahaman amaliyah ISHARI NU yang membutuhkan skill khusus. Skill dalam menjalankan amaliyah ISHARI NU itu sendiri tentu perlu dipelajari, dilatih, dan ditashih pada pihak yang berkualifikasi secara mu’tabar.

Kesadaran spiritual tersebut menjadi anugerah tersendiri bagi pengamal ISHARI NU. Betapa tidak, walaupun hadi, penabuh terbang, jamaah rodat berasal dari kelompok yang berbeda dengan kekhasan masing-masing, kesemuanya mendapat berkah untuk merasakan nikmatnya bershalawat walau gaya atau cara mereka beramaliyah berbeda. Artinya, perbedaan cara dan gaya dalam beramaliyah di ISHARI NU tidak menutup pintu mendapatkan nikmat pengalaman spiritual dalam bershalawat kepada Baginda Nabi Muhammad ﷺ. Lebih dari itu, tidak ada satupun jamaah di ISHARI NU yang menjadi “penonton” dalam momen pembacaan shalawat. Semuanya punya peran dan bagian masing-masing mendapatkan berkah Nabi Muhammad ﷺ. Tetap mengalami spiritualisasi walau berada atau bersama dengan grup hadrah yang berbeda, inilah salah satu kelebihan bershalawat di ISHARI NU. Dan itu terjadi justru ketika mereka berinteraksi di dalam majelis hadrah.

 

Status Terpilih dan Tercinta

Ritualisasi dan spiritualisasi di ISHARI NU termediasi melalui adanya relasi yang terjadi di antara jamaahnya, baik di dalam majelis pembacaan shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ maupun di luar majelis. Akan tetapi relasi antar jamaah ini bukan semata penentu terjadinya ritual dan pengalaman spiritual. Di samping karena masyrab ISHARI NU adalah shalawat dan madh pada Nabi Muhammad ﷺ, faktor amaliyah yang disandarkan pada para aulia dengan sanad yang sahih juga mempengaruhinya. Maka dari itu ketika ada pertanyaan tentang siapa mursyid ISHARI NU saat ISHARI NU berada di dalam Jam’iyyah Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyah (JATMAN), maka jawabannya adalah KH. Abdurrahim merupakan mursyid tunggal di ISHARI NU. Atas kedekatan masyrab inilah kiranya ke depan selalu ada pembacaan shalawat ISHARI NU di berbagai kegiatan JATMAN.

Pada saat seseorang bershalawat maka Allah ﷻ telah mencintai dan memuliakan orang itu dengan mengizinkan, serta memilihnya untuk bershalawat kepada kekasihNya yang mulia yaitu Baginda Nabi Muhammad ﷺ. Bila pun ada motif atau tujuan lain –duniawi maupun ukhrawi—dalam shalawatnya, Allah ﷻ dan Baginda Nabi Muhammad ﷺ yang berhak mengurus motif dan tujuannya. Menjadi pengurus organisasi shalawat seperti ISHARI NU berarti dipilih dan dimuliakan Allah ﷻ dengan melayani orang-orang yang bershalawat pada Nabi Muhammad ﷺ. Bahwa ketika menjadi pengurus ISHARI NU kemudian memiliki motif dan tujuan pribadi selain penguatan mahabbaturrasul ﷺ di organisasi peninggalan para aulia seperti ISHARI NU, maka Allah ﷻ Nabi Muhammad ﷺ yang berhak mengurus motif dan tujuannya. Sayangnya, status sebagai orang yang dipilih dan yang dicintai Allah ﷻ dan Baginda Nabi Muhammad ﷺ terkadang tak cukup disadari dan disyukuri, sampai mencari-cari pilihan dan kesenangan lain. Atau malah lebih ironis lagi tidak ngurusi amanah tersebut.

Sebagai santri dan penderek para ulama, hadi, kyai dan waliyullah, tentu itu bukan urusan kita. Sebab yang terpenting marilah kita perkuat ukhuwah al-ishariyah dengan hadir, mengamalkan, mempelajari skill ke-ISHARI-an, dan nguri-nguri berbagai majelis shalawat ISHARI NU sambil belajar memperkuat mahabbaturrasul ﷺ, dan tentu saling berbagi ilmu, skill ke-ISHARI-an, dan kopi walau satu seruputan. Moga Allah ﷻ senantiasa memilih dan memuliakan kita dengan gemar bershalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ. Aamiin. Wallahu a’lam bishshawab.