Sidomulyo – Setelah memugar Makam Mbah Singojoyo yang berada di Komplek Makam Kiai Demang Singomenggolo (nama sesuai tertulis di prasasti makam) pada Minggu lalu (11/06), kini Makam Mas Sayyid Asy’ari bin Badruddin bin Abdurrahman bin Arif Segoropuro bin Abdurrahman Basyaiban yang dijuluki Imam Singonoto juga dipugar siang tadi (18/06). Kedua pemugaran ini diprakarsai oleh Ahmad Farid Zakariya yang juga menjabat sebagai Ketua PRNU Sidomulyo.
Sebagaimana diketahui, Mas Singonoto adalah pelindung Mas Sayyid Ali Al Asghar bin Ali Al Akbar Basyaiban beserta ibunya sejak masih dalam kandungan yang dititipkan oleh Mas Sayyid Iskandar Basyaiban hingga dilahirkan di desa yang dulu bernama Singkil. “Pendiri Ndresmo ari-arinya dipendem di sini,” ujar Bapak Farid.
Tidak serta-merta mengenal lalu memugar, awalnya beliau tidak mengenal siapa yang dimakamkan di situ. Bermula dari KH. Abdullah Hamdi yang menanyakan lokasi makam leluhurnya kepada beliau, beliau menanyakan kepada Sang Paman yang pernah memugar sebuah makam, apakah makam yang dulu beliau pugar itu adalah makam Mbah Abdussamad (leluhur KH. Abdullah Hamdi). “Bukan, makamnya di sebelah timurnya. Itu adalah makam seorang Sayyid.”
Bapak Farid bertanya siapa nama Sayyid tersebut, tapi Sang Paman saat itu mengaku lupa. Hingga pada akhirnya setelah menggabungkan seluruh cerita yang pernah beliau terima, beliau mendapatkan kesimpulan bahwa di Singkil (sekarang di wilayah Desa Sidomulyo) pernah hidup seorang Sayyid yang bernama Imam Asy’ari Singonoto. Beliau menduga bahwa itu adalah makam Mas Singonoto.
Tak puas hanya dengan dugaan, beliau terus menggali informasi dari berbagai pihak. Hingga akhirnya beliau bercerita tentang Perang Sabil Singkil yang bermula dari makam palsu kepada sahabat yang akrab beliau panggil dengan sebutan Cak Din Walang. Setelah kesulitan memburu Para Putra Mas Sayyid Ali Akbar yang berpencar, Belanda menargetkan istri mendiang yang sedang mengandung Bakal Mas Ali Asghar yang dititipkan oleh Mas Sayyid Iskandar kepada Mas Sayyid Singonoto, yang merupakan Ulama Pesantren juga Imam Masjid Darussalam Singkil sekaligus Mujahid Nomor Wahid di Sidoarjo.
Belanda bermaksud melakukan upaya terakhir dengan merawat dan mendidik Mas Ali Asghar agar menjadi orang mereka dan menghentikan perlawanan kakak-kakaknya terhadap Belanda. Mereka menggeledah Ndalem Mas Singonoto semuanya begitu mendengar bahwa Putra Bungsu Mas Ali Akbar telah lahir, kecuali dandang yang tertutup dan mengepulkan asap karena di bawahnya terdapat api yang dinyalakan salah seorang santri beliau untuk menanak nasi tanpa mengetahui bahwa di dalamnya ada Jabang Bayi Mas Ali Asghar.
Mas Singonoto mengatakan bahwa jabang bayi tersebut meninggal sesaat setelah dilahirkan dan telah dimakamkan seraya menunjukkan makam palsu yang sengaja dibuat untuk mengelabui Belanda. Belanda pun kembali dengan tangan kosong. Tiba-tiba saja terdengar jeritan dari arah dapur, Ibunda Mas Ali Asghar yang lemas karena masih nifas semakin lemas melihat tempat persembunyian putra bungsunya. Sontak saja Mas Singonoto menyalahkan kesembronoan Sang Santri. Tapi Sang Ibunda tetap tegar dan ikhlas walaupun hatinya tidak dapat digambarkan oleh siapa saja. Sang Ibunda ingin melihat putranya yang baru lahir itu bagaimanapun kondisinya untuk terakhir kalinya.
Tetapi setelah dibuka, bayi itu tampak segar-segar saja dan nampak lucu nan menggemaskan karena sedang terlelap dan mengemut ibu jarinya. Semuanya bersyukur atas itu. Mas Ali Asghar masih hidup dan dididik oleh Sang Ibunda dan orang-orang di sekitarnya serta kakak-kakaknya secara sembunyi-sembunyi. Hingga pada akhirnya Belanda marah karena merasa ditipu mentah-mentah oleh Mas Singonoto dan memutuskan untuk menghabisi Singkil dan meratakannya dengan tanah. Bom-bom dijatuhkan dan tank-tank dikerahkan untuk menghabisi seluruh penduduk dan bangunan yang ada serta menyiksa Mas Singonoto untuk membuka rahasianya, namun beliau lebih memilih untuk menjadi Syahid.
Penduduk Singkil yang tetap bertahan di tempat dan selamat sangat sedikit. Salah satunya adalah Mbah Badrun putra Singodipuro yang kemudian mengumpulkan kembali penduduk yang mengungsi, menggabungkan Singkil dan Semalang menjadi satu desa baru, membangunnya, dan menjadi Lurah Pertama di desa baru tersebut, lalu menamakannya Sidomulyo dengan menggelar Ruwatan dengan Pagelaran Wayang Kulit.
Sampai di sini, Sang Sahabat mengatakan bahwa ini kisah yang beliau cari. Beliau mendapatkan cerita dari Sang Guru, Mbah Hannan, yang menjadi saksi hidup Perang Sabil tersebut. Beliau memiliki bekas luka akibat peluru yang menembus dada hingga punggungnya. Setelah itu, beliau kabur dengan menghanyutkan diri ke sungai.
Setelah mengumpulkan data dari berbagai sumber ditambah dari sahabat beliau, Bapak Farid menashihkan kembali kepada paman beliau, apakah Sayyid tersebut adalah Sayyid Imam Asy’ari Singonoto. “Ah, iya, itu. Dulu kata Bapak namanya Sayyid Imam Asy’ari Singonoto,” Bapak Farid menirukan jawaban Sang Paman kepada Tim Media Center MWCNU Buduran.
Hingga pada akhirnya, beliau bermaksud memugar untuk menghormati seorang Sayyid yang dimakamkan di desanya dan pernah dipugar oleh pamannya dulu. Beliau membelikan bata yang berukuran besar seperti bata kuno di Bumi Majapahit dan menunjukkan kepada kami pasca lebaran Idul Fitri lalu. Hingga pada akhirnya merealisasikan pemugaran pada Ahad (18/06) tadi.
Pemugaran dimulai dengan memindahkan bata dari kediaman beliau pada Sabtu (17/06) dan menjebol sebagian pagar di bagian barat untuk akses ke makam Mas Singonoto agar peziarah nantinya tidak memutar terlalu jauh. Karena pintu masuk makam ada di sisi timur sedangkan makam Mas Singonoto ada di sisi barat pemakaman umum.
Tim Media Center juga sempat bertanya kepada salah satu keturunan Mas Singonoto, yakni Mas Hidayatullah dari Pasuruan tentang lokasi makam leluhur beliau pada Kamis (31/05) di Dukuhtengah. Tetapi beliau tidak mengetahui tentang itu. Tapi setelah kami mengabarkan bahwa Bapak Farid mengatakan bahwa Mas Singonoto dimakamkan di Sidomulyo, beliau berbalik membrondong kami dengan rentetan pertanyaan untuk memastikan bahwa makam tersebut benar-benar makam leluhurnya dan menanyakan ciri-cirinya. Kami yang saat itu belum mengetahui dan melihat secara pasti makam tersebut tidak dapat menjawab apapun selain menceritakan satu kalimat dari Bapak Farid, “Pendiri Ndresmo ari-arinya dipendem di sini.”
Mas Hidayatullah tampaknya puas dengan jawaban kami. Beliau berencana untuk silaturahmi dengan Bapak Farid dan berziarah ke makam Sang Kakek saat beliau berkunjung ke Sidoarjo. Tapi Bapak Farid tidak sedang berada di Sidoarjo saat Mas Hidayatullah hendak berkunjung pada Selasa (06/06). Beliau juga berhalangan hadir saat pemugaran makam hari ini (18/06). Tapi kami mendapatkan kesempatan untuk tabarrukan dengan mengangkat beberapa bata besar yang akan digunakan untuk pemugaran tersebut. (ham)
Pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Buduran