Ramadan: Pesantren atau Masjid?

Mengaji dan Belajar di Pesantren Ramadan

Dengan segala kebodohan dan kekurangan, saya lebih mengutamakan Ramadan sebagai Bulan Belajar daripada Bulan Ibadah. Banyak di antara para ulama’ yang memperlakukan Ramadan sebagai bulan ibadah, sehingga meninggalkan kesibukan apa pun untuk beribadah karena mengikuti Gusti Rasul yang melaksanakan beberapa ibadah khusus di bulan Ramadan yang tidak dilaksanakan di lain bulan Ramadan. Ada pula yang memperlakukan Ramadan sebagai bulan Alquran, sehingga meninggalkan kesibukan apa pun termasuk ibadah lain hanya untuk Alquran juga karena mengikuti Gusti Rasul yang setiap malam di bulan Ramadan belajar Alquran.

Untuk golongan kedua ini, mudah saja bagi mereka untuk mendapatkan ilmu-ilmu baru dan peringatan hanya dengan mengulang-ulang lantunan Alquran. Sedangkan bagi fakir ilmu dan miskin adab ini, demi mencapai bulan Ramadan sebagai bulan ibadah, harus memahami Alquran terlebih dahulu. Dan untuk memahami Alquran dengan sastra yang maha tinggi dan makna yang maha dalam, dibutuhkan tetesan ilmu yang mengucur dari para ulama’ yang telah menyelami samudera Alquran.

Pesantren Ramadan

Ayat yang menjelaskan kewajiban berpuasa didahului oleh ayat yang menjelaskan kewajiban qisas (kisas), kemudian diikuti dengan ayat washiyah (wasiat), dan dilanjutkan dengan ayat shiyam (puasa). Semuanya diawali dengan redaksi yang sama, kutiba ‘alaikum. Menurut Muhyiddin Ibn ‘Arabi, puasa merupakan salah satu undang-undang yang diberlakukan untuk mengatasi sergapan kekuatan bahimiyah dan dominasinya. Jika kisas menurut ahl haqiqah adalah fana’ kepada-Nya, wasiat adalah melestarikan perjanjian di zaman azali untuk meninggalkan apa pun selain Al Haqq, sedangkan puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang tidak benar karena Yang Maha Benar.

Bulan Ramadan menurut Ibnu Arabi adalah momen untuk membakar nafsu dengan cahaya Al Haqq. Di bulan itu pula diturunkannya ilmu global sebagai petunjuk bagi manusia, dan juga ilmu yang terperinci sebagai pembeda. Sedangkan cahaya Al Haqq adalah Alquran itu sendiri, yakni dengan cara mengamalkan perintah dan menjauhi larangan yang ada di dalamnya. Membakar nafsu dalam arti mengatasi sergapan dan dominasi bahimiyah, serta melatih untuk mengalahkan dan menundukkan dengan cara menguasai sumber kekuatannya dan memaksanya untuk menerima hal-hal yang dibenci olehnya. Sehingga tidak salah jika para ulama ada yang menyebut bulan Ramadan sebagai Madrasah Ramadhaniyah, Pesantren Ramadan, pesantren yang bersifat pendidikan dan pelatihan, dengan nafsu sebagai santri. Siapa pengasuhnya?

Pengasuh Pesantren

Puasa,Ramadhan,Ramadan,Ramadlan,Romadhon,Romadlon,Romadon,perang besar,perang kecil,jihad al nafs,jihad,mujahadah,nafs,makna,hakikat,hakekat,MWC,PRNU,PCNU,PWNU,Dukuhtengah,Wadungasih,Buduran,Sidoarjo,Jawa Timur,Pesantren,Pondok,Akbar,Asghar,LBM,Lembaga,Badan,Otonom,Banom,Bahtsul Masail,IPNU,IPPNU,Pelajar,Santri,Siswa,Murid,Kiai,Guru,Pembimbing,Spiritual,Mursyid,Tarekat,Thariqah,Thoriqoh,Syadzily,Syadziliyah,Ghazali,Ghozali,Hikam,Al Hikam,Sakandari,Naqsyabandi,Naqsyabandiyah,Puasa dapat melatih,Latihan Puasa,Puasa melatih,Masjid

Ilustrasi Bimbingan Kiai Image by wirestock on Freepik

Masyhur kisah bahwa para sahabat memohon izin Gusti Rasul untuk berperang atau turut serta dalam peperangan. Ketika Gusti Rasul menolak, perang tidak akan terjadi, dan jika terjadi peperangan, para sahabat yang tidak diperkenankan untuk terjun ke medan, melakukan instruksi yang diberikan Gusti Rasul seperti merawat ibu atau keluarganya, mengaji, atau memimpin Madinah untuk sementara waktu. Masyhur pula sabda Gusti Rasul sepulangnya dari Perang Badar Al Kubra, bahwa kita baru saja pulang dari perang kecil menuju perang besar, yakni puasa (jihad al nafs). Telah dibahas pula oleh A’wan MWC NU Buduran, Dr. H. Chabib Musthofa, dalam tulisan beliau.

Jika saja perang kecil membutuhkan izin dan petunjuk Gusti Rasul sebagai Kiai para sahabat, lalu bagaimana dengan perang besar? Tentu izin dan petunjuk Gusti Rasul adalah urgen. Dan segala petunjuk Gusti Rasul telah terekam dengan baik sebagai pusaka dan diwariskan secara turun temurun kepada ahli warisnya, para ulama’, yang senantiasa membangkitkan kita ahwal-nya, dan senantiasa menunjukkan kepada Allah maqal-nya.

Pesantren atau Masjid?

Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan saya pribadi:

Pertama, karena minimnya cahaya (ilmu) sehingga merasa kesulitan untuk melihat al shirat al mustaqim, tentu keharusan bagi fakir ilmu ini untuk selalu menambah terangnya bashirah dengan ilmu dan di saat yang sama, harus tetap menapaki jalan dan membutuhkan uluran tangan dan menapaki jalan Sang Kiai, shirat al ladzina an’amta alaihim.

Kedua, masih minim ilmu untuk membedakan yang haqq dan yang bathil. Sehingga sering kali dibodohi nafsu agar tidak melakukan sesuatu yang tampaknya buruk hanya karena nafsu membencinya. Juga sering melakukan hal yang tampaknya baik hanya karena nafsu berhasil menipu dan mengatakan bahwa itu adalah hal baik. Dan berkedok perintah dan larangan agama, nafsu selalu berhasil menjebak orang-orang bodoh.

Ketiga, masih terlalu bodoh untuk mengetahui kebutuhan dan kekurangan sendiri, sehingga saya tidak dapat melanjutkan yang ketiga. Padahal hanya orang yang beribadah di bulan Ramadan dengan keimanan dan melakukan introspeksi dirilah yang diampuni dosa-dosa yang telah dia perbuat. Karena itulah daripada beribadah di Masjid Ramadan, saya lebih memilih untuk belajar di Pesantren Ramadan. Agar terus dapat memperbaiki diri sehingga dapat berjalan di jalan-Nya, berpegang teguh pada tali-Nya, masuk ke dalam istana-Nya, dan bersujud di hadapan-Nya sesuai dengan aturan dan ketetapan-Nya. Tapi diri ini terlalu lemah untuk melawan nafsu dan menapaki jalan lurus para ulama’ yang terjal bagi nafsu ini. Sehingga pertolongan Allah-lah satu-satunya harapan.

Akhir

Sebenarnya saya pun ingin dan iri kepada mereka yang mengisi Ramadan dengan melakukan kontak intens dengan Sang Kekasih. Terutama para ulama itu, mereka bebas beribadah dan beramal dengan segala ilmu yang mereka miliki. Karena memang beramal itu penting, terutama di bulan Ramadan Ini.

Tapi dasar dari segala amal adalah ilmu. Dan memang ilmu tanpa amal seperti sayap yang tak dikepakkan, tapi beramal tanpa ilmu seperti mengepakkan sayap tanpa memilikinya. Entah bagaimana praktiknya.

Semoga Allah menerima puasa dan ibadah saya yang penuh kekurangan ini, juga puasa dan ibadah Anda semua. Semoga Allah mengampuni dosa saya dan Anda semua. Semoga Allah senantiasa mengirimkan ilmu, hidayah, pengajar, dan penuntun kepada saya dan Anda semua. Semoga Allah melindungi kita dari kejahatan diri kita sendiri dan segala kejahatan. Semoga Allah melindungi kita dari ilmu yang tidak bermanfaat. Dan semoga Allah mengizinkan dan mengundang kita dalam kondisi ridha dan diridhai untuk masuk ke dalam istana-Nya dan bersujud di kaki singgasana-Nya.

Moh. Faiz Ridlo Maulana
Sekretaris MWC LBM NU Buduran