Pentingnya Ilmu Sosial di Pesantren

Entah sejak kapan sebagian masyarakat di dunia Islam memiliki pandangan tentang pembagian (klasifikasi) ilmu. Sebagian dari mereka membagi ilmu menjadi ilmu agama dan ilmu umum. Padahal jika kita merujuk Imam al-Gazali, beliau hanya membagi ilmu berdasarkan hukum mempelajarinya saja. Ada ilmu yang wajib diketahui tiap individu (fardhu ‘ain) dan ilmu yang cukup diketahui oleh sebagian umat Islam saja (fardhu kifayah).

Dalam dunia akademik kampus, ilmu dibagi menjadi ilmu sosial-humaniora dan rumpun sains dan teknologi. Ilmu sosial di dunia kampus dimaksudkan sebagai sebuah  disiplin ilmu yang mempelajari manusia sebagai makhluk sosial dan aspek-aspek yang berhubungan dengan lingkungannya, serta mempelajari budaya dan manusia (humanisme). Dalam konteks kampus, ilmu-ilmu agama masuk ke dalam rumpun ilmu sosial-humaniora.

Sementara di dunia pesantren secara umum, ilmu yang dipelajari adalah ilmu-ilmu keagamaan semata. Ilmu-ilmu sosial-humaniora masih cukup jarang pesantren yang memasukkannya sebagai bagian dari kurikulum pelajaran di pesantren. Padahal, ilmu-ilmu sosial-humaniora memiliki manfaat sebagai ilmu bantu untuk melengkapi pemahaman santri atas teks-teks keagamaan yang dipelajarinya.

Ilmu Sosial dan Instrumen Memahami Konteks

Suatu ketika Nabi Muhammad saw ditanya oleh Abu Dzar, “Wahai Rasulullah saw. amalan apa yang paling utama (bagiku)?” Nabi menjawab, “Beriman kepada Allah dan jihad di jalan-Nya.” Di lain kesempatan sahabat Abdullah bin Mas’ud menanyakan hal yang serupa. Lalu Nabi menjawab Abdullah bin Mas’ud, “Shalat di awal waktu”. Ia menyusul dengan pertanyaan lanjutan, “Lalu amalan apa lagi yang utama bagiku?”, Nabi menjawab, “Berbuat baik kepada kedua orang tua,” lalu apa lagi Nabi?, Nabi menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Dua hadits tersebut sama-sama berstatus sahih. Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih alBukhari dan hadits kedua tercatat dalam kitab Shahih Muslim.

 

Pertanyaannya, mengapa dengan pertanyaan yang sama tentang amalan yang utama, jawaban Nabi Muhammad saw bisa berbeda-beda? Dari hadits-hadits seperti ini dan sejenisnya, lahirlah sebuah kaidah tafsir (dan juga ushul fiqih): al-ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al-lafdhi (yang dipertimbangkan/dilihat dalam teks adalah sebab khusus, bukan keumuman sebuah lafaz). Kebalikan dari kaidah tersebut adalah al-ibrah bi umum al-lafdhi la bi khusus al-sabab (yang dipertimbangkan adalah keumuman lafaz bukan sebab khusus atas muncul atau turunnya teks).

Lalu bagaimana cara mengompromikan dua hadits berupa jawaban Nabi tersebut yang tampak bertentangan? Sebagian ulama mengatakan bahwa perbedaan jawaban yang diberikan oleh Nabi atas pertanyaan yang sama ini disebabkan oleh kebutuhan para penanya. Nabi melihat pada bagaimana kondisi yang memungkinkan bagi penanyanya untuk melakukan amalan yang utama.

Dengan cara memahami kondisi sosial-historis serta psikis-psikologis penanya, dua teks hadits di atas yang terlihat bertentangan di atas dapat dikompromikan. Penelusuran setting-historis ini pada dasarnya selaras dengan kaidah al-ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al-lafdhi.

Perangkat-perangkat ilmu seperti sosiologi, psikologi, juga sejarah dan ilmu-ilmu sosial-humaniora lainnya, bisa membantu memahami teks-teks keagamaan baik Al-Qur’an, hadits, maupun teks-teks kitab kuning yang dipelajari di pondok pesantren.

Kaidah Fiqih, al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman (sebuah hukum bergantung pada ada dan tidaknya illat hukumnya) menyiratkan pentingnya ilmu sosial dan bahkan ilmu alam diajarkan di pesantren. Hal ini diperkuat dengan contoh adanya qaul qadim dan qaul jadid pada pendapat Imam Syafi’i serta adanya metodologi hukum Istihsan dan Istislah. Rasanya tidak mudah dipahami dengan baik, kalau hal-hal tersebut tanpa perangkat ilmu sosial.

Ilmu sosial sangat penting, terutama dalam kerangka memahami konteks sosial khazanah kitab kuning di pesantren, sehingga ia dapat dipahami dan ditempatkan sesuai konteksnya, dan untuk selanjutnya dapat melakukan kontekstualisasi. Apa yang digulirkan oleh almarhum Kiai Ali Yafie dan Kiai Sahal Mahfudh pada tahun 1980-an tentang kontekstualisasi kitab kuning, adalah cerminan penggagasnya akan penguasaan norma-norma ilmu sosial. Selanjutnya hasil munas ulama Lampung yang melahirkan gagasan bermazhab secara qauli dan manhaji, mensyaratkan pemahaman ilmu sosial yang matang, bahwa teks-teks kitab kuning secara tekstual sudah tidak memadai lagi untuk menjawab persoalan baru.

 

Waryono Abdul Ghofur, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI