ISHARI NU: MISTERI DAN ANUGERAH ALLAH YANG MAHA KUASA

ishari nu,rodat,muhud,kyai,santri,Abdurrohim,mwcnu buduran,ibtida,mahallul qiyam

ISHARI NU: MISTERI DAN ANUGERAH ALLAH YANG MAHA KUASA

Oleh: Chabib Musthofa

Wakil Katib Majelis Hadi PC ISHARI NU Sidoarjo

Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran

“ISHARI NU adalah misteri dan anugerah Allah Subhanahu wa ta’ala bagi kita melalui para aulia.”

 

Kalimat di atas adalah salah satu statemen dari perwakilan PC ISHARI NU Sidoarjo ketika menghadiri Halal bi Halal PAC ISHARI NU dan PR ISHARI NU se-kecamatan Taman pada Rabu malam, 8 Syawal 1445 H bertepatan 18 April 2024 di salah satu kediaman ishariyyin “garis keras” di desa Jemundo. ISHARI NU sendiri telah masyhur merupakan organisasi yang posisi kelembagaannya di NU ditetapkan menjadi Badan Otonom (Banom) pada muktamar ke-33 di Jombang. Di NU, ISHARI pernah menjadi organisasi “istimewa” yang menjadi binaan, pernah berada dalam Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah (JATMAN) al-Nahdliyyah, pernah berada dalam Lembaga Seni Budaya NU, dan kini kembali menjadi Banom. ISHARI NU ditempatkan di JATMAN karena memiliki persamaan dengan tarekat, seperti cara duduk iftirosy dalam amaliyah, penggunaan istilah “Hadi” pada pimpinan amaliyah, dan similar dengan beberapa tarekat di antaranya Maulawiyah yang disandarkan pada Maulana Jalaluddin Rumi. ISHARI NU didirikan oleh KH. Abdurrahim bin Abdul Hadi dari Pasuruan sekitar tahun 1918, dan sampai kini mengalami berbagai dinamika yang terbukti tidak dapat memadamkan api mahabbah komunitas pecinta shalawat kepada Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam melalui seni hadrah ini.

 

Misteri ISHARI NU

Menurut KBBI, misteri dapat diartikan sebagai sesuatu yang masih belum jelas, maksudnya masih menjadi teka-teki dan belum terbuka rahasianya. Misteri juga bisa diartikan dengan kenyataan yang begitu luhur sehingga secara mendasar melampaui daya tangkap manusia. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk menyingkap tirai yang menutupinya, tapi tidak pernah mampu ditangkap atau dipahami secara keseluruhan, sehingga masih bersifat rahasia. Berangkat dengan arti ini, memang ISHARI NU masih menyisakan misteri.

Pertama, misteri tentang proses spiritual-kreatif KH. Abdurrahim bin KH. Abdul Hadi sebagai komposer ISHARI NU. Proses spiritual berdimensi batiniyah/rohaniyah, sedang proses kreasi berdimensi lahiriyah-jasmaniyah. Dua proses istimewa ini saling berkelindan dalam satu wadah agung, yaitu KH. Abdurrahim. Istilah komposer untuk menyebut beliau sebenarnya sangat tidak tepat karena istilah tersebut hanya berlaku pada pencipta musik. Sedangkan ISHARI NU tidak dapat sepenuhnya disebut sebagai karya musik, karena di dalamnya ada musik, lagu, dan gerakan yang terpadu dalam satu bentuk kesenian khas. Ada banyak beredar kisah tentang perjalanan KH. Abdurrahim dalam menciptakan ISHARI NU. Kisah tentang bagaimana beliau berguru pada al-Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih dan melakukan riyadloh di maqbarah al-Habib Alwi Assegaf Pasuruan. Berbagai kisah para tokoh awal ISHARI NU seperti KH. Sya’roni, KH. Mas Imam, KH. Muhammad bin KH. Abdurrahim, KH. Sami’ bin Abdurrahim, KH. Abdul Hamid, Mbah Ali Mas’ud, dan nama-nama lain sebagai generasi pejuang sekaligus peletak dasar ISHARI NU. Mendengarkan kisah beliau-beliau itu ibarat memandang keindahan berlian mutu manikam yang tak tergantikan, sehingga menjadi penggerak jiwa-jiwa pecinta ISHARI NU untuk selalu melestarikan kesenian relijius tersebut. Akan tetapi, sekali lagi proses spiritual-kreatif penciptaan ISHARI NU itu secara esensial tetap menjadi misteri yang sulit terdeskripsi apalagi dipahami, kecuali oleh mereka yang mencintai para waliyullah. Mungkin inilah salah satu kekeramatan ISHARI NU, dan tentu tokoh-tokoh pendirinya. Bahwa semakin menggali proses kreatif-spiritual tersebut justru akan semakin mengantarkan pemerhatinya pada pengetahuan serta rasa penasaran baru, dan pada saat yang sama juga seolah mendapat suntikan energi baru untuk semakin bersemangat ber-ISHARI.

Kedua, misteri tentang atsar spiritual-sosial ISHARI NU. Di era tahun 80-an dan 90-an petugas rodat masih saling berpegang siku dalam mengiringi pembacaan tiap muhud. Bila ada orang yang “belum mahir atau familier” menjadi rodat, lalu ikut untuk kali pertama dan menempatkan diri di tengah-tengah barisan rodat, maka bisa dipastikan tubuhnya akan terombang-ambing mengikuti tiap perpindahan gerakan. Secara manusiawi orang itu akan “tersiksa” oleh hentakan-hentakan gerakan rodat tersebut. Badannya pasti bersimbah peluh, pahanya dipastikan “njarem” sampai beberapa hari ke depan, dan sensasinya pasti akan menjadi monument dalam ingatannya. Tapi sampai tulisan ini disusun, tak satupun pernah didengar atau dijumpai ada orang yang mengalami kasus tersebut lalu jera ikut ISHARI NU. Justru yang terjadi adalah semakin bersemangat untuk ikut rodat pada waktu-waktu berikutnya, meskipun belum memiliki skill sebagai rodat. Bahkan, ishariyyin seperti biasanya malah sangat PD ajak-ajak orang lain yang dianggapnya belum mahir rodat untuk ikut ISHARI NU. Ini hanya satu atau sebagian kecil misteri atsar spiritual ISHARI NU. Terkait atsar sosial, tidak dapat dipungkiri lagi kekuatan soliditas, kekompakan, rasa kekeluargaan, dan ikatan sosial para ishariyyin. Sebagai anggota atau pengurus Banom NU dengan basis keahlian langka, para ishariyyin sudah tidak dapat terbantahkan lagi rasa ukhuwahnya. Bila di NU ada istilah ukhuwah al-nahdliyyah, mungkin di ISHARI NU ada ukhuwah al-ishariyyah. Bahwa perbedaan pendapat, gaya, kecenderungan, dan kelompok dalam ISHARI NU, itu hanyalah dinamika yang justru makin menguatkan ISHARI NU ke depannya. Sedemikian keras perbedaan yang ada, semua itu tetap dalam jalur meningkatkan bronto pada Kanjeng Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dengan amaliyah ISHARI NU. Bahkan, atsar spiritual-sosial ISHARI NU ini memberkahi diri para ishariyyin sehingga tak cukup tempat di hati mereka untuk membenci siapapun, termasuk membenci yang membenci –atau belum dapat menerima—ISHARI NU baik dari sisi amaliyah, jam’iyah, atau jamaah.

 

ISHARI NU Sebagai Anugerah

Bila anugerah kita maknai dengan nikmat, maka apa yang tidak menjadi nikmat di dalam ISHARI NU? Pertama, nikmat menjadi orang dan organisasi yang “dipilih” Allah subhanahu wa ta’ala sebagai pejuang mahabbah Rasulillah sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Apakah ada nikmat yang melebihi ini bagi tiap mukmin, muslim, dan muhsin yang mengharapkan ridla Allah subhanahu wa ta’ala dan ridla Baginda Muhammad sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam? Bahkan Sayyidina Bilal bin Rabah RA “memilih pensiun sebagai muadzdzin” dan rela meninggalkan Madinah al-Munawwarah dan pergi ke Syam karena tak kuat memendam duka setelah kemangkatan Baginda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Setelah bermimpi dijumpai Baginda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam lalu beliau langsung berkunjung ke Madinah al-Muwwarah, berziarah dan mengalami pingsan saat sowan Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Bahkan Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar bin Khattab tak mampu merayunya mengumandankan adzan, lalu beliau bersedia adzan setelah memeluk Sayyidina Hasan bin Ali dan Sayyidina Husein bin Ali radliyallahu ‘anhum. Tapi kemudian beliau tercekat dan pingsan saat mengumandangkan kalimat syahadaturrasul dalam adzan, sedangkan penduduk Madinah al-Munawwarah goncang mengalami duka mendalam karena kumandang adzan beliau mengingatkan para sahabat ketika masa nyantri lan nderekne Baginda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Bahkan Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib RA merindukan Baginda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam saat sakaratul mautnya. Walau syauq kita para ishariyyin tentu tidak selevel beliau para sahabat, tapi nikmat apalagi yang melebihi anugerah syauq ila Rasulillah sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam.

Kedua, nikmat “dipilih” Allah subhanahu wa ta’ala sebagai orang dan organisasi dengan amaliyah shalawat kepada Baginda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, dengan segala sifat khususiyah shalawat bil-ishari. Hanya shalawat yang bahkan Allah subhanahu wa ta’ala sendiri memerintah sekaligus melakukan apa yang diperintahkanNya pada orang-orang beriman, sedang ibadah lain Allah subhanahu wa ta’ala cukup memberi perintah tanpa melakukan apa yang diperintahkanNya. Para malaikat pun bershalawat pada Baginda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Maka hanya orang-orang pilihan yang digariskan Allah subhanahu wa ta’ala menjadi pelaku shalawat.

Nikmat ber-ISHARI NU dalam bentuk terpilih ketetesan bronto marang Kanjeng Nabi sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam merupakan nikmat ruhaniyah, lelah badan –dan tentu waktu serta materi—dalam beramaliyah dan berkhidmah di ISHARI NU merupakan nikmat jasmaniyah. Apalagi yang kurang dari dua kenikmatan ini di ISHARI NU? Meskipun di tulisan ini belum disinggung tentang keberkahan ISHARI NU di bidang ekonomi, budaya, dan mungkin politik, tapi cukuplah dua nikmat yang sangat esensial tersebut menjadi penambah rasa syukur kita ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala dan Baginda Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Syukur di sini adalah dengan ekspresi yang sesuai dengan definisi “fi’lun yunbi-u ‘an ta’dzimi al-Mun’im” [perbuatan yang mengagungkan Allah al-Mun’im]. Artinya, bersyukur atas kenikmatan ISHARI NU adalah dengan memaksimalkan upaya perbaikan diri seraya menjalankan fungsi dan peran ke-jam’iyah-an sekaligus ke-jama’ah-an di ISHARI NU secara proporsional.

Teringat kitab tulisan tangan berjudul al-Ni’matu al-Kubro ‘ala al-‘Alamin fi Maulidi al-Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam yang disusun KH. Masykur bin KH. Muhammad bin KH. Abdurrahim. Kitab yang diijazah-hadiahkan KH. Ghufron bin Muhammad pada kami ini menuliskan berbagai faedah bershalawat pada Baginda Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dan juga uraian tentang hukum bershalawat dengan memukul rebana, hukum rodat, dan tashfiq ketika ber-ISHARI NU. Kitab ini sebenarnya “jawaban” dari berbagai pertanyaan tentang amaliyah ISHARI NU. Tabarrukan dengan kitab itu dan seluruh waliyullah wal ‘ulama yang tersebut maupun yang tak tersebut, moga Allah subhanahu wa ta’ala berkenan melanggengkan nikmat mahabbaturrasul sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, syauq li Rasulillah sholallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, ‘amaliyah ma’a al-khidmah bil-ISHARI NU ini langgeng pada diri kita semua beserta para generasi mendatang, al-Fatihah. Wallahu a’lam bishshawab.