MINUM KOPI: TRADISI PARA WALI, KYAI, DAN SANTRI
Oleh: Chabib Musthofa
Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran
Ya qohwata tadzhabu hummal fataa – anta li hawiya al-‘ilma ni’ma al-murod
Syarobu ahlillahi fihi al-syifaa – li tholi al-hikmata baina al-‘ibaad
Harromahallahu ‘ala jahilin – yaqulu bihurmatiha bi al-‘inaad
Kopi adalah penghilang kesusahan seorang pemuda – senikmat-nikmatnya keinginan bagi engkau yang sedang mencari ilmu
Kopi adalah minuman para ahlullah di dalamnya ada obat kesembuhan – bagi pencari hikmah di antara manusia
Kopi diharamkan bagi orang bodoh – yang mengatakan keharamannya dengan keras kepala
Di atas adalah petikan syair dalam Tarikh Ibnu Thoyyib yang mendeskripsikan kopi sebagai minuman spiritual bagi orang-orang yang mengais keridlaan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam samudera ilmu dan hikmah. Syair itu juga menyindir orang-orang yang mengklaim keharaman minum kopi karena dianggap dapat membawa dampak layaknya khomr, walau perbedaan akibat mengkonsumsi keduanya justru sangat berbeda. Khomr menyebabkan zawalu al-‘aql (hilangnya kesadaran akal sehat), sedang kopi justru membantu peminumnya mendapatkan kekuatan mempertahankan kesehatan akal.
Kopi tak luput dari kehidupan para ulama, baik dari sisi perbedaan pendapan ulama tentang status hukum mengkonsumsinya, kebiasaan hidup ulama dalam mengkonsumsi kopi, atau risalah para ulama tentang kopi kaitannya dengan persoalan sosial budaya yang sedang terjadi saat itu. Di antara para ulama besar yang menyatakan kebolehan meminum kopi adalah Syaikh Zakaria al-Anshori, Syaikh Zarruq al-Maliki al-Maghribi, Syaikh Abu Bakar bin Salim, Syaikh Abdullah bin Alawi al-Haddad, dan banyak lagi yang lain sebagaimana dikutip oleh Syaikh Abdul Qodir bin Muhammad al-Jaziry dalam Umdatu al-Shofwah fi Hukmi al-Qohwah.
Dikabarkan bahwa Syaikh Ali bin Umar al-Yamani al-Syadzili, ulama dari Yaman dan merupakat pengikut tarekat Syadziliyah pernah menggubah syair tentang kopi. Bahkan, dalam syairnya ia menuliskan arti secara semantic-spiritual dari tiap hurup yang menyusun kata kopi (qohwah, Arab). Huruf qof dari kata qohwah adalah quut yang berarti makanan pokok, huruf ha adalah huda yang berarti petunjuk, huruf wawu adalah wuud yang berarti cinta, dan huruf ha terakhir adalah hiyaam yang berarti pengusir kantuk. Tentu Syaikh Ali bin Umar al-Yamani al-Syadzili di sini bukanlah tokoh yang sama dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, karena tokoh pertama merupakan pengikut Syadziliyah, sedangkan tokoh kedua adalah pendiri tarekat Syadziliyah itu sendiri. Kedekatan figur Imam Syadzili dengan kopi ini sampai memunculkan slogan “tiap sufi itu minum kopi, tapi jangan lupakan Imam Syadzili”.
Walaupun begitu, negeri Yaman memang dikenal masyarakatnya hobi mengkonsumsi kopi di segala ritual dan medan tradisi yang terselenggarakan. Bahkan, di negeri ini juga ada klaim tentang orang yang kali pertama menjadikan kopi sebagai washilah para salikin mengarungi perjalanan ila hadlrotillah. Masyhur di Yaman bahwa Syaikh Abu Bakar bin Salim adalah orang yang kali pertama diyakini menemukan dan menggunakan kopi sebagai minuman, terutama dalam berbagai ritual keagamaan seperti ta’lim, riyadloh, rouhah, jalsah, dan sebagainya. Berbeda dengan itu, Imam Najmuddin al-Ghazi dalam al-Kawakib al-Sairah bi A’yan al-Mi’ah al-‘Asyirah mengatakan bahwa orang yang kali pertama menjadikan kopi sebagai minuman yang berkhasiat baik kesehatan tubuh terutama dalam menemani sahrullayal munajat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Syaikh Abi Bakar bin Abdullah al-Idrus. Meskipun berbeda, tapi dua pendapat ini membenarkan bahwa masyarakat Yaman adalah penghobi kopi. Keberadaan minuman yang disebut qishr misalnya, merupakan bukti kebudayaan bahwa di negeri ini kopi sudah menjadi kebiasaan. Qishr sendiri adalah minuman yang terbuat dari kulit kopi dengan campuran jahe dan kayu manis.
Selain itu, ada ulama yang khusus menulis tentang kopi sebagai judul khusus. Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Syarh al-Ubab. Syaikh Abdurrahman bin Muhammad al-Idrus dalam Risalah al-Inusi al-Shafwah bi Anfusi al-Qohwah menuliskan tentang hukum kopi dan faidah meminumnya. Syaikh Abdul Qodir bin Syaikh juga menjelaskan hal yang sama dalam Shofwah al-Shofwah bi Bayani Hukmi al-Qohwah. Bahkan, Syaikh Ihsam Jampes sendiri juga punya risalah khusus tentang kopi dan rokok yang berjudul Irsyad al-Ikhwan fi Syurbi al-Qohwah wa al-Dukhon.
Bahkan, dikabarkan bahwa tokoh kita yang terakhir ini sengaja menulis risalah tersebut sebagai jawaban atas kritikan yang selalu menuju kepada dirinya karena suka minum kopi –atau lebih tepatnya ngopi di warung—dan merokok. Sebuah perilaku yang dianggap tak pantas karena tidak menjaga marwah ulama. Kritikan tersebut dijawab oleh Syaikh Ihsam Jampes dengan menggubah ulasan tentang berbagai hukum minum kopi dan merokok dalam bentuk qosidah. Syair atau qosidah tentang kopi, banyak kita temukan dalam catatan para ulama.
Bahkan dikenal berbagai tata cara meminum kopi baik dari bacaan tawassulnya, wirid dan doa yang dibaca, tergantung dari ijazah dan sanad yang diterima. Misalnya dalam Musalsalat al-Ijazat wa Shalawat ‘ala Shahibi al-Mu’jizat diterangkan tata cara wirid sebelum meminum kopi yang tentunya didahului dengan bacaan basmalah. Dianjurkan bagi peminum kopi untuk membaca Ya Qowiyyu sebanyak 116 kali. Lafadz dan jumlah 116 tersebut disandarkan pada kesesuaian jumlah Hisab Jumal dari kata Qowiyyu dan Qohwah yang berjumlah 116. Ada juga yang dianjurkan untuk membaca Ya Qowiyyu Ya Mattin sebanyak 100 kali. Ada juga yang bertawassul sesuai dengan tartib dari Syaikh Ahmad bin Ahmad al-Muhdlar sebelum meminum kopi.
Berangkat dengan segala catatan para ulama tersebut, kopi merupakan hasil kebudayaan manusia yang boleh dinikmati oleh siapapun. Menikmati secangkir kopi di warung kopi tidak mensyaratkan harus dengan orang yang satu keluarga, satu RT/RW/Kelurahan, satu etnis atau satu suku-bangsa. Bahkan untuk sekedar ngopi di sebuah warung kopi, kita mungkin tidak perlu menanyakan agama pemilik warung atau keyakinan kolega ngopi yang duduk di sebelah. Syaratnya hanya dengan memiliki alat bayar yang cukup sesuai selera, selesai sudah persyaratan.
Bagi mereka yang sedang merasa beruntung, mereka ngopi dengan wajah sumeringah dan terbahak-bahak seolah-olah telah menundukkan dunia. Bagi mereka yang sedang dirundung nestapa, mereka ngopi dengan wajah berbalut mendung duka yang tak bisa ditutupi dengan sesekali tersenyum sekedar mengimbangi perkembangan situasi sekelilingnya. Bagi mereka yang hobi bersahabat, ngopi menjadi perekat. Bagi mereka yang hobi menyendiri, ngopi menjadi pintu memasuki dunianya tersendiri yang penuh misteri. Biasanya orang semacam ini ketika ngopi suka mojok atau menyendiri dan terkadang tertawa atau mengumpat-ngumpat sendiri sambil menatap langit dengan pandangan yang tidak memiliki orientasi. Bagi mereka yang telah merasakan kenikmatan dan diuntungkan oleh kapitalisme global dalam segala bentuknya, ngopi-nya di tempat elit dengan harga selangit. Bagi mereka yang menjadi pengisi strata ekonomi menengah ke bawah, cukup warung kopi pojok kampung yang menjadi andalan di tiap keadaan. Bukan karena enak atau istimewa, tapi tentunya ngopi di warung tersebut bisa berhutang. Di tempat ngopi merakyat semacam inilah kaprah kita jumpai tulisan atau ungkapan sederhana tapi sarat makna. “Nyeruput kopi, meripat mbrebes mili” [minum kopi, mata berkaca-kaca keluar air mata], misalnya. Mungkin tulisan itu menambah kesedihan bagi penggubahnya, tapi malah menjadi inspirasi kebaikan bagi yang lain. Atau bahkan sebaliknya. Tentu ini tak lepas dari berkah kopi dan ngopi.
Tapi apapun itu, di tengah banyak peradaban bangsa yang melibatkan kopi dalam literatur sosial kehidupannya, satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa kopi sangat dekat dengan tradisi kehidupan para sufi dan santri. Tapi tentu ada perbedaan mendasar ketika orang baik dan orang jahat ngopi. Ketika seorang penjahat minum kopi, maka dampak kuat begadang akan digunakan sebagai resources kejahatan. Tapi ketika kyai atau santri nyeruput kopi, maka sebelum, pada saat, dan setelah seruputan itu berlangsung, yang terjadi adalah peribadatan menuju Ilahi. Karena kopi adalah minuman para wali, ulama, kyai, dan santri, mari kita seruput kopi kita masing-masing. Bismillaahirrohmaanirrohiim, sruuup. Wallahu a’lam bishshawab.
A’wan MWC NU Buduran | Tukang Sapu Langgar
Mahabbah gak kenal wayah