Oleh: Chabib Musthofa*
“Sebuah pohon akan kuat, sehat tinggi menjulang, dan mampu menghadapi terpaan badai bila akarnya tertanam dan menancap kuat di dalam tanah”
Salah satu kegiatan dari rangkaian peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 2023 yang diselenggarakan oleh MWCNU Buduran adalah Napak Tilas ulama Buduran. Agenda ini telah dilaksanakan pada Ahad (22/10/2023) setelah pelaksanaan Apel HSN 2023 di depan kantor MWCNU Buduran dengan peserta sebanyak kurang lebih 300 orang. Napak Tilas ulama Buduran itu sendiri dilakukan dengan sedikit konvoi yang diikuti aktifis dan warga nahdliyyin di lingkungan Buduran. Ada empat titik tujuan dalam Napak Tilas itu, komplek makam Mbah Sholeh di desa Prasung, makam dan pesantren al-Hamdaniyah di desa Siwalanpanji, makam Aulia Sono, dan makam Mbah Ali Mas’ud di desa Pagerwojo.
Selama mengikuti, merasakan, dan mengamati agenda ini, ada beberapa kejadian “seru-seru sedap” yang saya temui atau minimal alami secara personal. Semenjak berangkat dan nderekne sowan ke tujuan pertama yaitu Mbah Sholeh Prasung serta menyimak dawuh-dawuh KH. Sirojuddin, suasana spiritual semakin terasa kuat. Kiranya ada beberapa di antaranya yang boleh diungkap walau dengan syarat adanya perintah atau paksaan dari orang yang berwenang memerintah atau memaksa saya. Sedangkan ada yang memang tidak boleh diungkap dan biarlah itu menjadi misteri perbendaharaan dunia astral nun jauh-dekat di sekitar kita.
Salah satu pengalaman seru itu adalah ketika mendengar pertanyaan “apakah ziarah kubur itu menyehatkan?” Pertanyaan ini keluar dari mulut seorang remaja pada temannya dengan nada biasa dan tak tampak rona keseriusan di wajahnya. Koleganya yang mendengar pertanyaan itu terkesan juga tidak menempatkan pertanyaan itu sebagai hal yang aneh. Ia hanya menjawab spontan dengan cengengesan, “ya mesti saja, lha itu yang di kuburan tidak perlu ke dokter”. Tidak jelas dua remaja itu namanya siapa dan berasal dari mana dan mewakili organ apa. Bahkan seakan ditelan bumi, dua remaja itu tidak saya temui kembali sampai Napak Tilas itu dinyatakan usai setelah ziarah ke Mbah Ali Mas’ud. Ketika nderekne Gus A. Hasan Fahmi, Gus H.M. As’ad Nahdly, dan Abah Ach. Zaini sekedar untuk ngopi di sebelah masjid Mbah Ali Mas’ud, sebenarnya diam-diam saya berharap bisa menjumpai dua remaja itu untuk sekedar urun mencari jawaban atau sebatas ngajak keduanya minum segelas es tes jumbo.
Etika Ziarah Kubur
Tulisan ini bukan bertujuan mengulas siapa dua pemuda tersebut, namun hanya sedikit membuka kembali bagaimana seorang muslim menempatkan dirinya secara etis ketika berziarah kubur. Ini penting sebatas mengulangi apa yang mungkin sudah kaprah kita lakukan. Paling tidak, ulasan sedikit tentang etika ziarah kubur dapat menjadi penguat dari apa yang sudah kita ketahui.
Dinukil dari kitab tafsir berjudul Tafsir Sirajul Munir karya Syaikh Ahmad Khotib al-Syirbini bahwa ziarah kubur memiliki aturan. Mengutip-terjemah dawuh beliau:
“Hendaknya bagi orang yang berziarah kubur untuk berperilaku sesuai dengan adab-adab ziarah kubur dan menghadirkan hatinya pada saat mendatangi kuburan. Tujuannya datang ke kuburan bukan hanya sebatas berkeliling saja, sebab perilaku ini adalah perilaku binatang. Tetapi tujuan ziarahnya karena untuk menggapai ridha Allah SWT, memperbaiki keburukan hatinya, memberikan kemanfaatan pada mayit dengan membacakan di sisinya Al-Qur’an dan doa-doa. Dan juga ia menjauhi duduk di atas kuburan. Ketika telah masuk di area sekitar kuburan ia mengucapkan salam –bacaannya—Assalamu ‘alaika dara qaumi mu’minin, wa inna insya Allahu bikum lahiqun (semoga kesalamatan tertuju pada engkau wahai rumah perkumpulan orang-orang mukmin, sesungguhnya kami, jika Allah menghendaki akan menyusul kalian.”
Selain itu, dalam kitab Nihayat al-Zain fi Irsyadi al-Mubtadi-in susunan Abil Mu’thi Muhammad bin Umar yang mashyur dikenal sebagai Syaikh Nawawi al-Bantani juga dijelaskan tentang adab ziarah kubur. Kitab ini sendiri merupakan syarah dari kitab Qurrotu al-‘Ain bi Muhimmati al-Diin karya Imam Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin al-Malibari. Pada halaman 159 yang berada pada pasal tentang al-Janaiz dalam kitab Nihayat al-Zain tersebut Syaikh Nawawi menjelaskan bahwa seorang peziarah hendaknya menjaga adab perilakunya, mengucapkan salam pada ahli kubur, sebaiknya mengucapkan salam dengan menyebut nama almarhum, tidak duduk di atas kuburan, meletakkan daun berwarna hijau di atas pekuburan, dan mendoakan ahli kubur.
Dua nukilan atau sarian dari ulama asli Nusantara tersebut cukuplah menjadi bekal kita ketika berziarah kubur. Bahkan, kehadiran hati saat berziarah kubur menjadi hal pertama yang ditekankan Syaikh Ahmad Khotib al-Syirbini. Ini mirip dengan salah satu bagian yang diungkap oleh Syaikh Abdurrahman al-Diba-i dalam kitab maulidnya, “ahdliruu qulubakum ya ma’syaro dzawil albaab. Hatta ajluwa lakum aro-isa ma’aniy ajallil ahbaab.” Maka, ada dua poin yang dapat kita ambil sebagai bahan pembenahan, bahwa ziarah kubur itu harus diiringi dengan akhlak lahir maupun akhlak batin, tidak bisa keduanya ditanggalkan saat berziarah atau sowan ziarah kubur, terutama pada mereka yang memiliki derajat istimewa di sisi Allah SWT.
Ziarah Kubur Sangat Menyehatkan
Apakah ziarah kubur menyehatkan? Tentu saja. Ziarah kubur sangat menyehatkan, terutama bagi mereka yang mementingkan perbaikan diri daripada sibuk menyiapkan segala gaya dan akting dalam berbagai panggung kemanusiaan yang ramai dengan hiruk-pikuk pujian dan cacian. Argumentasi –saya– bahwa “ziarah kubur menyehatkan” ini tidak memiliki dasar ilmiah, hanya bersandar pada fakta yang mungkin Anda sangkal, walaupun mungkin juga mengakuinya.
Pertama, paling tidak para ahli kubur tidak lagi memberikan bisikan-bisikan pada peziarahnya dengan arahan yang penuh kalkulasi, kepentingan, apalagi pencapaian politik. Ahli kubur juga tidak memberi “titipan” pada peziarahnya dengan seabrek PR kehidupan seperti karir, jabatan, pencapaian sosial, kekuasaan, kekayaan, dan sebagainya. Karena memang ahli kubur sudah tidak lagi membutuhkan itu semua. Bahkan sebaliknya, yang umumnya terjadi para peziarah itulah yang membawa segudang problem dan ingin dilimpahkan semua pada ahli kubur, seolah-olah ahli kubur itu perubah segala sesuatu dan pemberi yang selalu menuruti pinta peziarahnya.
Kedua, ziarah kubur sangat menyehatkan karena para ahli kubur merupakan cermin bening yang pada mereka semua, cukuplah semua nasehat bagi kita semua. “Kafaa bi al-mauti waa’idho” (cukuplah dengan kematian sebagai nasihat, HR. Baihaqi) Ada berapa banyak penguasa dunia yang saat hidupnya seolah-olah akan berkuasa selamanya dengan mengijak kepala dan menghisap darah si miskin, kini mereka ada di dalam tanah berteman dengan serangga tanah, tidak jauh beda dengan si miskin yang dulu mereka hinakan. Nasehat apa lagi yang lebih dahsyat dari itu bagi kecongkakan kita semua sehingga sampai kita baca tulisan ini pun, langkah kaki kita terkadang masih jumawa dengan dada dan wajah yang pongah tengadah.
Ketiga, ziarah kubur sangat menyehatkan sebab di saat itulah kita bisa melakukan hibernasi atas kondisi diri kita sendiri (internal) dan situasi yang mengelilingi kita (eksternal). Dunia internal dan eksternal dalam kesadaran diri saling berdialog –untuk tidak menggunakan istilah yang lebih sarkastik seperti silih-ukil—sehingga terkadang kerap membuat stabilitas mental seseorang terganggu. Bisa jadi masing-masing kita memiliki problem, baik pada dimensi internal maupun eksternal, bukan karena keduanya yang bermasalah, namun lebih karena kitanya yang hobi menemukan masalah dari keduanya. Maka resep jitunya, berziarahlah pada mereka para kekasih Allah SWT.
Lalu siapa sebenarnya dua pemuda yang mengisi kisah pada bagian permulaan tulisan ini? Kiranya cukuplah pengetahuan atas keduanya sebatas apa yang bisa diketahui, karena memang pada batas itulah keberadaan keduanya terketahui. Di bagian akhir, bila boleh mengumpamakan hidup itu ibarat tumbuhan. Maka sebuah pohon akan kuat, sehat tinggi menjulang, dan mampu menghadapi terpaan badai bila akarnya tertanam dan menancap kuat di dalam tanah. Wallahu a’lam bi shawab.
*Penulis adalah A’wan MWCNU Buduran dan juga Ketua PR ISHARI NU Banjarkemantren
A’wan MWC NU Buduran | Tukang Sapu Langgar
Mahabbah gak kenal wayah